Ketika Tiga Anak Muda Tuban Menulis Pram

Januari 09, 2020

Linda Tria Sumarno, Rohmat Sholihin, Joyo Juwoto, Tiga Menguak Pram, Blora: Pataba, 2019

Kebesaran Pramoedya Ananta Toer bukan rahasia lagi. Sebagian besar orang juga mengetahuinya, baik pengagum atau pembencinya. Wajar jika kemudian banyak yang mengulas Pram dan karya-karya yang dihasilkannya.
Kekaguman terhadap Pram dan karya-karyanya juga dialami oleh tiga anak muda dari Tuban ini. Berbeda dengan yang lainnya, ketiga anak muda dari Tuban ini mengekspresikan kekaguman itu dalam karya. Mereka bertiga menulis bersama. Buku ini adalah wujudnya.
Buku ini menunjukkan bagaimana kekaguman terhadap seorang tokoh itu bisa bernilai positif. Tidak sekadar kagum tetapi bagaimana mengekspresikan kekaguman itu dalam tulisan, memaknainya, dan melakukan kontekstualisasi.
Linda Tria Sumarno sebagai penulis pertama berkisah banyak hal tentang Pram. Ia menulis dengan unik. Menurut penuturannya, ia mendapatkan banyak hal setelah membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, termasuk mendapatkan pembelajaran kehidupan. Kehidupan memang tidak hitam putih. Ia menulis, ”Kehidupan yang rela memakan kehidupan yang lain agar kehidupan itu sendiri tetap hidup dan berkuasa” [h. 2].
Keunikan lain saya kira terletak pada sosok Linda sendiri. Bayangkan, ia minta mahar nikahnya adalah buku karya Pram. Calon suaminya memberikan dua buku, yaitu buku karya Pram, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, dan buku karya Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme. Bagi Linda, buku karya Pram bisa membuatnya jauh lebih bahagia dari kilau emas [4]. “...kegilaanku ini karena aku harus menjadi gila agar bisa menjadi waras”. Penghulu awalnya menolak mahar buku. Setelah berdebat, akhirnya diperkenankan sebagai pelengkap seperangkat alat shalat.
Linda berkisah dengan sangat detail bagaimana kisah pertemuan pertamanya dengan Soesilo Toer di rumah masa kecil Pram di Blora. Bagaimana ia datang naik sepeda motor dari Tuban diceritakan dengan heroik. Juga bagaimana ia mengulik hal-hal di balik novel-novel Pram. Soesilo Toer berkisah dengan sangat fasih tentang novel Arus Balik dan kisah-kisah di baliknya. Novel-novel Pram yang lainnya—Bumi Manusia, Perburuan, Bukan Pasar Malam—juga dikonfirmasi kepada adik kandung Pram. Meskipun demikian, Soesilo sangat kritis. Tidak jarang ia juga mengkritik Pram dengan sangat tajam.
Linda menyumbang tiga tulisan di buku ini tetapi terlihat sekali spirit literasinya yang sangat luar biasa. Ia begitu bersemangat. Juga gigih. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa.
Lain Linda, Lain Rohmat Sholihin. Rohmat sangat kritis. Ia laiknya seorang pengamat. Realitas ia kuliti secara tajam. Spirit Pram tampaknya benar-benar hadir di diri Rohmat. Tapi ia juga sosok religius sebagaimana mewarnai bagian-bagian tulisannya di buku ini.
Rohmat menyitir Pram bahwa menulis itu merupakan keberanian untuk dikritik. Ia merujuk pada perjalanan hidup Pram yang akrab dengan penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial, 1 tahun pada masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru. Tentu ini suatu hal yang sangat menyiksa. Tapi Pram orang yang sangat tegar. Ia terus menulis meskipun dilarang [37].
Pentingnya menulis disampaikan berulang-ulang oleh Rohmat. Tentu, ia meneruskan spirit seorang Pram. Bagi Pram, menulis itu tugas nasional yang lebih penting dari kebutuhan pokok: makan, minum, dan buang hajat [72]. Menyitir Pram, “Menulislah. Tidak usah takut. Suatu saat tulisan kita akan bicara” [74].
Joyo Juwoto melengkapi perspektif Linda dan Rohmat yang meledak-ledak. Joyo lebih kalem. Sebagai santri, terlihat ia lebih tenang. Ia kagum Pram tetapi ia mampu mengelola perasaan kekagumannya. Sebuah sikap yang terlihat secara santun di tulisan demi tulisan di buku ini.
Joyo Juwoto mengungkapkan tentang hal penting untuk memahami Pram. Ia menulis bahwa cara memahami karya-karya Pram adalah dengan menyelami huruf per huruf, kata per kata, dan kalimat per kalimat dari karya-karya Pram (107). Pernyataan ini menunjukkan pentingnya belajar langsung ke sumber primer. Pencekalan, pelarangan, dan pembakaran buku-buku Pram sangat mungkin dilakukan oleh orang yang justru belum pernah membaca buku Pram. Tentu ini ironi.
Joyo Juwoto menyebut Pram dengan beberapa sebutan: (1) pendobrak dan pembaru dunia sastra Indonesia; (2) samudera luas yang tak terbatas; (3) fenomena langka.
Joyo mengkritik Pram yang dinilainya ada aroma permusuhan dengan Islam. Meskipun demikian, Pram bukan benci terhadap Islam, tetapi terhadap umat Islam yang tidak mengaplikasikan Islam dengan sebenar-benarnya (112-113).
Meskipun mengaku dirinya kritis tetapi Joyo Juwoto tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap Pram. Namun terlihat Joyo bukan sekadar Pramis Ideologis. Lebih tepat jika dia disebut sebagai Pramis Kritis.

Bandar Seri Begawan, 10 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.