Kalau Sekadar Kritik, Semua Orang Bisa
Ngainun Naim
Jika Anda pernah bepergian naik bus (tentu
sebelum pandemi), Anda pasti akan bertemu dengan kawan-kawan penjaja aneka
barang. Ada makanan, mainan, pengamen, dan—ini yang menarik—penjual buku-buku agama.
Buku yang dijual sifatnya popular dan praktis. Harganya pun berkisar 10 ribuan.
Saya pernah beberapa kali membeli
buku-buku semacam ini. Saya melihat buku semacam ini penting bagi masyarakat
awam. Adanya buku semacam ini cukup membantu masyarakat untuk memahami dan
mengamalkan ajaran Islam.
Di antara sedikit penulis yang cukup
produktif dalam menerbitnya karya di jalur ini adalah Achmad Sunarto. Saya
tidak tahu persis siapa beliau. Ciri buku semacam ini memang tidak ada sinopsis
di cover belakang, tidak ada identitas penulis, tidak ada pengantar penulis,
dan nyaris semuanya tidak ada ISBN. Pencarian saya di google menemukan data
bahwa Achmad Sunarto telah menulis buku sekitar 400 judul. Wow, saya
“ndomblong”. Itu jumlah yang tidak main-main. Saya hitung-hitung, di usia saya
sekarang, jumlah sebanyak itu akan dapat saya capai jika setiap minggu saya
menerbitkan buku selama 25 tahun. Tapi jelas saya tidak mampu mengerjakannya. Mana
mungkin setiap minggu menulis satu buku?
Nama lain yang bisa disebut adalah Maftuh
Ahnan. Hampir sama dengan Achmad Sunarto, identitas penulis ini juga tidak
mudah untuk diketahui. Buku karyanya
konon di atas 250 judul. Suatu jumlah yang sangat luar biasa.
Kedua penulis di atas memang sangat
produktif. Sebagai penulis produktif, semestinya beliau berdua sangat dikenal
oleh publik karena karya-karyanya. Tetapi karena memilih jalur yang tidak mainstream, jarang publikasi karya di media sosial, dan
bahkan identitas diri yang tidak banyak diungkap, produktivitas beliau berdua
tidak banyak diperhitungkan dalam dunia perbukuan Indonesia.
Suatu ketika saya mendengar seorang dosen
bergelar profesor mengkritik habis buku-buku semacam karya Achmad Sunarto dan
Maftuh Ahnan. Kritiknya sangat telak. Dalam kerangka ilmiah, saya memahami
adanya kritik semacam itu. Tapi dalam kerangka berbeda, misalnya produktivitas
berkarya dan sosialisasi karya, saya kira profesor tersebut kalah jauh.
Intinya begini. Setiap tulisan itu
memiliki pembaca dan kriteria. Jika Anda berada di ruang kelas kuliah
pascasarjana, tulisan seperti milik saya ini jelas tidak memenuhi kriteria. Tulisan
semacam ini akan dikritik habis sebagai tidak jelas alurnya, tidak menunjukkan
adanya “kegelisahan akademik”, metodologi kurang jelas, referensi tidak ada,
dan seterusnya. Jika ada orang yang melakukan kritik semacam itu terhadap
tulisan ini, saya akan katakan bahwa Anda salah kamar. Ini memang tulisan asal
saya suka.
Jika Anda ingin menerapkan kriteria
semacam itu, saya memiliki banyak tulisan artikel jurnal. Tulisan semacam itu
telah melalui proses review yang ketat. Berkali-kali diperbaiki sampai akhirnya
bisa terbit di beberapa jurnal terakreditasi nasional.
Saya akan membuat analogi yang berbasis
pengalaman empiris. Suatu ketika seorang dai terkenal mengisi kegiatan seminar
di sebuah kampus. Beliau presentasi layaknya mengisi pengajian. Usai acara,
beberapa orang berkomentar terkait presentasi dai tersebut. Saya yang
mendengarkan perbincangan itu kemudian ikut memberikan pendapat. Saya katakan
bahwa tidak ada orang yang bisa sempurna di semua lini. Dai yang kami
perbincangkan itu memiliki jamaah yang luar biasa. Tapi jangan dibawa ke
kampus. Kurang pas karena kampus memiliki tolok ukur berbeda dengan kampung.
Siapa tidak kenal dengan Prof. Dr. M.
Quraish Shihab? Ahli tafsir Al-Quran terkemukan negeri ini. Beliau jika menjelaskan
segala sesuatu sangat mendalam dan metodologis. Cocok dengan metodologi yang
diajarkan di perguruan tinggi. Tetapi jangan posisikan beliau mengisi pengajian
umum di kampung-kampung. Jamaah akan bosan karena orasi beliau kurang cocok
untuk orang awam.
Begitu juga dengan tulisan. Semua tulisan—asal
isinya baik dan cara menulisnya baik—harus kita apresiasi. Jangan hanya
mengkritik sebagai tidak ilmiah, tidak bermanfaat, dan sebagainya. Jika sekadar
mengkritik, semua orang juga bisa. Coba selain mengkritik berikan solusi biar
yang dikritik tidak bingung.
Super sekali
BalasHapusBenar2 memotivasi kami yang baru belajar menulis
Terima kasih ilmu nya guru🙏
Sama-sama
Hapusmengkritik itu paling mudah apalagi tanpa solusi...
BalasHapusTulisan bapak selalu menarik utk dibaca
Hebat. Terima kasih selalu memotivasi.
BalasHapusSama-sama
HapusPerlu introspeksi diri
BalasHapus👍👍👍👍
HapusSungguh tulisan yang membuat orang tidak minder untuk menulis
BalasHapusSemangat Bu
HapusKekurangan orang mudah terlihat drpd kekurangan diri sendiri.Perlu introspeksi diri
BalasHapusBetul Bu
HapusWah...menambah wawasan dan semangat
BalasHapusSemangat Mas
HapusItulah sebabnya pak, ketika seorang teman berbincang bincang dengan saya terkait kegiatan menulis, kebetulan teman itu sedang menempuh pendidikan pasca sarjana. Saya merasaa minder kr pendidikan sy hanya s1, teman itu bilang tulisan lulusan s1 tidak bisa dipakai .dia tahu saya suka menulis. Saya hanya bilang dengan nada sedih, saya hanya menulis sesuka hati saya .saya hanya bertutur bukan untuk referensi.
BalasHapusTerus menulis Bu. Semangat.
HapusTerima kasih mauidhoh buat saya yang lagi belajar menulis
BalasHapusSelalu semangat ya Bu
HapusAlhamdulillah, sungguh menyejukkan dan sangat menginspirasi. Memposisikan tulisan itu perlu tetapi menulis yang baik sunah muakad bahkan wajib.
BalasHapusSepakat
HapusMemang gampang mengkritik tulisan orang lain, tp sangat susah untuk memperbaiki tulisan tersebut. Tetaplah selalu mjd inspirator bagi kami.
BalasHapusBetul sekali gus... org sangat ringan tangan dan mulut jika mengkritik
BalasHapusKarena memang mudah melakukannya
HapusMulai tercerahkan... Tambah semangat....
BalasHapusMari terus semangat
HapusKisah di dalam bus sering saya alami tetapi belum pernah menjadi sebuah tulisan, sebatas di benak. Terima kasih Prof. telah menginspirasi.
BalasHapusSama-sama Bu
HapusMenulis memang bukan untuk memuaskan dahaga orang lain atas kegelisahannya. Setidaknya dengan suatu tulisan bisa menohok orang lain, apapun itu jenis tulisannya. Yang terpenting baik dan ada nilai kebermanfaatan.
BalasHapusMemang begitulah realitasnya. Terimakasih motivasinya, Pak.
Betul. Semoga tulisan seserhana ini bermanfaat.
HapusMencerahkan Gus
BalasHapusTerima kasih
HapusSepakat Pak
BalasHapusApapun bentuk tulisan, dengan kualitas macam mana sebuah karya, penulis telah meninggalkan jejak, telah membuat pembeda. Kritik tak tertulis bahkan tidak ada artinya buat dia. Tulisan sejelek apapun tetap sebuah karya, kritik sebagus apapun tetap bukan sebuah karya selama tidak berbentuk tulisan akan hilang dari sejarah.
BalasHapusSepakat
HapusSetuju Pak. Dengan ulasan ini, jadi makin percaya diri untuk terus nulis.
BalasHapusSemangat Ustadz
HapusTulisan yang memberi pencerahan untuk berani menggoreskan pena, tulisan yg memotivasi karena tidak semua tulisan harus sll ilmiah, memberikan solusi bagi pemula sll berkarya... Tulisan bapak indah dan menarik....tulisanpun ternyata membawa karakter masing masing....terimakasih bpk.
BalasHapusTerima kasih
HapusTulisan yg inspiratif mudah d cernah pembaca...sy suka.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusTiap kali berkunjung dan membaca tulisan di blog ini saya selalu mengangguk-angguk dan mengaminkan. Dan berkata dalam hati, "Iya, benar juga, ya."
BalasHapusTerima kasih Mas
HapusMembaca tulisan prof selalu menyentil untuk tetap menulis. Terimakasih prof.
BalasHapusSemangat Bu
Hapus