Potret Kehidupan dalam Tulisan

Juli 02, 2020

Musmarman Abdullah, Dijamin Bukan Mimpi, Kumpulan Cerita Satiris & Inspiratif, Jakarta: Gramedia, 2016. 340 halaman. ISBN: 616221026

Pertama kali mengetahui buku ini dari postingan sastrawan Aceh yang kini bermukim di Ponorogo, Arafat Nur. Beliau kebetulan yang menjadi editornya. Saat itu ada minat untuk memiliki buku ini, tetapi kalah oleh kebutuhan lain yang lebih mendesak. Maka buku itu pun tidak terbeli.
Suatu ketika seorang pelapak buku langganan di fb memposting buku ini. Saya kembali teringat pernah tertarik terhadap buku ini. Buku karya Musmarman ini ditawarkan dengan harga yang jauh dari harga aslinya ketika baru terbit beberapa tahun lalu. Mungkin karena buku ini sudah termasuk kategori lama. Segera saja buku ini saya pilih. Setelah beberapa waktu, buku ini meluncur ke meja saya di kantor.
Buku ini saya baca di sela-sela kesibukan harian. Memang begitu strategi yang saya tempuh. Saya membacanya secara pelan, sedikit demi sedikit. Maka butuh waktu sekitar 10 hari sampai akhirnya buku ini bisa saya khatamkan.
Kok lama? Tidak apa-apa. Saya berusaha menikmati buku bacaan. Membaca itu sendiri sudah sebuah kenikmatan. Soal kapan selesainya, hanya butuh waktu saja. Sepanjang terus membaca, pasti khatam.
Awalnya saya menduga buku ini merupakan kumpulan cerita pendek. Rupanya saya salah. Buku ini—menurut saya—mencakup esai dan juga cerita pendek. Secara pasti aku tidak tahu mana yang benar.
Membaca buku ini membuat saya menemukan banyak informasi dan pengetahuan. Juga inspirasi kehidupan. Bagian demi bagian dari tulisan Musmarman kadang membuat saya mengernyitkan dahi, kadang tertawa, dan tidak jarang juga menyodorkan kritik tajam terhadap berbagai hal. Penulis juga secara jenaka menertawakan berbagai hal dalam kehidupan.
Saya ambil contoh fenomena di jejaring sosial. Jika ada orang menulis status tentang kebajikan, kita tidak fokus pada status itu sendiri, tetapi pada penulisnya. Kita mempertanyakan validitas status tersebut, perilaku penulisnya, dan hal-ikhwal lainnya. Bagi Musnarman, ini tidak bermanfaat. Hanya menghabiskan energi. Kata Musnarman, kita fokus saja mengambil status tersebut untuk kebaikan hidup. Tidak perlu mengurus tentang penulisnya. Soal dia kurang sesuai dengan yang dia tulis, biarkan saja. Bisa habis energi kita hanya untuk soal semacam itu.
Kebajikan. Ya, saya kira itu substansi yang diusung oleh Musnarman. Saya akan kutip salah satu kalimat Musnarman. “Jangan membangun ilusi ketergantungan pada apa pun yang kalian tunggu. Itu akan mengaburkan nilai kesabaran. Tugas kalian hanya menanam. Soal kapan dan siapa yang memanen kelak, itu bukan urusan kalian’ [223].
Coba Anda cermati. Luar biasa bukan? Saya tidak akan banyak membahas buku ini. Akan saya kutipkan beberapa kalimat penting di buku ini.
·           Kita sering tidak berpikir secara mandiri, melainkan berpikir dalam arus kebiasaan berpikir kolektif masyarakat. Orang sering beropini berdasarkan pola “memikirkan hasil pikiran sendiri sebagai pikiran orang lain” [8].
·           Aku yakin jika para pemimpin yang pendusta itu akan dikenang sebagai pendusta. Jika mereka mati, pusaranya akan dikencingi beramai-ramai bersalin generasi [71].
·           Di tengah situasi kalut, memberikan perhatian kepada orang lain adalah cara praktis menjaga sikap diri tetap wajar dan akal ini tetap sehat [117].
·           Dunia tidak selamanya hanya digerakkan oleh materi tetapi juga digerakkan oleh hati, cinta, dan semangat saling berbagi [167].
·           Pujian itu beresiko dan rasa bangga itu membebani [209].
·           Rezeki jangan membuat euforia karena bisa jadi itu bukan rezeki kita sepenuhnya. Masih ada hak orang lain yang harus kita tunaikan [215].
·           “Membaca membiasakan orang untuk berpikir. Membaca dapat mengurangi tindakan spontan manusia, yakni memanusiakan manusia. Orang yang suka membaca pasti terlatih berpikir setiap hendak bertindak sesuatu. Insting spontanitas kebinatangannya ternetralkan oleh kebiasaan berpikir” [228].
·           “Pikiran yang tidak dicatat akan menjebak orang lain untuk memikirkan hal yang sama. Jika orang lain itu tidak mencatatnya juga, dia pun telah ikut menjebak orang lain lagi untuk memikirkan satu hal tanpa mengetahui bahwa orang lain telah memikirkannya. Pikiran yang dicatat, setelah dibaca orang, si pembaca segera akan meninggalkan pikiran itu untuk bergerak memikirkan hal lain lagi, atau melanjutkan pemikiran tersebut” [240].
·           “Banyak orang yang menghabiskan waktu berdinamika di dunia maya karena kecewa dengan dunia nyata” [276].
·           “Kecuali Tuhan, tak ada apa pun di semesta yang paling kuasa menghentikan waktu selain foto. Pada selembar potret, di sana waktu telah stagnan, mati, dan abadi. Di sana sejarah telah dicatat dalam diorama grafis. Di situ kehidupan telah diawetkan” [299].

Demikian catatan sederhana ini. Semoga ada manfaatnya.

24 komentar:

  1. War biasa banyak kutipan berlemak, berdaging dan berserat tinggi. Cocok untuk seperti saya yang kurang nutrisi😁👍

    BalasHapus
  2. Sepertinya rasa sosial penulis cukup tinggi dan dituangkan melalui tulisannya

    BalasHapus
  3. 340 hal dibaca 10 hari
    Sehari 34 halaman ...
    Waktu yg lama menurut bapak...
    Tapi ini yang sy garis bawahi
    "Sepanjang terus membaca, pasti khatam"
    Tetap menginspirasi tulisan bapak...

    BalasHapus
  4. Benar benar kaya serat dan manfaat kalimat yg terangkai.trima kasih

    BalasHapus
  5. Menarik jadi tertarik untuk memiliki bukunya

    BalasHapus
  6. Bagus pak Doktor Naim. Sesekali kunjungi blog saya ya pak trus nantinya beri masukan. suparnomuhammad.blogspot.com

    BalasHapus
  7. Untaian kalimat bpk dalam menceritakan isi buku membawa orang lain ikut penasaran untuk bisa baca isi buku dengan lengkap.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.