Surabaya, Sunan Bungkul, dan Jejak Ilmiah
Ngainun Naim
Saya pernah tinggal di Surabaya pada pertengahan tahun 1990-an. Saat itu saya sedang studi di sebuah perguruan tinggi negeri Surabaya. Jika dihitung dari sisi waktu sampai sekarang ya sudah lama banget. Hampir 30 tahun lalu.
Saat itu Surabaya belum sepadat sekarang. Masih banyak wilayah yang terdiri dari persawahan. Kini sawah-sawah itu sudah bertransformasi menjadi perumahan atau peruntukan lain.
Meskipun pernah tinggal dan tak terhitung kali mengunjungi Surabaya, pengetahuan saya tentang Surabaya sangat terbatas. Baru sebagian kecil saja yang saya tahu. Banyak jalan yang saya tidak hapal. Mungkin karena dulu belum muncul keinginan untuk mengeksplorasi lokasi demi lokasi lalu menuliskannya sebagai bagian dari jejak hidup.
Sekarang ini, sepanjang ada kesempatan, saya berusaha memanfaatkannya. Saya tidak tahu tahu secara pasti mengapa sekarang suka mencari informasi tempat tertentu dan mengunjunginya. Mungkin karena saya sering membaca tulisan tentang catatan perjalanan. Saya sendiri juga pernah menerbitkan buku hasil catatan perjalanan.
Tanggal 8-12 Desember 2022 saya ada kegiatan di Surabaya. Ini momentum penting yang bisa disisipi dengan mengunjungi tempat tertentu. Pilihan pun jatuh ke Taman Bungkul. Mengapa Taman Bungkul?
Ada banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saya belum pernah mengunjungi tempat ini. Jika lewat sih sudah tidak terhitung kalinya. Setiap perjalanan ke Surabaya, seringkali tempat ini saya lewati. Namun ya sekadar lewat. Tidak turun, apalagi mengeksplorasi bagian demi bagian dari tempat ini.
Posisi taman ini ada di pinggir jalan utama Surabaya. Cukup mudah menemukannya. Namun jika saya belum pernah turun dan menelisik di dalamnya, itu realitasnya.
Begitulah, Minggu pagi 10 Desember 2022, seorang diri saya memesan ojek online dari hotel tempat kegiatan. Mobil mini itu berjalan santai menembus jalanan Surabaya yang padat. Hanya lima belas menit sudah sampai lokasi.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Sopir atas jasanya. Mobil kemudian melaju ke arah selatan, sementara saya masuk ke taman. Bagian demi bagian dari taman, sejauh yang saya temui, memang sengaja didesain sebagai tempat rekreasi. Orang berjualan ada di setiap sudut. Masyarakat memanfaatkan Taman Bungkul sebagai tempat rekreasi keluarga.
Taman Bungkul sangat penting artinya bagi warga Surabaya yang membutuhkan tempat rekreasi yang murah meriah. Tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk menikmatinya. Masuknya gratis. Jika membawa camilan dari rumah, lebih hemat lagi.
Bagian penting taman di sisi timur merupakan tempat ziarah. Ada dua makam tokoh besar di lokasi ini, yaitu Sunan Bungkul yang ada di utara mushola dan Sayyid Iskandar Basyaiban yang terletak di utara pintu gerbang mushola. Saya mengelilingi taman dan mencari lokasi makam. Tidak butuh waktu lama. Saya sudah sampai lokasi, masuk ke dalamnya, berdoa secukupnya, lalu keluar untuk melihat sekeliling.
Saya sendiri baru menelusuri tentang siapa Sunan Bungkul ya saat menulis catatan ini. Saya kemudian menelusuri riset-riset yang terkait tokoh ini. Hasil pencarian saya menemukan riset yang dilakukan oleh Lisna Idfi Alfianita. Ia menulis tugas akhir di Universitas Airlangga Surabaya dengan judul “Oral History Sejarah Makam Sunan Bungkul Kota Surabaya (2018). Substansi tugas akhirnya menyebutkan bahwa nama Sunan Bungkul adalah Syekh Mahmudin. Beliau merupakan tokoh penting yang menjdi penyiar Islam pertama di kota Surabaya. Namun demikian belum ada data otentik yang menjadi penguatnya, termasuk siapa sesungguhnya Sunan Bungkul. Riset Lisna Idfi Alfianita berbasis sejarah lisan atau Oral History dengan mewawancarai dua orang pengisah. Dari hasil wawancara menyebutkan bahwa bahwa selain pensyiar agama Islam pertama di kota Surabaya, Sunan Bungkul merupakan ayah dari istri Sunan Giri. Sunan Giri menikahi putri Sunan Bungkul karena Sunan Bungkul kehilangan buah delima dan mengadakan sayembara dan yang menemukan buah delima itu adalah Sunan Giri.
Pencarian yang saya lakukan menemukan bahwa apa, siapa, dan bagaimana kiprah Sunan Bungkul masih langka. Jarak waktu dan keterbatasan sumber tampaknya menjadi penyebabnya. Riset yang banyak justru berkaitan dengan Taman Bungkul, bukan Sunan Bungkul.
Meskipun hanya sejenak, setidaknya saya sudah pernah mengunjungi Taman Bungkul dan berdoa di makam Sunan Bungkul. Jarum jam sudah menunjukkan angka 12. Saya segera ke jalan raya, mencari ojek, dan kembali ke hotel tempat acara.
Tulungagung, 29-12-2022
Selalu menginspirasi, dan bermanfaat. Bagi saya ini bukan sekadar contoh, tetapi juga teori. Matur sembah nuwun.
BalasHapusSami-sami Bu
Hapus