SEKARANG MENULIS, NANTI DITULIS
Ngainun
Naim
Work From Home (WFH) karena wabah Corona
membuat saya memiliki waktu bersama keluarga yang sangat melimpah. Sungguh ini
merupakan hikmah luar biasa yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ketika
kondisi normal, saya relatif sibuk. Istri juga begitu. Anak yang sulung juga
sibuk sekolah. Sangat jarang kami memiliki waktu untuk bersama, kecuali pada
hari minggu.
Sekarang ini nyaris setiap
hari kami bersama. Memang tidak setiap hari sepenuhnya karena saya harus piket
pada hari tertentu. Demikian juga dengan istri. Tetapi volume piket tidak
sebanyak waktu ketika keadaan normal.
Kami berusaha menikmati
keadaan sekarang ini. WFH yang berlangsung nyaris sebulan ini sudah mulai
menimbulkan titik jenuh. Saya juga mengamati orang semakin kurang peduli dengan
wabah ini. Tempat-tempat juga mulai ramai. Orang berkerumpul mulai banyak
ditemukan. Entahlah, tampaknya orang juga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan. Orang juga jenuh dengan tanpa aktivitas yang memadai.
Saat WFH semacam ini saya
lebih sering bekerja—mengajar daring dan menulis—dari teras rumah. Di teras ini
suasana cukup cerah. Saya bisa melihat halaman dan juga lalu lalang orang yang
lewat gang depan rumah. Kadang saya menemani anak main bola atau berlarian.
Suasana semacam ini sungguh
sangat berharga. Relasi kami sebagai orang tua dengan anak-anak semakin dekat.
Sebuah kondisi yang rasanya agak sulit kami peroleh kalau tidak ada wabah
Corona.
Siapa pun tidak ada yang
menyukai situasi semacam ini. Sekarang ini mulai muncul kerinduan untuk kembali
ke keadaan normal. Rindu berangkat kerja di pagi hari. Rindu bertemu rekan
kerja. Rindu bepergian. Dan rindu melakukan aktivitas apa pun sebagaimana biasa
dilakukan sebelum “negara api menyerang”.
Jumat siang (17 April 2020) sekitar
pukul 10.00 tiba-tiba tukang pos datang. Sangat jarang saya menerima paket
dengan alamat rumah. Biasanya paket saya alamatkan di kantor. Namun dalam
kondisi WFH sekarang ini, paket—rata-rata buku—saya alamatkan ke rumah. Kalau
saya alamatkan ke kantor berarti harus menunggu seminggu karena jadwal piket
saya memang seminggu sekali. Kebijakan pimpinan, pegawai yang tinggalnya di
luar kabupaten jadwal piket hanya seminggu sekali. Sementara yang dalam satu
kabupaten seminggu dua kali.
Saya lihat paket bersampul
putih. Tertulis nama pengirimnya: Abd. Azis Tata Pangarsa. Ya, saya langsung
tahu isinya. Buku antologi mengenang kepergian sahabat kami, Dr. H. M. Taufiqi,
S.P., M.Pd. Saya kebetulan memang menyumbang tulisan di buku yang diedit doktor
muda dari Malang, Abd. Azis Tata Pangarsa. Buku ini ditulis dalam rangka
mengenang kepergian beliau.
Para penulis buku ini adalah
anggota Sahabat Pena Kita. Ini merupakan organisasi para penulis yang berbasis
WhatApps. Dr. H. M. Taufiqi, S.P., M.Pd. adalah inisiator sekaligus penasihat organisasi
ini. Beliau berjuang sepenuh jiwa agar SPK terus tumbuh dan berkembang sehingga
bisa memberikan kontribusi bagi semakin suburnya budaya literasi di Indonesia.
Literasi itu identik dengan
membaca dan menulis. Saat salah seorang penasihat SPK tersebut berpulang maka
mengabadikannya dalam tulisan merupakan sebuah keharusan. Bagaimana pun juga,
menuliskan kenangan tentang seseorang yang berjasa besar dalam perjalanan SPK
adalah perwujudan spirit literasi dalam makna yang sesungguhnya.
Ada 22 orang yang memberikan
sumbangan tulisan di buku ini. Masing-masing penulis memberikan kesaksian bahwa
Mr. Vicky atau Kiai Vicky—sapaan akrab Dr. H. M. Taufiqi, S.P., M.Pd—adalah
orang baik. Tulisan demi tulisan di buku ini menuliskan kesan kebajikan yang
ditanamkan Mr. Vicky. Tentu saja, kesan dan ingatan serta kenangan
masing-masing penulis sifatnya personal. Memang ada persentuhannya dengan
anggota lainnya, tetapi karakter personalitasnya tidak hilang.
Buku antologi ini saya
khatamkan hanya dalam beberapa jam setelah buku ini saya terima. Tetiba
terlintas dalam pikiran saya bahwa sekarang saya memang menulis di buku ini.
Suatu saat saya ingin ditulis sebagaimana Mr. Vicky. Saya ingin dikenang
sebagai orang baik, sebagai orang yang menebar kebajikan.
Kematian itu pasti. Hanya soal
waktu saja. Kata Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, kematian bukan akhir kehidupan.
Ia adalah etape dalam tahapan kehidupan. Justru karena itulah diperlukan
persiapan dalam menghadapinya. Caranya adalah dengan beribadah sebaik mungkin.
Ibadah itu maknanya luas.
Selain ibadah ritual, menebar kebajikan dalam bentuk tulisan juga merupakan
ibadah. Karena itulah maka mari membudayakan menulis. Mari terus menulis,
sesederhana apa pun tulisan kita. Tidak perlu malu. Justru seharusnya kita malu
kalau tidak menulis. Kalau hari ini kita tidak menulis, kecil kemungkinannya
suatu saat kita akan ditulis.
Trenggalek, 17 April 2020.
Ditulis secara ngemil sejak
pagi. Selesai jam 21.35.
Ketika anda berfikir anda mnulis. Ktik anda mnulis anda berfikir. Good
BalasHapusSyukron ya Ustadz
HapusAwal menulis memang bingung dalam penyusunan kata-katanya namun seiring berjalannya waktu kebingungan itu perlahan hilang dan di ganti dengan kemudahan dan keasyikan menulis.
BalasHapusTerimakasih Bapak Dr. Ngainun Naim ilmunya.
Mari terus budayakan menulis
Hapusmenulislah setiap harilalu perhatikan apa yg terjadi.
BalasHapusTerima kasih Omjay. Spirit Omjay sungguh luar biasa.
HapusSetelah berminggu2 WFH emg mulai terasa bosan dan mengganggu ya maka kita rindu kehdupan normal
BalasHapusSaya kira wajar. Meskipun demikian, kita tetap harus menjalani WFH secara produktif, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
HapusTernyata salah satu manfaat dari WfH itu bisa menuntaskan buku bacaan pak hehehehe
BalasHapusLumayanlah walaupun tentunya belum maksimal.
HapusTerimakasih Pak ..sangat mengispirasi🙏
BalasHapusTerima kasih berkenan mengunjungi blog ini
HapusMenulis dan menulis, barang siapa istoqomah menulis suatu saat nanti kan menikmati berkahnya menulis. Bahkan tak harus menunggu nanti, saat itu juga.
BalasHapusBener Kang. Matur suwun sanget nggih.
Hapus