Corona, Kuliah Daring, dan Membaca

Juli 23, 2020

Ngainun Naim


Tidak ada yang menduga jika begini jadinya. Awalnya hanya dikira bercanda. Hanya mereka yang jauh di sana saja yang merasakannya. Ya, hanya di Wuhan saja yang terserang Corona. Kecil kemungkinannya bisa sampai Indonesia.
Para pejabat dan petinggi negeri ini awalnya juga santai saja menanggapinya. Semuanya memberikan komentar bahwa Corona itu tidak akan bisa menembus masuk ke Indonesia.
Sikap optimis itu penting tetapi harus berbasis kepada realitas. Jika urusannya dengan keselamatan, optimis saja tidak cukup. Harus ada basis-basis kesadaran, kemampuan, dan persiapan yang memadai dalam menghadapinya. Tampaknya, pemerintah kita tidak mempersiapkan diri secara baik dalam menghadapi pandemik yang sedemikian hebat.
Paparan di atas adalah fenomena yang sama-sama kita saksikan. Hal itu didukung oleh realitas berikutnya. Pertengahan Maret 2020 bisa kita anggap sebagai penanda betapa kita kurang mempersiapkan diri. Satu demi satu orang positif terkena Corona. Berita demi berita berseliweran di mana-mana. Begitu menakutkan. Seolah tak percaya. Mau tidak mau kita harus waspada. Ya, kini Corona telah menjadi bagian dari kehidupan yang harus kita hadapi.
Aktivitas demi aktivitas harus terhenti. Agenda demi agenda harus berganti. Semuanya demi keselamatan diri. Kita tidak bisa lagi seenaknya sendiri. Jika ingin sehat dan selamat, protokol kesehatan harus ditaati.
Tidak ada pilihan lagi. Bekerja di kantor sebagaimana sebelum Corona sudah tidak memungkinkan lagi. Jarak dan status masing-masing daerah berbeda. Meskipun demikian bukan berarti tidak bekerja sama sekali. Itu justru tidak sehat. Tentu saja tetap harus bekerja. Hanya saja dengan strategi berbeda.
Sebagai dosen, proses perkuliahan tetap harus dijalankan. Kawan-kawan yang menjadi guru juga harus tetap melaksanakan proses pembelajaran. Bagaimana pun juga, realitas memang semacam ini. Bukan berarti kita menjadi pasif. Tentu tidak. Kita harus tetap mengajar walau tidak lagi bertatap muka. Maka pembelajaran dengan sistem daring menjadi pilihan.
Transisi dari pembelajaran tatap muka menuju pembelajaran sistem daring ternyata tidak sederhana. Rumit, bahkan sangat rumit. Pertama-tama adalah sistem yang dipakai. Teknologi berkembang sedemikian cepat, tetapi kita tidak selalu siap menghadapi perubahan yang semacam ini. Di sinilah tantangan yang harus dicari solusi. Mungkin dosen atau guru siap dengan sistem tertentu, tetapi belum tentu dengan siswa atau mahasiswanya. Sebaliknya, siswa atau mahasiswa yang siap tetapi dosennya belum siap.
Kedua, persoalan jaringan. Ini aspek yang harus dipahami secara bijak. Tidak semuanya terdapat jaringan yang memadai. Implikasinya, secanggih apa pun sistem yang digunakan tidak akan ada artinya. Semuanya di luar jaringan.
Ketiga, persoalan kuota. Kemampuan sudah dimiliki, jaringan cukup memadai, tetapi tanpa kuota internet tentu tidak akan jalan. Keluhan kuota semenjak sistem pembelajaran daring juga penting untuk diapresiasi dan dicermati.
Tidak hanya persoalan pembelajaran. Kerja di kantor yang biasanya dilaksanakan dengan kehadiran fisik menjadi tidak bisa lagi dilakukan secara maksimal. Rapat, misalnya, tentu tetap dilaksanakan walaupun secara daring. Rapat secara langsung dan daring jelas berbeda. Sekarang bukan pada persoalan memilih langsung atau daring tetapi bagaimana dalam kondisi sekarang ini diambil sikap bijak. Sikap yang berusaha memanfaatkan kemampuan yang ada berdasarkan kondisi yang sesungguhnya sama-sama tidak kita kehendaki.
Sudah beberapa bulan WFH diterapkan. Ternyata tidak selalu enak. Ada jenuh juga. Sungguh, jika boleh memilih, saya lebih memilih situasi normal dan bekerja di kantor. Tapi sekarang bukan saatnya memilih. Sekarang saatnya bekerja dengan baik dalam kondisi yang ada. Masuk kantor pun harus dengan memenuhi protokol kesehatan secara ketat.
Tetiba kita rindu suasana kantor di kala normal. Rindu mengajar di kelas bersama mahasiswa. Rindu bersua keluarga yang jauh. Rindu semuanya.
Inilah manusia. Ketika semua bisa kita nikmati, saya tidak mensyukurinya. Ketika sekarang suasana itu hilang, kita mengharapkannya.
Sebagai seorang dosen, saya harus berakrab ria dengan kuliah daring. Jauh sebelum keadaan mewajibkan kuliah daring seperti sekarang ini, saya sudah pernah melakukannya. Tapi itu jika terpaksa. Karena tugas keluar kota, misalnya. Tapi jika tidak saya tentu akan masuk kelas. Relasinya terasa berbeda.
Hikmah besar yang saya rasakan saat pandemi ini, salah satunya, adalah kesempatan membaca. Ini sungguh anugerah yang harus saya manfaatkan. Sayang sekali jika saya hanya menjadi kaum rebahan. Berlagak menjadi pahlawan hanya dengan rebahan.
Saya memiliki waktu membaca yang lebih luas. Buku demi buku yang biasanya tidak saya sentuh sama sekali mulai saya akrabi kembali. Memang belum banyak yang saya baca tetapi untuk ukuran kesempatan, tentu jauh lebih banyak dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
Saya juga berusaha keras memanfaatkan waktu yang ada untuk menulis. Menulis apa pun. Menulis artikel jurnal, menulis buku antologi, menulis buku mandiri, dan mengajak kawan-kawan menulis bersama. Menulis merupakan upaya mewariskan khazanah pengetahuan dalam jangka panjang. Saya percaya tulisan—sesederhana apa pun—memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan.

45 komentar:

  1. Berkat Prof Naim, WFH yang saya jalani semakin bermakna dan memberikan kebahagiaan. Terimakasih Prof

    BalasHapus
  2. Berkat WFH jadi produktif..produktif menghasilkan buku, dan produktif menambah berat badan huahuahua...naik 4 kg

    BalasHapus
  3. Anak-anak ingin segera ke sekolah. Masih terhalang SKB...Ustadz

    BalasHapus
  4. Bahasanya mudah dipahami. Uraian runut dan berkelindan. Pesan sangat lugas. Tulisan keren.👍

    BalasHapus
  5. benar sekali prof.setelah tiada baru terasa..

    BalasHapus
  6. Awalnya,derita Wuhan endingnya ? Menemukan hikmah dan pelajaran dari kejadian yg tidak mengenakan ini, saya tunggu kelanjutannya mas doktor

    BalasHapus
  7. Mesti tetap disyukuri nggih
    Ada hikmahnya jg

    BalasHapus
  8. Segala petistiwa selalu ada suatu msksud.semoga cepat berlalu.

    BalasHapus
  9. Dan saya merasakan daya kreativitas berkembang saar di rumah saja.. iya photoshop adalah bukti saya berkarya pada saat pandemi

    BalasHapus
  10. Hal yang biasa kadang lupa kita syukuri, setelah tiada kita merindukannya....

    BalasHapus
  11. Corona yg hadir memberikan sejuta hikmah buat sy pribadi pak. Apalg bergbg dgn kelas menulis, pelan tp pasti

    BalasHapus
  12. Alhamdulillah, barakallah. Selalu menebar kebaikan dimana mana.

    BalasHapus
  13. Kesempatan membaca dalam masa pandemi terbuka lebar. Ini sisi positif dari masa pandemi

    BalasHapus
  14. Alhamdulillah memang lebih produktif menulis...tapi ada hal yg perlu diperhatikan. Keluhan mahasiswa, siswa, dan orang tua yg tdk terima dg kondisi belajar seara daring...banyak yg kontra apalagi terkait dg tetap bayar biaya kuliah dan sekolah secara daring.

    BalasHapus
  15. Luar biasa, di situasi Pandemi tak menghalangi untuk berkarya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terus berkarya meskipun kondisi kurang mendukung

      Hapus
  16. Terbukti, hanya orang bermental lemah, yang mudah menyerah..

    BalasHapus
  17. Ada beberapa teori yang saya dapatkan dari fenomena pandemi ini. Pertama, tingkat ketaatan masyarakat kepada ulil Amri, baik' itu pemerintah, ulama, atau ahli kesehatan. Kedua, persepsi masyarakat tentang ketakwaan, ada yang memetakan bahwa takut kepada Corona berarti menyekutukan Allah dan ada varian lain. Ketiga keinginan banyak orang terkabul, ingin punya kalender tanggal merah semua. Yang terakhir teori ini perlu penelitian lebih lanjut. :)

    BalasHapus
  18. Untuk seberapa orang, keadaan ini membuat kreatifitas bertambah, melek tehnologi, dan literasi. Orang Jawa bilang "blessing in the disguise". Tetap sehat pak untuk selalu berkarya.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.