Menulis tentang Orang Tua (1)

Maret 13, 2021

 

Ngainun Naim

Saya memiliki seorang sahabat di FB yang luar biasa. Status-status beliau mencerahkan. Catatan-catatan yang diunggah juga inspiratif. Saya seringkali mendapatkan pencerahan saat membaca status dan catatan beliau.

Satu hal yang saya ingat betul adalah ajakan beliau untuk menulis kisah tentang orang tua kita. Ajakan itu didasari oleh kenyataan bahwa kita sebagai anak-anaknya adalah orang yang paling dekat dengan orang tua kita. Tentu, interaksi kita dengan orang tua sangat panjang dan banyak kenangan. Sangat disayangkan jika kemudian segala hal yang terkait dengan orang tua itu kemudian hilang begitu saja karena tidak ditulis.

Alasan lainnya adalah jika bukan kita sebagai anak-anaknya, siapa lagi yang akan menuliskan? Iya jika orang tua kita tokoh besar yang memiliki pengaruh luas sehingga banyak orang yang berminat menulisnya. Tetapi jika orang tua kita adalah orang tua bersahaja, maka tugas menuliskannya adalah tugas kita. Ini menjadi tugas mulia anak-anaknya.

Untuk apa kita menulis tentang orang tua kita? Ada banyak alasan yang bisa menjadi penguat. Pertama, tulisan itu memiliki nilai awet yang lebih tinggi dibandingkan sumber dokumen lain. Lewat tulisan maka masih bisa dibaca oleh siapa saja, termasuk generasi penerus. Satu kenyataan yang seringkali saya temui, termasuk di keluarga saya sendiri, yakni tidak mengetahui secara persis kisah-kisah kakek, buyut, dan seterusnya. Jika pun mengetahui, sifatnya kepingan demi kepingan yang tidak utuh. Bahkan tidak jarang cerita itu tidak benar-benar terjadi, atau sifatnya samar, karena berdasarkan ingatan yang belum tentu valid. Pada titik inilah maka menulis kepingan kisah tentang orang tua kita merupakan sesuatu yang cukup penting.

Kedua, tulisan mampu merepresentasikan fakta dan fenomena lebih utuh dibandingkan dengan foto. Membaca kisah demi kisah hidup orang tua kita membuat kita memiliki bayangan lebih hidup dibandingkan dengan hanya melihat foto saja. Foto itu penting, tetapi dari foto kita tidak tahu bagaimana konteks yang melingkupi foto itu, kapan diambil, bagaimana ceritanya, dan hal-hal lain yang mungkin untuk terus dipertanyakan.

Perpaduan antara tulisan dengan foto tentu jauh lebih baik. Keduanya saling melengkapi. Tulisan menarasikan, foto mendokumentasikan. Perpaduan keduanya membuat jalinan kisah jauh lebih hidup.

Ketiga, sebagai warisan. Warisan tidak hanya berupa harta benda tetapi juga dalam bentuk lainnya. Tulisan tentang orang tua kita yang kemudian kita bukukan merupakan warisan yang sangat berharga. Saya membayangkan betapa indahnya jika kita bias mewariskan kisah orang tua kita kepada anak-anak dan para cucu.

Keempat, merawat kenangan. Ingatan manusia itu ada batasnya. Justru lebih banyak yang kita lupa dibandingkan dengan yang kita ingat. Jangankan peristiwa yang telah lama, peristiwa yang baru beberapa saat saja seringkali kita lupa. Menuliskan fragmen-fragmen tertentu dari kehidupan orang tua kita merupakan upaya mulia untuk merawat ingatan. Bisa ingatan beliau berdua, bisa ingatan kita sebagai anak-anaknya, juga ingatan para cucu.

17 komentar:

  1. Beliau pasti pak fatoni....joss memang :)

    BalasHapus
  2. Mantap, pengen juga ah,orang tua yg berjuang untuk kita, kasih nya tida batas, bahkan bangun dini hari mencari nafkah, untuk anaknya agar hidupnya lebih baik dari mereka.

    BalasHapus
  3. Karena terlalu banyak yang indah jadi bingung dari mana harus memulainya...
    Tak terbayangkan sebelumnya...
    Matur sembah nuwun nggih Bapak Naim...

    BalasHapus
  4. Betul sekali, yang bingung kadang dari mana mulainya, terlalu banyak yg indah indah..tp knp hanya sebatas angan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mulainya dari layar laptop. Tulis saja apa pun. Tidak ada aturan yang baku. Cara terbaik menulis adalah dengan segera menulis.

      Hapus
  5. Mulai mengingat kembali cerita dengan orang tua

    BalasHapus
  6. Kerena kita sekarang sdh menjadi org tua biar anak2 kita nnt menulias tentang kita juga

    BalasHapus
  7. Menjadi ingin menuliskan cerita lama saya bersama orang tua

    BalasHapus
  8. Terimakasih mas Doktor, punya niat untuk menuliskannya semoga tidak hanya berhenti di Niat.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.