Manusia, Belajar, dan Terus Berkembang
Oleh Ngainun Naim
Satu
hal yang saya syukuri adalah memiliki banyak kolega lintas profesi. Kolega yang
menekuni dunia literasi belakangan semakin banyak. Kami bergabung dalam
komunitas, grup, atau kadang juga pertemanan yang sifatnya personal. Uniknya,
sebagian belum pernah bertemu muka tetapi komunikasi telah terjalin sedemikian
rupa.
Inilah
realitas zaman sekarang ini. Kami berkomunikasi lewat media sosial yang sekarang telah berkembang sedemikian
pesat. Komunikasi menjadi mudah untuk dijalankan, walaupun eksesnya juga tidak
sedikit.
J.
Sumardianta (2014: xi) mengkritisi perkembangan media sosial semacam WA,
Facebook, Twitter, dan sejenisnya ini sebagai kelanjutan dari tradisi kelisanan
di Nusantara. Media sosial pada akhirnya didominasi oleh ghibah dan
perbincangan yang tidak bermutu. Isinya adalah gerundelan dan kenyinyiran dalam
versi tulisan.
Tentu
tidak semua. Banyak juga yang isinya bermutu. Isinya mengajak kepada kebajikan
dan ikhtiar untuk meningkatkan kualitas diri. Komunitas yang bergerak dalam
bidang literasi tentu di luar apa yang dikritik J. Sumardianta.
Komunitas
semacam ini terus bergiat pada karya. Fokusnya bukan sibuk menggunjing dan memikirkan
persoalan sampah tak bermutu (Arvan Pradiansyah, 2012), melainkan berkarya dan
berkarya. Tulisan demi
tulisan diproduksi dan buku demi buku diterbitkan. Saya—dalam beberapa
kesempatan—terlibat dalam komunitas semacam ini. Kadang sebagai penulis,
editor, dan kadang diminta memberikan kata pengantar.
Sesungguhnya
saya merasa belum memiliki kapasitas memberikan kata pengantar. Saya masih
harus banyak belajar. Ilmu saya tidak seberapa. Namun saya tidak bisa menolak
ketika ada kolega yang meminta. Saya niatkan kata pengantar—sebagaimana catatan
saya ini—sebagai sarana belajar dan tabungan kebajikan. Semoga bisa memberikan berkah
kepada saya dan keluarga. Amin.
Tanggal
30 April 2021 Bu Kanjeng—sapaan akrab Bu Sri Sugiastuti—berkirim pesan di WA.
Beliau mengirimkan cover rancangan buku antologi dan draft naskah. Saya diminta
beliau untuk menulis kata pengantar.
Tentu
ini merupakan sebuah kepercayaan yang harus saya rawat. Saya pun mulai
bersiasat dengan waktu untuk menulisnya. Saya mulai merancang apa yang harus
saya tulis. Saya baca pelan-pelan naskah demi naskah yang ada. Sungguh luar
biasanya. Saya kagum dengan kisah demi kisah yang ada.
Pandemi
ternyata memberikan anugerah luar biasa. Prestasi bisa diraih secara
membanggakan (Mujiatun). Pandemi juga memberikan hikmah berupa pengembangan
potensi menulis (Wiwit Wahyutiningsih, Anni Supriyatin). Namun
demikian menekuni dunia bekerja dan menekuni dunia menulis sarat dengan suka
dan duka (Dian Riasari). Banyak orang yang menemukan momentum untuk bangkit
menulis lagi (Haryanto).
Ketika
sudah sampai pada levelnya, menulis bisa diibaratkan bagai tetes embun pagi.
Pada saat itu, pemikiran terus mengalir dan lahir dalam sebuah karya
(Nurhabibah). Sebuah karya yang menyayat jiwa pun mampu dihasilkan
(Septiyowati). Semua ini menjadi mungkin jika didukung oleh tradisi
membaca. Membaca memberikan manfaat yang luar biasa (Nana Wihana,
Syamsul Badri).
Tentang bagaimana cara menulis berjamaah, klik link ini: https://www.youtube.com/watch?v=Mu5k7LZU-7U
Intinya
adalah hidup ini perjuangan. Kita selayaknya belajar dengan penuh kesungguhan.
Pandemi telah memberikan inspirasi tentang bagaimana perjuangan hidup sampai
sekarang tengah berjuang menuntaskan S-3 di UNINUS Bandung (E. Hasanah). Tentu
tidak semua orang bisa bersemangat dalam menjalani perjuangan hidup. Pada titik
inilah role model itu penting. Ia bisa merupakan seorang guru
(Iis Siti Mutmainah, Agus Yuswantoro), murid (Satrianah), figur inspiratif
(Titin Agustiningsih, Eni Setyowati), orang tua (Panca Lukitasari), atau teman
(Athaya Sarah Sahitya, Azizah Herawati).
Perjuangan
itu tidak selalu membawa keberhasilan (Tarmiyati), namun ketegaran yang membuat
segala hal menjadi penuh makna. Kegagalan adalah kunci sukses (Tarmiyati). Pada
titik inilah substansi perjuangan hidup (Sri Sugiastuti, Lusia Mujiatun,
Sulistyorini, Usman Alamsyah). Maka menemukan komunitas yang tepat adalah aspek
yang penting untuk diperhatikan (Sumarjiyati, Ni Ketut Suastiwi, Mustopa).
Intinya adalah bagaimana terus meningkatkan kualitas diri (Maesa Mae), sehingga
prestasi bisa diraih. Ya, prestasi itu diperjuangkan, bukan ditunggu (Irwan
Dedy).
Manusia
merupakan makhluk yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang hidupnya.
Kecepatan tumbuh dan berkembang antara satu orang dengan orang yang lainnya
berbeda. Ada yang cepat, sedang, lambat, dan lambat sekali, tergantung kepada
berbagai faktor yang saling berkait-kelindan antara satu dengan yang lainnya.
Secara
sederhana bisa dinyatakan bahwa manusia itu seumur hidupnya selalu berusaha
“menjadi”. Artinya, selalu terus berusaha atau mengikuti kondisi yang
membuatnya berubah. Perubahan itu bisa jadi karena diusahakan, bisa juga karena
faktor eksternal yang membuat
berubah.
Tentu,
dalam kerangka perubahan ini seharusnya dipahami dan didesain dalam kerangka
mewujudkan perubahan positif. Jika manusia mampu mengembangkan unsur
rasionalitasnya secara baik maka manusia bisa sukses dan bahagia. Pengembangan
rasionalitas seharusnya menjadi pengetahuan, kesadaran, dan ikhtiar yang
dilakukan dengan totalitas. Meskipun demikian harus diimbangi dengan
pengembangan segi spiritualitas, moralitas, sosialitas, kesetaraan dengan alam,
serta rasa dan emosinya. Pendidikan idealnya bertitik pijak dari segi-segi
semacam ini (Muhammad Alwi, 2011: 4).
Perspektif
semacam ini memunculkan manusia yang memiliki kesadaran terhadap realitas
secara objektif. Ia tidak sombong atau merasa pintar. Orang yang merasa
pintar sesungguhnya masih bodoh. Rasa pintar membuatnya tidak mau belajar lagi.
Sementara orang yang merasa bodoh akan terus belajar karena pengetahuan yang
dimilikinya dirasa masih kurang. Ia akan terus belajar tanpa merasa cukup.
Belajar,
dengan demikian, berlangsung sepanjang hayat. Tidak ada batas formalnya. Secara
formal, sekolah adalah tempat belajar. Tetapi belajar sendirinya sesungguhnya
tidak hanya dibatasi oleh bangku sekolah saja.
Begitu
juga yang belajar bukan hanya murid. Guru yang mengajar sesungguhnya juga
belajar. Ya, belajar dari sesama guru atau
dari para muridnya.
Belajar
itu mencakup seluruh hal dalam kehidupan. Ada bidang ilmu tertentu, ada
kehidupan itu sendiri, dan ada aspek-aspek lainnya yang sangat luas. Bukan
berarti semua harus dikuasai. Itu tidak mungkin. Kemampuan kita sebagai manusia
terbatas. Bidang yang kita kaji adalah bidang tertentu sesuai prioritas dan
kemanfaatan yang bisa kita peroleh.
Saat
belajar, mari buka hati dan pikiran untuk menyerap berbagai hal. Bisa ilmu,
bisa hikmah kehidupan. Belajar itu tidak mudah. Sebagaimana kisah di buku ini,
hambatan dan tantangan harus dihadapi oleh semua orang yang belajar. Namun
demikian semuanya harus dihadapi dengan tabah. Jangan sampai berkeluh kesah karena
hal itu menunjukkan lemahnya jiwa karena tidak mampu menahan penderitaan yang
sedang dialami. Semakin sering berkeluh kesah maka semakin sering menghadapi
kesulitan (M. Iqbal Irham, 2011: 29).
Kemauan
belajar adalah kemauan untuk terus menjadi manusia yang tumbuh dan berkembang.
Salah satu pembeda antara satu orang dengan orang yang lain adalah pada
kemampuannya untuk melakukan pemaknaan dan mengambil hikmah dari hal apa pun
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Seharusnya
memang menjadi kesadaran bersama bahwa hidup itu dinamis. Hal ini bermakna
bahwa hidup itu akan selalu menghadapi tantangan. Kemampuan kita menghadapi dan
menyelesaikan tantangan adalah kunci sukses hidup. Jika pun gagal bukan berarti
hidup selesai. kegagalan sebaiknya dijadikan sebagai bagian dari proses belajar
agar menjadikan hidup kita lebih bermakna, lebih berbobot, dan beretika. Spirit
mati satu tumbuh seribu perlu kita tanamkan dalam diri. Gagal sekali setelah
itu sukses berkali-kali.
Sudah
cukup banyak kata-kata hikmah yang bisa menjadi panduan dalam menapaki hidup.
Belajar dan meraih kesuksesan itu penting tetapi jangan melupakan pencipta
kita. Tetap rendah hati dan selalu bersyukur agar hidup ini semakin bermakna.
Coba kita renungkan bersama terhadap realitas banyaknya orang dapat membeli
ranjang berkelas, tetapi tidak mampu membeli tidur pulas. Banyak orang bisa
membeli obat mujarab, tetapi tidak sanggup membeli badan sehat. Banyak orang
kuasa membeli rumah megah, tetapi tidak berdaya membeli keluarga sakinah.
Banyak orang berhasil membeli karier terpandang, tetapi tidak kuat membeli
hidup tenang.
Belajar, dengan demikian, berlangsung sepanjang hayat. Tidak ada batas formalnya. Secara formal, sekolah adalah tempat belajar. Tetapi belajar sendirinya sesungguhnya tidak hanya dibatasi oleh bangku sekolah saja.
Begitulah
hidup ini. Pablo Neruda pernah menulis bahwa hidup ini bisa diibaratkan
laiknya roller ciaster. Kadang pasang, kadang sudut, dan
terkadang juga menukik tajam. Sikap kita terhadap hidup adalah piluhan. Kita
bisa memilih berteriak histeris atau menikmati setiap tapak perjalanannya.
Buku antologi
ini sungguh inspiratif. Membaca bagian demi bagian buku ini bisa mengalirkan
spirit hidup positif. Selamat membaca buku istimewa ini.
Daftar Bacaan
Arvan
Pradiansyah, Life is Beautiful, Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia, Cek.
Ke-15, Juli 2012.
J. Sumardianta, Habis
Galau Terbitlah Move On, Yogyakarta: Bentang, 2014.
M. Iqbal Irham, Panduan
Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Hikmah, 2011.
Muhammad Alwi, Belajar
Menjadi Bahagia dan Sukses Sejati, Jakarta: Elex Media Komputindo,
2011.
Perjalanan hidup untuk belajar dari keterbatasan kita, untuk menembus batas butuh semangat dari dalam diri kita sendiri. Karena saat proses belajar tantangan bisa dari orang sekitar kita. Semangat belajar seumur hidup adalah tuntutan dan perintah agama. Mulai dari ayunan sampai liang lahat. Terimakasih sebuah tulisan yang sangat bermakna dan dapat menjadi inspirasi bagi yg mau belajar. Terimakasih Pak Ngainun
BalasHapusTerima kasih berkenan membaca dan memberikan komentar.
HapusTerima kasih p doktor. Berkat kerjasama dari penulis, motivasi dan perjuangan dari bapaklah sehingga buku ini terbit.
BalasHapusSama-sama Bu
HapusMenginspirasi sekali prof
BalasHapusTerima kasih
HapusTerimakasih Pak, telah berkenan membuat kata pengantar terbitnya buku Antologi Memoar, Tulisan yang selalu menjadi penyenangat dan sebagai motivasi,salam sehat selalu.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusBarokallah fi Ilmi Bapak, siap mohon diberi kata pengantar buku saya selanjutnya, sehat selalu nggih
BalasHapusAamiinnn. Terima kasih atas doanya Ibu. Insyallah siap membuat kata pengantar.
HapusSemoga semakin banyak terlahir buku buku hebat lainnya dari penulis penulis top
BalasHapusAaamiinnn
Hapus👍🏻👍🏻👍🏻
BalasHapusTerima kasih banyak Mbak
Hapus