Semua Kita Adalah Penulis
Ngainun
Naim
Kita semua ini sesungguhnya
adalah penulis. Ya, kita semua, termasuk Anda yang membaca tulisan sederhana
ini. Anda, saya, dan kita semua.
Mungkin Anda tidak setuju dan membantah pendapat ini. Sejauh ini, misalnya, Anda merasa tidak pernah menulis. Jadi bagaimana mungkin bisa disebut sebagai penulis jika tidak pernah menulis? Padahal semestinya Anda bangga disebut penulis.
Mungkin Anda tidak setuju dan membantah pendapat ini. Sejauh ini, misalnya, Anda merasa tidak pernah menulis. Jadi bagaimana mungkin bisa disebut sebagai penulis jika tidak pernah menulis? Padahal semestinya Anda bangga disebut penulis.
Baiklah. Saya ingin
memberikan beberapa argumen yang siapa tahu bisa meyakinkan bahwa kita semua
penulis. Pertama, Anda setiap hari menulis di WA, Facebook, caption di Instagram, dan semua bentuk
tulisan lainnya. Nah, ini kan bukti yang cukup meyakinkan bahwa Anda adalah
seorang penulis. Jadi Anda itu penulis lho.
Begitu sederhanakah? Iya.
Hanya begitu saja dan Anda sudah berhak menyandang gelar sebagai seorang penulis.
Penulis apa? Tergantung
yang Anda tulis. Jika Anda rutin menulis di Facebook ya berarti Anda penulis Facebook. Begitu juga dengan media lain semacam WA, instagram, dan sejenisnya.
Memang jenis-jenis penulis ini
dari sisi "pengakuan" publik lemah. Orang biasanya belum menyebutnya
sebagai penulis. Tapi harap dicermati bahwa pengakuan itu aspek yang berbeda.
Ia tidak bisa dipaksakan.
Jika Anda ingin disebut
sebagai penulis sebagaimana yang dipahami masyarakat maka menulislah
sebagaimana pemahaman masyarakat. Anda sudah punya modal kok. Anda sudah sering menulis di FB, WA. Jadi tinggal sedikit
kerja keras maka tulisan pun jadi.
Bukti kedua, Anda bisa
membaca. Kalau Anda bisa membaca maka Anda bisa menulis. Syarat bisa menulis
adalah membaca.
Apakah ada penulis yang buta huruf? Saya kira tidak ada. Penulis hebat semuanya pembaca, meskipun--misalnya--dirinya tidak bisa melihat. Saya pernah membaca kisah bagaimana Gus Dur selalu dibacakan buku oleh asistennya dan pada saat lain beliau berbicara yang kemudian diolah menjadi tulisan.
Apakah ada penulis yang buta huruf? Saya kira tidak ada. Penulis hebat semuanya pembaca, meskipun--misalnya--dirinya tidak bisa melihat. Saya pernah membaca kisah bagaimana Gus Dur selalu dibacakan buku oleh asistennya dan pada saat lain beliau berbicara yang kemudian diolah menjadi tulisan.
Mungkin Anda tidak setuju
dengan pendapat ini. Jika begitu cobalah Anda menulis komentar tentang buku apa yang pernah Anda
baca dan ceritakan dalam tiga paragraf saja. Saya yakin Anda mampu membuatnya.
Tulisannya bebas saja, sebisa Anda.
Paragraf pertama, misalnya, bercerita tentang bagaimana buku itu Anda peroleh. Cukup tiga paragraf. Paragraf kedua isi secara garis besar. Dan paragraf ketiga penutup. Saya yakin Anda bisa membuatnya.
Paragraf pertama, misalnya, bercerita tentang bagaimana buku itu Anda peroleh. Cukup tiga paragraf. Paragraf kedua isi secara garis besar. Dan paragraf ketiga penutup. Saya yakin Anda bisa membuatnya.
Jangan pikirkan soal baik
dan buruk. Tulis saja. Baik dan buruk tulisan itu berkaitan dengan banyak hal. Intinya saya
ingin meyakinkan bahwa Anda sesungguhnya adalah seorang penulis.
Bukti ketiga, saat Anda
mengerjakan sesuatu, apa pun bentuknya, sesungguhnya Anda sedang menulis.
Lho kok bisa? Ya iyalah.
Memakai istilah Prof. Dr. Ersis Warmansyah Abbas, itu disebut dengan
"menulis di dalam otak". Otak kita sesungguhnya menuliskan kalimat
demi kalimat. Begitu seterusnya.
Saat ada kesempatan,
segeralah menurunkan tulisan di otak ke tulisan di komputer. Jika tulisan di
otak sudah rapi, tulisan di komputer relatif serupa. Ketika Anda sulit menulis
di komputer, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah tulisan di otak juga
kurang rapi.
Jika ingin menghasilkan
tulisan di komputer yang rapi maka mulai sekarang harus dilatih menulis di
otak. Memang tidak mudah tetapi jika dilakukan secara rutin akan memberi hasil
sebagaimana diharapkan.
Beberapa orang mengeluhkan tentang sulitnya menulis di komputer. Secara guyon saya bilang bahwa berbicara itu jauh lebih mudah karena mulut itu lebih dekat dengan otak, sementara menulis harus memakai jari. Jaraknya kan agak jauh. Jadi wajar jika menulis menjadi sulit.
Salam literasi.
Trenggalek, 11-12 Juni 2020
Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung. Aktif dalam kegiatan literasi. Beberapa bukunya yang bertema literasi adalah Literasi dari Brunei Darussalam (2020), Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), dan Spirit Literasi: Membaca, Menulis dan Transformasi Diri (2019). Untuk komunikasi via email: naimmas22@gmail.com. WA: 081311124546.
Beberapa orang mengeluhkan tentang sulitnya menulis di komputer. Secara guyon saya bilang bahwa berbicara itu jauh lebih mudah karena mulut itu lebih dekat dengan otak, sementara menulis harus memakai jari. Jaraknya kan agak jauh. Jadi wajar jika menulis menjadi sulit.
Salam literasi.
Trenggalek, 11-12 Juni 2020
Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung. Aktif dalam kegiatan literasi. Beberapa bukunya yang bertema literasi adalah Literasi dari Brunei Darussalam (2020), Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), dan Spirit Literasi: Membaca, Menulis dan Transformasi Diri (2019). Untuk komunikasi via email: naimmas22@gmail.com. WA: 081311124546.
Perlu kerja keras lagi agar dapat menulis dengan baik. Terima kasih motivasinya Pak.
BalasHapusSama-sama
HapusMantap Pak istilah baru menulis di otak.
BalasHapusInsya allah berusaha untuk belajar dg menulis setiap hari
BalasHapusAmin. Semangat Bu
HapusMenulis di otak tak terbaca orang lain, menulis dengan aksara bisa dibaca orang lain. Menulis di otak dulu ya pak. Mantap istilahnya bapak.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusSering menulis di otak lupa menyalin, tak bisa dibaca...ha ha
BalasHapusHa ha ha
HapusProses menulis seperti mengasah pisau.. semakin sering diasah bsemakin tajam. Seperti tulisan pak Dr ini.
BalasHapusSuwun Bu
HapusMasya Allah menulis di otak smg memorynya bagus
BalasHapusMasya Allah motivasinya luar biasa pak...
BalasHapusTerima kasih.
HapusBener2 Spirit yang tiada henti, tk
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusKok saya baru menyadarinya ya pak.! Hehehe. Menginspirasi!
BalasHapusHe he he
HapusSemoga menyadarkan semua bahwa menulis tinggal mengerjakan dan dilakukan terus menerus. Selama manusia bisa membaca, pasti bisa menulis. Kemampuan yang sering diabaikan dan disepelekan.
BalasHapusTerima kasih Pak
HapusTulislah yang rapi di otak untuk menghasilkà n tulisan yg bagus di atas kertas ataupun komputer:). Terima kasih untuk motivasi hari ini Prof.
BalasHapusSama-sama
HapusMenulis tdk butuh pengakuan, makasih ilmunya Pak Ngainun.
BalasHapusTugas penulis itu ya menulis
HapusInspiratif dan provokatif hehe
BalasHapusSuwun Mas
HapusTerima kasih atas inspirasi nya Hari ini Prof
BalasHapusSama-sama
HapusTrims motivasinya. semoga tulisan di otak sll rapi agar di komputer juga rapi.
BalasHapusAmin
HapusMenggelitk namun menyentil..
BalasHapusHe he he
HapusBig love, Bapak Naim.
BalasHapusThank you
HapusTerima kasih atas motivasinya
BalasHapusSama-sama Bu
Hapushebat Gus
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusLuar biasa...mencerahkan, dan menyuntik. Trimakasih prof..
BalasHapusMenulis di Otak, otak terdiri dari lembaran lembaran.. ada keterdekatan dg ayat Suhufinibrohima wa musa.. mungkin suhuf suhuf itu ya otak kita.. salam literasi.. selalu menginspirasi pak.. sukses selalu
BalasHapusTerima kasih
HapusMantap bapak, terimakasih atas sugesti dan hipnoterapi nya.
BalasHapus