Kopdar Grup WA Belajar Online
Ngainun Naim
Menulis
merupakan bagian tidak terpisah dari profesi seorang dosen. Mengajar, meneliti,
dan melakukan pengabdian kepada masyarakat—dikenal sebagai tri
darma—mengharuskan adanya laporan yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Tanpa
keterampilan menulis yang memadai, agak berat bagi seorang dosen untuk meniti
karir secara lancar sebab kenaikan pangkat seorang dosen mengharuskan adanya
karya tulis sebagai syarat.
Persoalannya,
menulis sendiri itu tidak selalu mudah. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari
kalangan dosen yang memiliki keterampilan menulis secara memadai. Kelompok ini
sudah terbiasa membuat artikel jurnal, menulis makalah ilmiah untuk seminar,
membuat laporan penelitian dan pengabdian, menulis opini di koran, dan
sejenisnya. Kebiasaan menulis inilah yang membuat karir seorang dosen bisa
berjalan relatif lancar. Sementara sebagian yang lainnya menulis hanya untuk
memenuhi kebutuhan dasar, misalnya untuk naik pangkat atau untuk laporan Beban
Kerja Dosen (BKD).
Kita tidak
bisa menutup mata dengan fakta adanya dosen yang membutuhkan dorongan agar bisa
menulis secara lebih baik. Menurut saya, persoalannya bukan pada kemampuan.
Saya sangat yakin sebagian besar dari dosen kita memiliki potensi dan kemampuan
untuk menghasilkan karya tulis. Mereka telah menempuh pendidikan minimal S-2.
Tidak sedikit juga yang sudah doktor. Jadi bagaimana mungkin mereka tidak bisa
menulis?
Saya kira persoalannya
bukan pada bisa atau tidak bisa, tetapi lebih pada mau atau tidak mau. Jika
mau, pasti mereka bisa. Buktinya, mereka bisa menyelesaikan studi, membuat
laporan penelitian, dan menulis artikel untuk kepentingan kenaikan pangkat.
Tetapi saya
juga menyadari bahwa realitas memang tidak sesimpel yang saya pikirkan.
Realitas itu kompleks. Jauh lebih kompleks dari apa yang kita amati dan kita
teliti. Termasuk dalam hal ini adalah keterampilan menulis kawan-kawan dosen.
Jika kita mau
menelusuri secara detail sebabnya di sebuah institusi pendidikan tinggi, tentu
kita bisa menemukan sangat banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun
catatan sederhana ini tidak akan mengulasnya. Saya akan bercerita tentang salah
satu kegiatan yang pernah saya lakukan.
Suatu saat ada
seorang kolega dari IAIN Ternate yang berminat dengan buku yang saya tulis. Beliau
membaca status-status saya di facebook. Kepada beliau—Ibu Adiyana—saya kirimkan
dua buah buku. Buku pertama adalah buku karya saya, Proses Kreatif Penulisan
Akademik dan sebuah buku yang kebetulan saya edit, Dosen Menulis.
Rupanya Ibu
Adiyana tertarik dengan buku yang saya edit, Dosen Menulis. Buku itu
merupakan kumpulan tulisan bebas para peserta Pelatihan Menulis Online yang
kebetulan saya menjadi mentornya. Singkat cerita, Ibu Adiyana berminat
mengadakan kegiatan yang serupa di IAIN Ternate.
Karena sedang
libur semester, saya berpikir memiliki waktu luang yang cukup untuk mengajar
menulis secara online. Maka dibentuklah grup WA. Nama grupnya “Belajar Online
1”. Selama dua bulan—Januari sampai Februari—saya menyampaikan materi di grup
itu. Nyaris setiap hari, meskipun karena satu dan lain hal, pernah juga saya
tidak bisa mengisinya pada hari tertentu. Namun saya berusaha menggantinya di
waktu yang lain.
Ternyata
antusiasme peserta “Belajar Online 1” cukup tinggi. Materi demi materi yang
saya sampaikan di grup WA ditanggapi secara serius oleh peserta. Tugas demi
tugas juga dikerjakan. Saya menangkap ada semangat menulis yang harus terus
diapresiasi dan dirawat. Semangat ini harus terus dijaga agar bisa tumbuh
budaya menulis di tempat bekerja para peserta menulis, yaitu IAIN Ternate.
Sesungguhnya
ada yang agak lucu, yaitu saya belum pernah sekalipun bertemu muka dengan
peserta. Ini bagi saya menarik. Perkenalan, diskusi, dan perbincangan hanya
dilakukan di grup WA. Saya kira ini merupakan satu kelebihan WA yang harus
dimanfaatkan secara optimal. Bukan sekadar membuat grup yang isinya seringkali
kurang bermutu.
Meskipun hanya
melalui WA, grup ini secara subjektif bisa saya sebut sebagai grup yang cukup
produktif. Nyaris setiap waktu ada saja anggota grup yang posting tulisan.
Tulisan demi tulisan yang terpilih kemudian saya bukukan dan saya beri kata
pengantar. Buku itu saya beri judul Jejak Literasi dari Ternate.
Rasanya ada
yang kurang dari kegiatan belajar online ini, yaitu kopdar. Tentu suasananya
akan berbeda antara perbincangan di grup WA dengan bertemu muka secara
langsung. Ada hal mendasar yang tidak bisa ditemukan di grup WA, yaitu
perbincangan secara humanis, melibatkan emosi, membangun keakraban, dan hal-hal
mendasar lainnya. Di grup WA, hal-hal semacam itu sulit ditemukan karena tidak
ada interaksi yang bersifat manusiawi.
Saya merasa
bersyukur pada akhirnya mendapatkan kesempatan berkunjung ke Ternate dalam
rangka koordinasi KKN Kebangsaan. Di sela-sela mengikuti kegiatan, saya
berkesempatan berjumpa dengan teman-teman peserta Kuliah Online 1 di IAIN
Ternate.
Rasanya bahagia
sekali bertemu kawan-kawan semua. Pertemuan ini melengkapi suasana yang
sebelumnya sudah terbangun cukup akrab di grup WA. Tentu, karena kami berbasis
belajar menulis maka pertemuan pada jumat sore, 8 Maret 2019 itu, kami
berdiskusi juga tentang menulis.
Hanya sekitar
dua jam kami bertemu. Pertemuan singkat tersebut sungguh bermakna. Semoga
hal-hal sederhana yang kami lakukan bisa memberikan manfaat buat kami semua.
Amin.
Mantap kali Pak, saya membaca karya buku anda Self Developmen sangat inspiratif.
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya. Oh ya, itu buku sederhana saja. Semoga bermanfaat. Salam.
Hapusalhamdulillah sdh sampai Ternate Prof.
BalasHapusAlhamdulillah. Iya Omjay
Hapus