Kalau Sekadar Kritik, Semua Orang Bisa

Juni 21, 2020

Ngainun Naim


Jika Anda pernah bepergian naik bus (tentu sebelum pandemi), Anda pasti akan bertemu dengan kawan-kawan penjaja aneka barang. Ada makanan, mainan, pengamen, dan—ini yang menarik—penjual buku-buku agama. Buku yang dijual sifatnya popular dan praktis. Harganya pun berkisar 10 ribuan.
Saya pernah beberapa kali membeli buku-buku semacam ini. Saya melihat buku semacam ini penting bagi masyarakat awam. Adanya buku semacam ini cukup membantu masyarakat untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Di antara sedikit penulis yang cukup produktif dalam menerbitnya karya di jalur ini adalah Achmad Sunarto. Saya tidak tahu persis siapa beliau. Ciri buku semacam ini memang tidak ada sinopsis di cover belakang, tidak ada identitas penulis, tidak ada pengantar penulis, dan nyaris semuanya tidak ada ISBN. Pencarian saya di google menemukan data bahwa Achmad Sunarto telah menulis buku sekitar 400 judul. Wow, saya “ndomblong”. Itu jumlah yang tidak main-main. Saya hitung-hitung, di usia saya sekarang, jumlah sebanyak itu akan dapat saya capai jika setiap minggu saya menerbitkan buku selama 25 tahun. Tapi jelas saya tidak mampu mengerjakannya. Mana mungkin setiap minggu menulis satu buku?
Nama lain yang bisa disebut adalah Maftuh Ahnan. Hampir sama dengan Achmad Sunarto, identitas penulis ini juga tidak mudah untuk diketahui.  Buku karyanya konon di atas 250 judul. Suatu jumlah yang sangat luar biasa.
Kedua penulis di atas memang sangat produktif. Sebagai penulis produktif, semestinya beliau berdua sangat dikenal oleh publik karena karya-karyanya. Tetapi karena memilih jalur yang tidak mainstream, jarang publikasi karya di media sosial, dan bahkan identitas diri yang tidak banyak diungkap, produktivitas beliau berdua tidak banyak diperhitungkan dalam dunia perbukuan Indonesia.
Suatu ketika saya mendengar seorang dosen bergelar profesor mengkritik habis buku-buku semacam karya Achmad Sunarto dan Maftuh Ahnan. Kritiknya sangat telak. Dalam kerangka ilmiah, saya memahami adanya kritik semacam itu. Tapi dalam kerangka berbeda, misalnya produktivitas berkarya dan sosialisasi karya, saya kira profesor tersebut kalah jauh.
Intinya begini. Setiap tulisan itu memiliki pembaca dan kriteria. Jika Anda berada di ruang kelas kuliah pascasarjana, tulisan seperti milik saya ini jelas tidak memenuhi kriteria. Tulisan semacam ini akan dikritik habis sebagai tidak jelas alurnya, tidak menunjukkan adanya “kegelisahan akademik”, metodologi kurang jelas, referensi tidak ada, dan seterusnya. Jika ada orang yang melakukan kritik semacam itu terhadap tulisan ini, saya akan katakan bahwa Anda salah kamar. Ini memang tulisan asal saya suka.
Jika Anda ingin menerapkan kriteria semacam itu, saya memiliki banyak tulisan artikel jurnal. Tulisan semacam itu telah melalui proses review yang ketat. Berkali-kali diperbaiki sampai akhirnya bisa terbit di beberapa jurnal terakreditasi nasional.
Saya akan membuat analogi yang berbasis pengalaman empiris. Suatu ketika seorang dai terkenal mengisi kegiatan seminar di sebuah kampus. Beliau presentasi layaknya mengisi pengajian. Usai acara, beberapa orang berkomentar terkait presentasi dai tersebut. Saya yang mendengarkan perbincangan itu kemudian ikut memberikan pendapat. Saya katakan bahwa tidak ada orang yang bisa sempurna di semua lini. Dai yang kami perbincangkan itu memiliki jamaah yang luar biasa. Tapi jangan dibawa ke kampus. Kurang pas karena kampus memiliki tolok ukur berbeda dengan kampung.
Siapa tidak kenal dengan Prof. Dr. M. Quraish Shihab? Ahli tafsir Al-Quran terkemukan negeri ini. Beliau jika menjelaskan segala sesuatu sangat mendalam dan metodologis. Cocok dengan metodologi yang diajarkan di perguruan tinggi. Tetapi jangan posisikan beliau mengisi pengajian umum di kampung-kampung. Jamaah akan bosan karena orasi beliau kurang cocok untuk orang awam.
Begitu juga dengan tulisan. Semua tulisan—asal isinya baik dan cara menulisnya baik—harus kita apresiasi. Jangan hanya mengkritik sebagai tidak ilmiah, tidak bermanfaat, dan sebagainya. Jika sekadar mengkritik, semua orang juga bisa. Coba selain mengkritik berikan solusi biar yang dikritik tidak bingung.

Trenggalek, 21-6-2020

43 komentar:

  1. Super sekali

    Benar2 memotivasi kami yang baru belajar menulis

    Terima kasih ilmu nya guru🙏

    BalasHapus
  2. mengkritik itu paling mudah apalagi tanpa solusi...
    Tulisan bapak selalu menarik utk dibaca

    BalasHapus
  3. Hebat. Terima kasih selalu memotivasi.

    BalasHapus
  4. Sungguh tulisan yang membuat orang tidak minder untuk menulis

    BalasHapus
  5. Kekurangan orang mudah terlihat drpd kekurangan diri sendiri.Perlu introspeksi diri

    BalasHapus
  6. Wah...menambah wawasan dan semangat

    BalasHapus
  7. Itulah sebabnya pak, ketika seorang teman berbincang bincang dengan saya terkait kegiatan menulis, kebetulan teman itu sedang menempuh pendidikan pasca sarjana. Saya merasaa minder kr pendidikan sy hanya s1, teman itu bilang tulisan lulusan s1 tidak bisa dipakai .dia tahu saya suka menulis. Saya hanya bilang dengan nada sedih, saya hanya menulis sesuka hati saya .saya hanya bertutur bukan untuk referensi.

    BalasHapus
  8. Terima kasih mauidhoh buat saya yang lagi belajar menulis

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah, sungguh menyejukkan dan sangat menginspirasi. Memposisikan tulisan itu perlu tetapi menulis yang baik sunah muakad bahkan wajib.

    BalasHapus
  10. Memang gampang mengkritik tulisan orang lain, tp sangat susah untuk memperbaiki tulisan tersebut. Tetaplah selalu mjd inspirator bagi kami.

    BalasHapus
  11. Betul sekali gus... org sangat ringan tangan dan mulut jika mengkritik

    BalasHapus
  12. Mulai tercerahkan... Tambah semangat....

    BalasHapus
  13. Kisah di dalam bus sering saya alami tetapi belum pernah menjadi sebuah tulisan, sebatas di benak. Terima kasih Prof. telah menginspirasi.

    BalasHapus
  14. Menulis memang bukan untuk memuaskan dahaga orang lain atas kegelisahannya. Setidaknya dengan suatu tulisan bisa menohok orang lain, apapun itu jenis tulisannya. Yang terpenting baik dan ada nilai kebermanfaatan.

    Memang begitulah realitasnya. Terimakasih motivasinya, Pak.

    BalasHapus
  15. Apapun bentuk tulisan, dengan kualitas macam mana sebuah karya, penulis telah meninggalkan jejak, telah membuat pembeda. Kritik tak tertulis bahkan tidak ada artinya buat dia. Tulisan sejelek apapun tetap sebuah karya, kritik sebagus apapun tetap bukan sebuah karya selama tidak berbentuk tulisan akan hilang dari sejarah.

    BalasHapus
  16. Setuju Pak. Dengan ulasan ini, jadi makin percaya diri untuk terus nulis.

    BalasHapus
  17. Tulisan yang memberi pencerahan untuk berani menggoreskan pena, tulisan yg memotivasi karena tidak semua tulisan harus sll ilmiah, memberikan solusi bagi pemula sll berkarya... Tulisan bapak indah dan menarik....tulisanpun ternyata membawa karakter masing masing....terimakasih bpk.

    BalasHapus
  18. Tulisan yg inspiratif mudah d cernah pembaca...sy suka.

    BalasHapus
  19. Tiap kali berkunjung dan membaca tulisan di blog ini saya selalu mengangguk-angguk dan mengaminkan. Dan berkata dalam hati, "Iya, benar juga, ya."

    BalasHapus
  20. Membaca tulisan prof selalu menyentil untuk tetap menulis. Terimakasih prof.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.