Ketika Tiga Anak Muda Tuban Menulis Pram
Linda Tria Sumarno, Rohmat Sholihin, Joyo Juwoto, Tiga Menguak Pram, Blora: Pataba, 2019
Kebesaran
Pramoedya
Ananta Toer bukan rahasia lagi. Sebagian besar orang juga mengetahuinya, baik
pengagum atau pembencinya. Wajar jika kemudian banyak yang mengulas Pram dan
karya-karya yang dihasilkannya.
Kekaguman terhadap Pram
dan karya-karyanya juga dialami oleh tiga anak muda dari Tuban ini. Berbeda
dengan yang lainnya, ketiga anak muda dari Tuban ini mengekspresikan kekaguman
itu dalam karya. Mereka bertiga menulis bersama. Buku ini adalah wujudnya.
Buku ini menunjukkan
bagaimana kekaguman terhadap seorang tokoh itu bisa bernilai positif. Tidak
sekadar kagum tetapi bagaimana mengekspresikan kekaguman itu dalam tulisan,
memaknainya, dan melakukan kontekstualisasi.
Linda Tria Sumarno
sebagai penulis pertama berkisah banyak hal tentang Pram. Ia menulis dengan
unik. Menurut penuturannya, ia mendapatkan banyak hal setelah membaca buku-buku
karya Pramoedya Ananta Toer, termasuk mendapatkan pembelajaran kehidupan.
Kehidupan memang tidak hitam putih. Ia menulis, ”Kehidupan yang rela memakan
kehidupan yang lain agar kehidupan itu sendiri tetap hidup dan berkuasa” [h. 2].
Keunikan lain saya kira
terletak pada sosok Linda sendiri. Bayangkan, ia minta mahar nikahnya adalah
buku karya Pram. Calon suaminya memberikan dua buku, yaitu buku karya Pram, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, dan
buku karya Eka Kurniawan, Pramoedya
Ananta Toer dan Sastra Realisme. Bagi Linda, buku karya Pram bisa
membuatnya jauh lebih bahagia dari kilau emas [4]. “...kegilaanku ini karena
aku harus menjadi gila agar bisa menjadi waras”. Penghulu awalnya menolak mahar
buku. Setelah berdebat, akhirnya diperkenankan sebagai pelengkap seperangkat
alat shalat.
Linda berkisah dengan
sangat detail bagaimana kisah pertemuan pertamanya dengan Soesilo Toer di rumah
masa kecil Pram di Blora. Bagaimana ia datang naik sepeda motor dari Tuban
diceritakan dengan heroik. Juga bagaimana ia mengulik hal-hal di balik
novel-novel Pram. Soesilo Toer berkisah dengan sangat fasih tentang novel Arus Balik dan kisah-kisah di baliknya.
Novel-novel Pram yang lainnya—Bumi
Manusia, Perburuan, Bukan Pasar Malam—juga dikonfirmasi kepada adik kandung
Pram. Meskipun demikian, Soesilo sangat kritis. Tidak jarang ia juga mengkritik
Pram dengan sangat tajam.
Linda menyumbang tiga
tulisan di buku ini tetapi terlihat sekali spirit literasinya yang sangat luar
biasa. Ia begitu bersemangat. Juga gigih. Sungguh sebuah teladan yang luar
biasa.
Lain Linda, Lain Rohmat
Sholihin. Rohmat sangat kritis. Ia laiknya seorang pengamat. Realitas ia kuliti
secara tajam. Spirit Pram tampaknya benar-benar hadir di diri Rohmat. Tapi ia
juga sosok religius sebagaimana mewarnai bagian-bagian tulisannya di buku ini.
Rohmat menyitir Pram
bahwa menulis itu merupakan keberanian untuk dikritik. Ia merujuk pada
perjalanan hidup Pram yang akrab dengan penjara. Pram pernah ditahan selama 3
tahun pada masa kolonial, 1 tahun pada masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa
Orde Baru. Tentu ini suatu hal yang sangat menyiksa. Tapi Pram orang yang
sangat tegar. Ia terus menulis meskipun dilarang [37].
Pentingnya menulis
disampaikan berulang-ulang oleh Rohmat. Tentu, ia meneruskan spirit seorang
Pram. Bagi Pram, menulis itu tugas nasional yang lebih penting dari kebutuhan
pokok: makan, minum, dan buang hajat [72]. Menyitir Pram, “Menulislah. Tidak
usah takut. Suatu saat tulisan kita akan bicara” [74].
Joyo Juwoto melengkapi
perspektif Linda dan Rohmat yang meledak-ledak. Joyo lebih kalem. Sebagai santri, terlihat ia lebih tenang. Ia kagum Pram
tetapi ia mampu mengelola perasaan kekagumannya. Sebuah sikap yang terlihat
secara santun di tulisan demi tulisan di buku ini.
Joyo Juwoto mengungkapkan
tentang hal penting untuk memahami Pram. Ia menulis bahwa cara memahami
karya-karya Pram adalah dengan menyelami huruf per huruf, kata per kata, dan
kalimat per kalimat dari karya-karya Pram (107). Pernyataan ini menunjukkan
pentingnya belajar langsung ke sumber primer. Pencekalan, pelarangan, dan
pembakaran buku-buku Pram sangat mungkin dilakukan oleh orang yang justru belum
pernah membaca buku Pram. Tentu ini ironi.
Joyo Juwoto menyebut Pram
dengan beberapa sebutan: (1) pendobrak dan pembaru dunia sastra Indonesia; (2)
samudera luas yang tak terbatas; (3) fenomena langka.
Joyo mengkritik Pram yang
dinilainya ada aroma permusuhan dengan Islam. Meskipun demikian, Pram bukan
benci terhadap Islam, tetapi terhadap umat Islam yang tidak mengaplikasikan
Islam dengan sebenar-benarnya (112-113).
Meskipun mengaku dirinya
kritis tetapi Joyo Juwoto tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap Pram.
Namun terlihat Joyo bukan sekadar Pramis Ideologis. Lebih tepat jika dia
disebut sebagai Pramis Kritis.
Bandar Seri Begawan, 10
Desember 2019
Tidak ada komentar: