Saya, Buku dan Dunia Menulis
Ngainun
Naim
Saya
lahir dari sebuah keluarga sederhana, bahkan sangat sederhana. Bapak pensiunan
guru MI dan Ibuk adalah ibu rumah tangga biasa. Tentu pembaca sekalian bisa
membayangkan beratnya menjadi PNS guru di era Orde Baru dengan enam anak.
Rumah
kami saat itu jauh dari layak. Sejak kecil saya nyaris tidak pernah tidur di
rumah. Bukannya tidak kerasan, tetapi karena memang tidak ada kamar tidur untuk
saya. Hanya ada empat kamar sempit. Satu dipakai Bapak dan Ibu, sisanya
digunakan 5 orang adik. Saya sendiri saat SD dan MTs lebih sering tidur di
masjid.
Tidak
pernah terbayang dalam diri saya tentang sebuah cita-cita. Pokoknya hidup ya
dijalani dengan mengalir begitu saja.
Satu
hal yang saya ingat betul sebagai titik awal minat membaca adalah sebuah
majalah bernama Mimbar Pendidikan Agama (MPA). Majalah ini kemudian berubah
nama menjadi Mimbar Pembangunan Agama. Penerbitnya adalah Kanwil Departemen
Agama Provinsi Jawa Timur.
Sebagai
guru, bapak berlangganan wajib majalah ini. Tanpa sengaja, saya sering membuka
bagian belakang majalah yang terdapat sepuluh lembar khusus untuk anak-anak.
Lembar ini diberi nama Lembar Anak-Anak (LAA).
Lembar
Anak-Anak (LAA) dari Majalah MPA
benar-benar berpengaruh besar dalam hidup saya. Majalah inilah yang membuat
saya sebagai anak desa berani bermimpi bisa menulis. Membaca puisi yang dimuat,
foto anak-anak sebaya di rubrik kenalan, juga lukisan dari anak-anak yang
terpajang menjadi daya dorong yang sangat kuat untuk bisa mengikuti jejak
mereka.
Saat
itu saya masih SD. Belum ada yang bisa memberikan informasi, apalagi bimbingan.
Semuanya gelap. Tidak ada jalan yang bisa menerangi mimpi untuk menjadi
penulis. Keinginan baru berhenti sebatas sebagai keinginan. Tidak lebih.
Keinginan
bisa menulis semakin menguat saat saya duduk di bangku MTsN. Saya teringat
momentum awalnya. Saat itu saya duduk di bangku kelas 2. Pelajarannya bahasa
Inggris. Saya sangat benci pelajaran ini, selain bahasa Arab. Nilai rapor untuk
dua mata pelajaran ini benar-benar mendekati titik nadir terendah. Tidak ada
yang bisa membantu saya untuk menguasai kedua bahasa asing tersebut.
Guru
bahasa Inggris yang mengajar di kelas 2 MTsN ini tampaknya berbeda. Orangnya
masih muda. Saya kira usianya baru 26 atau 27 tahun. Cara mengajarnya sungguh
menarik. Perlahan saya mulai memahami bahasa Inggris.
Ketertarikan
saya pada guru bahasa Inggris tersebut tidak hanya pada caranya mengajar,
tetapi juga pada kebiasaan beliau. Ke mana-mana beliau selalu menenteng buku.
Saat ada kesempatan, beliau selalu membacanya. Kebiasaan itu memberikan
inspirasi kuat pada diri saya untuk mengikuti jejaknya. Tentu tidak mudah
membangun tradisi membaca kala itu, tetapi saya mencatat peran Drs. Muhammad
Amrullah sebagai guru bahasa Inggris sangat penting bagi tumbuhnya tradisi
membaca pada diri saya.
Guru
bahasa Inggris saya ternyata seorang penulis. Itu saya ketahui di Majalah MPA.
Ada nama beliau dan fotonya di artikel beliau di MPA. Tentu, kekaguman saya
semakin bertambah. Dua hal yang saya catat di periode MTsN, yaitu fondasi membaca
dan menulis. Ya, meskipun sekadar contoh dan belum bisa melakukan membaca dan
(apalagi) menulis. Paling tidak saya mulai bercita-cita untuk bisa menulis.
Tamat
MTsN saya melanjutkan studi ke MAN Denanyar Jombang yang berada di lingkungan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang. Di sekolah ini, benih
membaca semakin tertanam. Sayang, minat membaca saya bukan pada buku pelajaran,
tapi pada koran. Maka, nilai sekolah saya fluktuatif. Pernah sangat bagus dan
pernah juga hancur berantakan.
Di
depan masjid, di depan asrama dan di halaman sekolah setiap pagi saya berjuang
bersama puluhan kepala lain yang saling berdesakan sekadar untuk bisa membaca
koran yang dipajang di kaca. Ketahanan tubuh sangat menentukan dalam
"Membaca Berjamaah". Jika tidak kuat, tubuh tergeser oleh pembaca
lain yang tubuhnya lebih kekar. Saya yang waktu itu memiliki berat badan 53 kg
dan tinggi 173 cm tentu begitu mudah disingkirkan oleh arus yang selalu deras
di pagi hari. Maklum, tubuh saya cukup langsing, meskipun teman-teman
menyebutnya kurus-kering-kerontang. Jika sudah tersingkir, saya pun bersiasat
dengan membaca saat sepi, yaitu siang atau sore hari.
Pesantren
tempat saya studi memiliki perpustakaan yang buka tiap hari jumat. Seusai
mengaji Al-Quran dan mencuci baju, saya bergegas ke perpustakaan. Di sana saya
berkenalan dengan Majalah Tempo, Panji Masyarakat, Aula, Koran Jawa Pos, Surya,
dan berbagai buku lainnya. Rupanya di pesantren inilah minat membaca mulai
tumbuh.
Kiai
dan guru-guru di pesantren juga menjadi faktor yang membuat saya memiliki minat
untuk membaca. Setiap pagi saya mengaji Al-Quran di Ndalem Kiai Imam Haromain.
Ndalem beliau dipenuhi buku-buku dan kitab. Meski hanya melihat saja, saya
merasakan energi yang besar. Ya, energi untuk memiliki buku-buku semacam itu
dan membacanya suatu saat kelak.
Kiai
Aziz Masyhuri adalah teladan belajar yang tiada duanya. Beredar cerita di
antara para santri waktu itu bahwa beliau jika sudah belajar seperti lupa
waktu. Saat mengajar pun bisa terlupa jika tidak dijemput. Beliau larut dalam
kitab yang dibaca.
Guru-guru
saya saat itu juga banyak yang sangat giat membaca. Salah satunya adalah Pak
Romli. Teman-teman menjuluki beliau sebagai "Pak Perpus Keliling"
karena selalu membawa buku dalam jumlah banyak. Beliau memang kutu buku tulen.
Wawasannya sangat luas. Beliau menguasai kitab kuning sangat mendalam. Bidang
eksak seperti matematika juga beliau kuasai secara mendalam. Jadi sosok beliau
sungguh lengkap dan sangat menginspirasi.
Ada
banyak lagi sosok penting yang tidak bisa saya sebut satu demi satu. Selama
tiga tahun di pesantren, saya seperti disemai literasi oleh lingkungan.
Kiai-kiai yang alim, guru-guru yang inspiratif, dan teman-teman yang kreatif
menjadi faktor yang membuat saya kesengsem dengan aktivitas membaca.
Di
koran Jawa Pos saat itu, budayawan Emha Ainun Nadjib sedang naik daun. Seminggu
sekali kolomnya muncul di halaman depan Jawa Pos. Saya membacanya dengan
cermat, meskipun tidak paham. Kolom-kolom Kiai Mbeling tersebut seperti energi
tersendiri yang semakin mengokohkan minat saya untuk bisa menulis.
Belajar
menulis itu ternyata tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Berkali-kali saya
belajar menulis tetapi tidak pernah berhasil. Saya tidak tahu jalan yang harus
saya lalui selain pasrah dengan keadaan.
Pesantren
Denanyar menjadi tempat persemaian tradisi membaca saya. Di pesantren ini pula
saya mulai tahu tentang dunia menulis saat OSIS mengadakan Pelatihan Menulis.
Narasumbernya adalah Yusron Aminullah dan Adil Amrullah. Kedua narasumber
adalah saudara kandung budayawan Emha Ainun Nadjib. Dari beliau berdua saya
mulai tahu dunia menulis.
Usai
pelatihan, kami bertekad membuat majalah. Namanya LintaS. Pimrednya Sahabat
Nasichun Amin dari Gresik. Di majalah ini pula saya berjuang keras menulis.
Saya tidak ingat persis menulis tentang apa. Sayang sekali, dokumen pun tidak
saya miliki.
Tamat
dari Pesantren Denanyar saya melanjutkan studi ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Di
kota Pahlawan inilah saya memuaskan dahaga membaca. Buku-buku begitu mudah
diakses di perpustakaan. Membeli buku?
Terlalu berat. Demi keberlangsungan kuliah apa saja saya jalani, mulai
dari mengajar TPQ, jualan koran hingga jualan susu keliling. Jadi tidak ada
uang untuk anggaran beli buku.
Di
IAIN Surabaya, keinginan bisa menulis semakin menguat. Beberapa orang kakak
tingkat acap menjadi bahan perbincangan teman-teman karena artikelnya sering
'nongol' di koran. Mereka, antara lain, Masdar Hilmy (kini Rektor dan Guru
Besar UIN Sunan Ampel Surabaya), A.
Rubaidi (kini dosen UIN Sunan Ampel), dan Suyanto (Redaktur senior Harian
Surya). Dosen yang mengajar di kelas juga kerap menyebut nama mereka dan
produktivitasnya menulis. Hal ini semakin menguatkan keinginan saya untuk bisa
menulis.
Saat
di Surabaya, saya tinggal di Gang VI Nomor 7 (kalau tidak salah). Ada dua kamar
di kos ini. Salah satu penghuni kos adalah En Hidayat, kakak tingkat di
Fakultas Tarbiyah yang aktif menulis kolom di Majalah Edukasi. Saya kerap
mengintip naskah ketikan yang belum selesai. Sekali lagi, role model Cak
Dayat--sapaan akrab En Hidayat--menjadi energi untuk mewujudkan mimpi bisa
menulis.
Berkali-kali
saya mencoba menulis artikel tetapi selalu tidak berhasil. Saya coba lagi dan
belum berhasil. Saya coba lagi, bisa selesai dan saya kirim ke Harian Surya,
tetapi tidak ada kabar. Berkali-kali saya kirim tetapi tetap tidak ada kabar
membahagiakan.
Di
tengah perjuangan yang belum ada hasilnya, sebuah fakta mengejutkan terjadi.
Seorang teman sekelas dengan penuh percaya diri membagikan foto kopi artikelnya
yang dimuat di Harian Surya. Rubrik ini juga yang selama ini aku tuju. Sebelum
saya sukses, teman saya sudah sukses duluan. Kelak, sekitar dua tahun
setelahnya, saya berhasil menembus rubrik yang sama.
Oh
ya, teman tersebut kini menjadi mubaligh sangat terkenal. Namanya Dr. KH
Muhammad Shodik, M. Si.
Kesuksesan
Mas Shodik benar-benar membuat saya terlecut. Meskipun tertatih-tatih, saya
terus berusaha menulis. Sungguh sebuah perjuangan tidak mudah.
Seiring
perjalanan waktu, studi saya tidak bisa selesai di IAIN Surabaya. Saya tidak
ingin menceritakan mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Terlalu pahit
untuk diceritakan dan dikenang. Biarlah pengalaman itu menjadi bagian tidak
terpisah dari perjalanan hidup saya.
Pulang
kampung ke pedalaman Tulungagung setelah 'gagal' menyelesaikan studi sungguh
membuat saya inferior. Saya merasa masa depan saya gelap. Beberapa aktivitas
sempat saya lakoni, seperti jualan sayur ke pasar. Tetapi saya tidak memiliki
mental pedagang. Aktivitas ini pun gagal hanya dalam hitungan hari.
Melihat
saya tidak jelas aktivitas, Bapak meminta saya melanjutkan studi. Beliau
meminta saya mengurus mutasi dari IAIN Surabaya ke IAIN Tulungagung. Saya pun
mengurusi surat mutasi. Sukses.
Tapi
persoalan belum selesai. Di rumah tidak uang sepeser pun. Tidak ada jalan lain
selain berhutang. Jika ingat perjalanan meminjam uang untuk kelanjutan kuliah
bersama Ibuk, air mata acap tak terbendung. Saya merasakan betul betapa menjadi
orang tak punya sungguh menyiksa. Penolakan, dengan ucapan dan sikap, cukup
sering saya saksikan. Suara-suara miring tidak jarang terdengar. Semuanya
mewarnai proses studi saya.
Singkat
cerita, kuliah saya terselamatkan. Saya berusaha mengejar mimpi kembali untuk
meraih sarjana. Tetapi ternyata tidak mudah. Menjelang wisuda, saya ditawari
menjadi TKI sebagai guru di negara tetangga oleh seorang famili. Saya ingin
mengambil tawaran itu, tapi segera saya urungkan karena memang tidak ada biaya
untuk membayar persyaratan.
Perjalanan panjang anak manusia dengan fitrah dan ikhtiarnya yang patut disyukuri
BalasHapusInggih Bu Kanjeng. Saya harus bersyukur atas semuanya.
HapusPenuh spirit dan inspirasi pak doktor... Top
BalasHapusMatur suwun
HapusWah..seperti cerita mimpi yah prof.tapi memang nyata adanya
BalasHapusBegitulah Bu
HapusWah ternyata penuh lika liku
BalasHapusIya Pak.
HapusSungguh mengispirasi, tiap paragraf ada pelajaran yang sungguh patut diteladani....
BalasHapusMatur suwun
HapusAlhamdulillah, pada bagian awal refleksi nya cocok Ning endingnya luar biasa. Sukses pak doktor
BalasHapusSeandainya banyak uang dari dulu..apa kira-kira yang ditekuni pak?hehehe
BalasHapusJadi pengusaha he he he
HapusMau nyontoh yg baik kok susah...
BalasHapusSekarang
AKU BUKU DAN LIHAT COVERNYA
Semoga segera opening
AKU, MENULIS DAN BUKUKU...
salam dukses untuk diriku
Sip. Monggo.
HapusTerkadang kita harus melihat orang sekitar untuk memulai. Luar biasa menginspirasi Pak Prof...
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusSaya penggemar MPA juga pak. Dari tahun saya kelas 1 MI sampe sekarang. Dulu bapak yang berlangganan, diteruskan saya
BalasHapusSejak Bapak pensiun saya sudah tidak pernah baca lagi. Padahal itulah majalah yang berjasa menyemai spirit membaca
HapusKereen pak..👍👍😁😁
BalasHapusTerima kasih Prof
HapusSungguh luar biasa perjuangan Prof. Naim. Pendidikan yang penuh realitas akan menjadikan orang hebat.Berbeda dengan pendidikan yang serba fasilitas...
BalasHapusBiasa saja Pak. Hanya karena ditulis saja.
HapusSy menangis terharu pak. Sungguh sgt menginspirasi. Perjuangan yg tdk mudah. Semua pst bisa jk ada kemauan.
BalasHapusHanya catatan jejak hidup Bu
HapusLuar biasa, saya jg inget bpk saya
BalasHapusJejak hidup akan lebih awet jika ditulis Bu
HapusKeren pak Naim, sukses terus
BalasHapusTerima kasih
HapusAllah,. luar biasa sanget pak. Terimkasih sampun share pengalaman bapak. sangat haru dan menginspirasi.
BalasHapusalhmdlh atas segala nikmat Allah...alhmdlh sanget.
Terima kasih
HapusSubhanallah....👍👍
BalasHapusTerima kasih
HapusSampai nangis baca pak, tdk seorgpun yg dapat memprediksi takdir Allah di masa depan. Sekarang bapak menjadi maha guru para penulis.
BalasHapusSaya hanya menjalani takdir hidup Bu
HapusSetiap peristiwa ada hikmahnya. Dari kehidupan serba sederhana menjadi guru kami rendah hati dan sabar. Terimakasih ilmunya
BalasHapusSama-sama Bu
HapusTerharu saya bacanya Pk
BalasHapusSangat menginspirasi Pk
Terima kasih Bu
HapusLuar biasa, Gus. Sangat memotivasi. Terima kasih telah berbagi cerita seru mengharukan!
BalasHapusSama-sama Bapak
HapusSegala sesuatu harus diperjuangkan, tidak bisa instan. From nothing to something. Sungguh luar biasa perjuangannya. Terimakasih untuk motivasi dan inspirasinya prof
BalasHapusHanya kisah sederhana Bu
HapusTop banget pak
BalasHapusTerima kasih Pak
HapusPerjalanan hidup yang penuh perjuangan. Akhirnya membuahkan hasil. Segala sesuatu yang terjadi, ada hikmah dibaliknya. Thanks pak.
BalasHapusSama-sama Bu
Hapuswow sepenggal kisah hidup yg sangat inspiratif berjuang di tengah keterbatasan akibatnya kesuksesan menjemput
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusKesuksesan akan terasa manis jika diawali dengan perjuangan..
BalasHapusBetul Bu
Hapusini betul-betul sebuah perjuangan...
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusSubhanallah luar biasa Gus
BalasHapusTerima kasih Pak Doktor
HapusProses yang sangat panjang akhirnya membuahkan kesuksesan
BalasHapusBegitulah Bu
HapusKisah hidup optimis, berjuang dan sukses.
BalasHapusTerima kasih Pak Doktor
HapusPerjalanan hidup yg penuh perjuangan dan berujung pada kesuksesan. Luar biasa!
BalasHapusTerima kasih
HapusBerawal dari mimpi... Akan indah pd waktunya..terimakasih pak kisah yg sngt inspiratif
BalasHapusTerima kasih berkenan mengunjungi dan membaca catatan sederhana ini
Hapus