Manusia, Belajar, dan Terus Berkembang

Mei 08, 2021

 Oleh Ngainun Naim

 

 

Satu hal yang saya syukuri adalah memiliki banyak kolega lintas profesi. Kolega yang menekuni dunia literasi belakangan semakin banyak. Kami bergabung dalam komunitas, grup, atau kadang juga pertemanan yang sifatnya personal. Uniknya, sebagian belum pernah bertemu muka tetapi komunikasi telah terjalin sedemikian rupa.


Inilah realitas zaman sekarang ini. Kami berkomunikasi lewat media sosial yang sekarang telah berkembang sedemikian pesat. Komunikasi menjadi mudah untuk dijalankan, walaupun eksesnya juga tidak sedikit.


J. Sumardianta (2014: xi) mengkritisi perkembangan media sosial semacam WA, Facebook, Twitter, dan sejenisnya ini sebagai kelanjutan dari tradisi kelisanan di Nusantara. Media sosial pada akhirnya didominasi oleh ghibah dan perbincangan yang tidak bermutu. Isinya adalah gerundelan dan kenyinyiran dalam versi tulisan.


Tentu tidak semua. Banyak juga yang isinya bermutu. Isinya mengajak kepada kebajikan dan ikhtiar untuk meningkatkan kualitas diri. Komunitas yang bergerak dalam bidang literasi tentu di luar apa yang dikritik J. Sumardianta.


Komunitas semacam ini terus bergiat pada karya. Fokusnya bukan sibuk menggunjing dan memikirkan persoalan sampah tak bermutu (Arvan Pradiansyah, 2012), melainkan berkarya dan berkarya. Tulisan demi tulisan diproduksi dan buku demi buku diterbitkan. Saya—dalam beberapa kesempatan—terlibat dalam komunitas semacam ini. Kadang sebagai penulis, editor, dan kadang diminta memberikan kata pengantar.


Sesungguhnya saya merasa belum memiliki kapasitas memberikan kata pengantar. Saya masih harus banyak belajar. Ilmu saya tidak seberapa. Namun saya tidak bisa menolak ketika ada kolega yang meminta. Saya niatkan kata pengantar—sebagaimana catatan saya ini—sebagai sarana belajar dan tabungan kebajikan. Semoga bisa memberikan berkah kepada saya dan keluarga. Amin.


Tanggal 30 April 2021 Bu Kanjeng—sapaan akrab Bu Sri Sugiastuti—berkirim pesan di WA. Beliau mengirimkan cover rancangan buku antologi dan draft naskah. Saya diminta beliau untuk menulis kata pengantar.


Tentu ini merupakan sebuah kepercayaan yang harus saya rawat. Saya pun mulai bersiasat dengan waktu untuk menulisnya. Saya mulai merancang apa yang harus saya tulis. Saya baca pelan-pelan naskah demi naskah yang ada. Sungguh luar biasanya. Saya kagum dengan kisah demi kisah yang ada.


Pandemi ternyata memberikan anugerah luar biasa. Prestasi bisa diraih secara membanggakan (Mujiatun). Pandemi juga memberikan hikmah berupa pengembangan potensi menulis (Wiwit Wahyutiningsih, Anni Supriyatin). Namun demikian menekuni dunia bekerja dan menekuni dunia menulis sarat dengan suka dan duka (Dian Riasari). Banyak orang yang menemukan momentum untuk bangkit menulis lagi (Haryanto).


Ketika sudah sampai pada levelnya, menulis bisa diibaratkan bagai tetes embun pagi. Pada saat itu, pemikiran terus mengalir dan lahir dalam sebuah karya (Nurhabibah). Sebuah karya yang menyayat jiwa pun mampu dihasilkan (Septiyowati). Semua ini menjadi mungkin jika didukung oleh tradisi membaca. Membaca memberikan manfaat yang luar biasa (Nana Wihana, Syamsul Badri).


Tentang bagaimana cara menulis berjamaah, klik link ini: https://www.youtube.com/watch?v=Mu5k7LZU-7U


Intinya adalah hidup ini perjuangan. Kita selayaknya belajar dengan penuh kesungguhan. Pandemi telah memberikan inspirasi tentang bagaimana perjuangan hidup sampai sekarang tengah berjuang menuntaskan S-3 di UNINUS Bandung (E. Hasanah). Tentu tidak semua orang bisa bersemangat dalam menjalani perjuangan hidup. Pada titik inilah role model itu penting. Ia bisa merupakan seorang guru (Iis Siti Mutmainah, Agus Yuswantoro), murid (Satrianah), figur inspiratif (Titin Agustiningsih, Eni Setyowati), orang tua (Panca Lukitasari), atau teman (Athaya Sarah Sahitya, Azizah Herawati).


Perjuangan itu tidak selalu membawa keberhasilan (Tarmiyati), namun ketegaran yang membuat segala hal menjadi penuh makna. Kegagalan adalah kunci sukses (Tarmiyati). Pada titik inilah substansi perjuangan hidup (Sri Sugiastuti, Lusia Mujiatun, Sulistyorini, Usman Alamsyah). Maka menemukan komunitas yang tepat adalah aspek yang penting untuk diperhatikan (Sumarjiyati, Ni Ketut Suastiwi, Mustopa). Intinya adalah bagaimana terus meningkatkan kualitas diri (Maesa Mae), sehingga prestasi bisa diraih. Ya, prestasi itu diperjuangkan, bukan ditunggu (Irwan Dedy).


Manusia merupakan makhluk yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang hidupnya. Kecepatan tumbuh dan berkembang antara satu orang dengan orang yang lainnya berbeda. Ada yang cepat, sedang, lambat, dan lambat sekali, tergantung kepada berbagai faktor yang saling berkait-kelindan antara satu dengan yang lainnya.


Secara sederhana bisa dinyatakan bahwa manusia itu seumur hidupnya selalu berusaha “menjadi”. Artinya, selalu terus berusaha atau mengikuti kondisi yang membuatnya berubah. Perubahan itu bisa jadi karena diusahakan, bisa juga karena faktor eksternal yang membuat berubah.


Tentu, dalam kerangka perubahan ini seharusnya dipahami dan didesain dalam kerangka mewujudkan perubahan positif. Jika manusia mampu mengembangkan unsur rasionalitasnya secara baik maka manusia bisa sukses dan bahagia. Pengembangan rasionalitas seharusnya menjadi pengetahuan, kesadaran, dan ikhtiar yang dilakukan dengan totalitas. Meskipun demikian harus diimbangi dengan pengembangan segi spiritualitas, moralitas, sosialitas, kesetaraan dengan alam, serta rasa dan emosinya. Pendidikan idealnya bertitik pijak dari segi-segi semacam ini (Muhammad Alwi, 2011: 4).


Perspektif semacam ini memunculkan manusia yang memiliki kesadaran terhadap realitas secara objektif. Ia tidak sombong atau merasa pintar. Orang yang merasa pintar sesungguhnya masih bodoh. Rasa pintar membuatnya tidak mau belajar lagi. Sementara orang yang merasa bodoh akan terus belajar karena pengetahuan yang dimilikinya dirasa masih kurang. Ia akan terus belajar tanpa merasa cukup.


Belajar, dengan demikian, berlangsung sepanjang hayat. Tidak ada batas formalnya. Secara formal, sekolah adalah tempat belajar. Tetapi belajar sendirinya sesungguhnya tidak hanya dibatasi oleh bangku sekolah saja.


Begitu juga yang belajar bukan hanya murid. Guru yang mengajar sesungguhnya juga belajar. Ya, belajar dari sesama guru atau dari para muridnya.


Belajar itu mencakup seluruh hal dalam kehidupan. Ada bidang ilmu tertentu, ada kehidupan itu sendiri, dan ada aspek-aspek lainnya yang sangat luas. Bukan berarti semua harus dikuasai. Itu tidak mungkin. Kemampuan kita sebagai manusia terbatas. Bidang yang kita kaji adalah bidang tertentu sesuai prioritas dan kemanfaatan yang bisa kita peroleh.


Saat belajar, mari buka hati dan pikiran untuk menyerap berbagai hal. Bisa ilmu, bisa hikmah kehidupan. Belajar itu tidak mudah. Sebagaimana kisah di buku ini, hambatan dan tantangan harus dihadapi oleh semua orang yang belajar. Namun demikian semuanya harus dihadapi dengan tabah. Jangan sampai berkeluh kesah karena hal itu menunjukkan lemahnya jiwa karena tidak mampu menahan penderitaan yang sedang dialami. Semakin sering berkeluh kesah maka semakin sering menghadapi kesulitan (M. Iqbal Irham, 2011: 29).


Kemauan belajar adalah kemauan untuk terus menjadi manusia yang tumbuh dan berkembang. Salah satu pembeda antara satu orang dengan orang yang lain adalah pada kemampuannya untuk melakukan pemaknaan dan mengambil hikmah dari hal apa pun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.


Seharusnya memang menjadi kesadaran bersama bahwa hidup itu dinamis. Hal ini bermakna bahwa hidup itu akan selalu menghadapi tantangan. Kemampuan kita menghadapi dan menyelesaikan tantangan adalah kunci sukses hidup. Jika pun gagal bukan berarti hidup selesai. kegagalan sebaiknya dijadikan sebagai bagian dari proses belajar agar menjadikan hidup kita lebih bermakna, lebih berbobot, dan beretika. Spirit mati satu tumbuh seribu perlu kita tanamkan dalam diri. Gagal sekali setelah itu sukses berkali-kali.


Sudah cukup banyak kata-kata hikmah yang bisa menjadi panduan dalam menapaki hidup. Belajar dan meraih kesuksesan itu penting tetapi jangan melupakan pencipta kita. Tetap rendah hati dan selalu bersyukur agar hidup ini semakin bermakna. Coba kita renungkan bersama terhadap realitas banyaknya orang dapat membeli ranjang berkelas, tetapi tidak mampu membeli tidur pulas. Banyak orang bisa membeli obat mujarab, tetapi tidak sanggup membeli badan sehat. Banyak orang kuasa membeli rumah megah, tetapi tidak berdaya membeli keluarga sakinah. Banyak orang berhasil membeli karier terpandang, tetapi tidak kuat membeli hidup tenang.

Belajar, dengan demikian, berlangsung sepanjang hayat. Tidak ada batas formalnya. Secara formal, sekolah adalah tempat belajar. Tetapi belajar sendirinya sesungguhnya tidak hanya dibatasi oleh bangku sekolah saja.

Begitulah hidup ini. Pablo Neruda pernah menulis bahwa hidup ini bisa diibaratkan laiknya roller ciaster. Kadang pasang, kadang sudut, dan terkadang juga menukik tajam. Sikap kita terhadap hidup adalah piluhan. Kita bisa memilih berteriak histeris atau menikmati setiap tapak perjalanannya.


Buku antologi ini sungguh inspiratif. Membaca bagian demi bagian buku ini bisa mengalirkan spirit hidup positif. Selamat membaca buku istimewa ini.

 

 

Daftar Bacaan

Arvan Pradiansyah, Life is Beautiful, Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, Cek. Ke-15, Juli 2012.

J. Sumardianta, Habis Galau Terbitlah Move On, Yogyakarta: Bentang, 2014.

M. Iqbal Irham, Panduan Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Hikmah, 2011.

Muhammad Alwi, Belajar Menjadi Bahagia dan Sukses Sejati, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011.

 

14 komentar:

  1. Perjalanan hidup untuk belajar dari keterbatasan kita, untuk menembus batas butuh semangat dari dalam diri kita sendiri. Karena saat proses belajar tantangan bisa dari orang sekitar kita. Semangat belajar seumur hidup adalah tuntutan dan perintah agama. Mulai dari ayunan sampai liang lahat. Terimakasih sebuah tulisan yang sangat bermakna dan dapat menjadi inspirasi bagi yg mau belajar. Terimakasih Pak Ngainun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih berkenan membaca dan memberikan komentar.

      Hapus
  2. Terima kasih p doktor. Berkat kerjasama dari penulis, motivasi dan perjuangan dari bapaklah sehingga buku ini terbit.

    BalasHapus
  3. Terimakasih Pak, telah berkenan membuat kata pengantar terbitnya buku Antologi Memoar, Tulisan yang selalu menjadi penyenangat dan sebagai motivasi,salam sehat selalu.

    BalasHapus
  4. Barokallah fi Ilmi Bapak, siap mohon diberi kata pengantar buku saya selanjutnya, sehat selalu nggih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiinnn. Terima kasih atas doanya Ibu. Insyallah siap membuat kata pengantar.

      Hapus
  5. Semoga semakin banyak terlahir buku buku hebat lainnya dari penulis penulis top

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.