Sulitnya Membuat Proposal Penelitian

November 15, 2022


 

Ngainun Naim


SALAH satu kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa—baik S1, S2, atau S3—adalah menyusun proposal penelitian untuk tugas akhir. Kesulitan itu bisa ditemukan dalam diskusi kelas, perbincangan, dan dalam kesempatan dialog. Tidak sedikit mahasiswa yang tetap saja bingung mau menulis apa untuk tugas akhirnya. Hal ini sangat mungkin berlangsung selama beberapa semester. Saat temannya sudah lulus ujian, ia masih saja bingung mau menulis apa.

Proposal penelitian dalam banyak kasus justru selesai menjelang deadline. Entah dari mana asalnya, ide mereka temukan dan dieksekusi dalam bentuk proposal. Kadang saya heran juga mengapa bisa seperti itu. Mengapa sebelum deadline datang, para mahasiswa tidak menemukan ide. Ide justru baru muncul saat ada pengumuman deadline.

Hasil renungan saya menyebutkan bahwa kekuatan memaksa dari eksternal itu ternyata cukup efektif untuk memaksa membuat proposal. Memang belum tentu hasilnya bagus tetapi berhasil membuat itu sudah prestasi tersendiri yang penting diapresiasi. Tinggal langkah selanjutnya adalah membimbing secara intensif agar proposal itu sesudah direvisi bisa ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih baik.

Kesulitan biasanya berkaitan dengan aspek esensi. Pada aspek ini kebingungan yang utama adalah mau menulis apa. Diskusi, bertanya, mencari, dan memutuskan topik yang akan ditulis bisa sangat menguras energi. Ini tidak cukup satu dua kali. Bisa berkali-kali. Bisa juga tidak melakukan apa-apa karena memang takut untuk mengungkapkan sehingga adanya pusing yang dirasakan sendiri.

Saya beberapa kali dimintai mahasiswa topik penelitian. Saya jelaskan bahwa saya memiliki banyak ide untuk diteliti. Persoalannya adalah apakah mereka bisa menindaklanjutinya menjadi proposal? Apakah mereka tertarik dengan tema yang saya tawarkan? Beberapa pertanyaan lain juga saya ajukan agar topinya menjadi jelas.

Di sinilah banyak persoalan yang dihadapi oleh mahasiswa. Kunci sesungguhnya ada pada mahasiswa itu sendiri. Orang lain itu hanya membantu dengan ide, sarana, gagasan, dan arahan. Bisa jadi bantuan orang lain itu fungsional dalam mengantarkan ditemukannya topik penelitian, bisa juga tidak. Setidaknya usaha meminta bantuan atau membantu itu memiliki peranan yang cukup penting.

Jika pun topik ditemukan dan sudah mantap dipilih bukan berarti sudah terbebas dari kesulitan. Menemukan topik merupakan satu hal. Dalam perkembangannya mahasiswa biasanya—berarti tidak selalu—akan menghadapi kesulitan berikutnya, yaitu bagaimana menyusun topik itu dalam bentuk proposal. Hal ini terjadi, antara lain, karena mahasiswa belum menguasai metodologi penelitian secara mendalam. Penguasaan metodologi penelitian menjadi prasyarat penting dihasilkannya penelitian yang baik.

Lulus matakuliah Metodologi Penelitian bukan jaminan mahasiswa bisa menyusul proposal secara baik. Ada jurang antara teori dan praktik. Kuliah membekali teori. Tanpa sering praktik, tetap sulit membuat proposal.

Seorang peneliti atau seorang mahasiswa harus terus mengasah ilmu dalam bidang metodologi penelitian. Membaca buku-buku penelitian harus terus dilakukan. Penelitian demi penelitian dalam bidang yang ditekuni harus terus ditelaah karena menunjukkan adanya perkembangan ilmu yang dinamis. Konferensi, artikel jurnal, dan media-media yang menyediakan informasi dalam topik sebidang idealnya menjadi konsumsi penting dalam aktivitas sehari-hari.

Lewat cara semacam ini, wawasan dan pengetahuan akan terasah. Tanpa ma uterus belajar, penelitian akan menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Penelitian bukan kerja mendadak tetapi kerja panjang yang berkelanjutan.

 

Kuliah

Salah satu matakuliah yang saya ampu adalah Metodologi Penelitian Sosial Keagamaan. Matakuliah ini sangat penting sebagai modal bagi mahasiswa untuk melaksanakan penelitian—khususnya—tugas akhir. Penguasaan terhadap metode penelitian menjadi prasyarat penting dihasilkannya penelitian yang berkualitas.

Pada matakuliah ini, salah satu metode yang saya gunakan adalah membaca dan menceritakan kembali hasil bacaan. Tidak terlalu banyak yang harus dibaca dalam setiap pertemuan. Paling sekitar 10-15 halaman. Hasil bacaan ini kemudian didiskusikan secara serius di kelas.

Metode ini mungkin terlihat sederhana. Sengaja saya tidak memilih tugas membuat makalah karena jumlah mahasiswa di kelas ini sedikit. Selain itu sudah banyak dosen lain yang sudah memberikan tugas membuat makalah. Jadi saya mengambil metode berbeda supaya lebih variatif. Juga supaya mahasiswa mau membaca.

Metode membaca dan kemudian mendiskusikan hasil bacaan saya pilih berdasarkan analisis saya bahwa mahasiswa sekarang ini tradisi membacanya kurang kuat. Beberapa kali diskusi di kelas saya temukan sepanjang mereka kuliah belum ada satu pun buku yang dibaca dan dinikmati secara tuntas. Mereka membaca buku karena kepentingan mengerjakan tugas. Itu pun tekni membacanya semacam pencarian. Begitu data yang diinginkan ketemu, itu sudah cukup. Tidak perlu paham atau ditekuni karena ditemukannya yang dicari menjadi sarana untuk menulis tugas.

Kondisi ini tidak harus disesali. Realitasnya sebagian memang semacam itu. Sekali lagi sebagian, bukan semuanya. Menurut saya, aspek yang lebih penting adalah bagaimana melakukan langkah-langkah konkret agar mereka mau membaca. Bukan sekadar mau tetapi juga menjadikan membaca sebagai tradisi.

Membaca itu modal utama menulis. Jika tidak membaca maka mustahil mampu menulis secara baik. Semakin banyak membaca, semakin besar modal yang dimiliki untuk menulis. Mereka yang tulisannya bagus hampir dapat dipastikan memiliki budaya membaca yang kuat.

Ketika membaca belum menjadi tradisi maka saat menulis kemungkinannya ada beberapa. Pertama, sulit menulis dan kecil kemungkinan tulisannya bisa diselesaikan. Hal ini disebabkan karena memang tidak ada modal pengetahuan, imajinasi, dan wawasan untuk ditulis. Apa yang mau ditulis jika tidak tahu apa yang akan ditulis?

Kedua, tulisan memiliki kemungkinan selesai namun—karena tidak memiliki modal untuk menulis—bagian demi bagian tidak sinkron. Biasanya menulis yang dilakukan dalam tekanan deadline memang bisa memaksa seseorang untuk menyelesaikan tulisan. dalam banyak kasus, tekanan deadline cukup ampuh memaksa selesainya sebuah pekerjaan, termasuk menulis.

Ketiga, tulisan selesai tetapi isinya adalah copy paste dari sumber-sumber yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena memang tidak ada modal pengetahuan dan wawasan untuk menulis.

Salah satu topik yang saya bagikan dalam perkuliahan adalah sebuah bab buku karya Arfiansyah dengan judul “Lika-liku Penelitian: Perubahan, Ketidaktahuan, dan Kejutan”. Tulisan ini menjelaskan tentang perjuangan panjang Arfiansyah dalam menemukan topik penelitian untuk disertasinya di sebuah universitas di Belanda.

Ada aspek penting yang bisa menjadi bahan renungan bersama terkait dengan kisah perjuangan Arfiansyah. Salah satunya adalah pentingnya perjuangan dan menjalani proses dalam setiap tahapan penelitian. Penelitian, khususnya kualitatif, memiliki karakter—antara lain—dinamis. Ia tidak stagnan. Selalu terbuka kemungkinan bagi adanya perubahan.

Jika pemahaman dan kesadaran terhadap hal ini telah tumbuh maka adanya perubahan, khususnya karena adanya masukan dari supervisor, itu justru menjadi pemicu untuk menghasilkan proposal dan juga penelitian yang lebih baik. Bukan justru marah lalu ngambek. Proposal yang baik lahir dari kritik demi kritik untuk perbaikan.

Supervisor atau pembimbing itu memiliki peranan yang sangat penting. Saya ingin kutip pernyataan David Evans, dkk., (2014: 56) terkait peranan supervisor ini. “Supervisors are mature, and are in their role because their knowledge and instincts and experience are reliable”. Memang tidak semua supervisor itu ideal tetapi peranan mereka sangat menentukan terhadap selesainya penelitian.

Tidak semua orang bisa menerima adanya kritik. Pada beberapa kasus, kritik dan saran justru menjadi awal keterpurukan. Bukannya segera melakukan perbaikan, setelah kritik justru tidak melakukan apa-apa. Tidak ada lagi semangat. Pada akhirnya pilihannya hanya dua: gagal atau selesai dengan hasil jauh dari ideal.

Kasus terpuruk ini dalam realitasnya dialami oleh mahasiswa di semua level, baik S-1, S-2, atau S-3. Kritik dianggap sebagai “penghancur”. Memang tidak mudah bagi setiap orang untuk menerima kritik sebagai sesuatu yang bernilai positif. Dalam kondisi semacam ini kita selayaknya belajar kepada orang-orang besar yang berlapang dada menerima kritik demi perbaikan proposal. Penelitian yang baik lahir dari kritik konstruktif yang ditindaklanjuti, bukan disesali lalu hanyut dalam sikap terpuruk.

 

Mataram, 13 Juni 2022 dan Tulungagung, 15 November 2022.

 

20 komentar:

  1. Jazakallah khairan prof.

    Ilmu yg bermanfaat insya allah

    Barokallah

    BalasHapus
  2. Terima kasih telah berbagi ilmu yang saya dapatkan dari tulisan bapak ,semoga sehat dan sukses selalu

    BalasHapus
  3. Tulisan pagi yang bergizi. Matur nuwun, Mas Prof.

    BalasHapus
  4. Bagi umumnya mahasiswa membuat proposal adalah momok. Semoga tulisan prof. Ngainun ini menjadi dapat spirit. Aamiin Yaa Robbal'alamin (Abdisita)

    BalasHapus
  5. Ngintip di google scoolar di ATM bisakah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. GS adalah modal untuk merujuk dan mengembangkan tulisan

      Hapus
  6. Sangat menginspirasi, jazakumullah prof

    BalasHapus
  7. Tulisan yang berisi & krispi.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.