Bisnis di Dunia Akademis
Ngainun Naim
Dunia akademis kita sedang berada di kondisi kurang baik. Ada banyak persoalan yang harus dihadapi. Persoalan demi persoalan ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus disikapi dan direspon secara aktif-konstruktif agar dunia pendidikan tinggi bisa menjalankan tugasnya secara maksimal.
Muara persoalan, jika bisa disederhanakan, adalah moralitas. Kita bisa belajar dari dua rektor yang menjadi kasus korupsi. Saya yakin mereka memiliki pengetahuan lebih berkaitan dengan kebajikan tetapi implementasinya dalam tindakan jelas tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Tetiba saya teringat dengan sebuah pernyataan bahwa kita itu harus bersyukur atas apa yang kita peroleh sekarang ini. Tidak perlu iri dengan capaian orang lain. Juga tidak perlu mem-bully mereka yang kini menjadi tersangka korupsi. Cukup dijadikan sebagai pelajaran hidup. Belum tentu juga jika kita berada dalam posisi sama akan lebih baik.
Fenomena lain yang cukup meresahkan adalah bisnis untuk karya-karya akademis. Bentuknya bermacam-macam. Salah satunya artikel jurnal.
Bisnis semacam ini diiklankan dengan terbuka di berbagai media sosial. Anda yang aktif menggunakan facebook akan mudah sekali menemukan informasi semacam ini. Misalnya iklan bahwa dosen yang memerlukan artikel jurnal tinggal menghubungi admin. Harganya bervariasi. Tapi jelas sangat mahal.
Ketika saya mengambil gambar iklan semacam itu dan menjadikannya sebagai story WhatsApp, berbagai komentar bermunculan. Beberapa komentar menyebutkan bahwa praktik semacam itu sesungguhnya sudah lama. Ada permintaan, ada pelayanan. Ada harga, ada produk. Hukum pasar benar-benar berlaku dalam kasus semacam ini.
Sayup terdengar praktik semacam ini. Serba samar. Saya sendiri tidak tahu persis. Ritmenya selalu ramai sesaat, setelah itu tenggelam tertimbun isu lain. Sementara praktik bisnis terus berjalan dengan pola yang lebih variatif. Ibarat kentut, ada bau tetapi sulit dibuktikan secara faktual.
Insan akademis sesungguhnya tahu jika praktik semacam ini tidak baik. Namun pengetahuan tidak selalu sejalan dengan pilihan sikap. Sebagaimana banyak yang tahu bahwa olahraga itu bagus buat kesehatan, namun tidak semuanya mau melakukan. Saya kira hal semacam inilah yang tengah berlangsung di dunia akademis kita.
Tentu tidak mudah untuk keluar dari fenomena yang tengah membudaya ini. Namun harus ada orang dan kelompok yang waras yang terus-menerus mengingatkan moralitas akademik. Di sinilah masa depan pendidikan tinggi dipertaruhkan. Jika praktik-praktik bisnis semacam ini tidak ada upaya untuk mengurangi—karena menghentikan sangat berat—maka masa depan bangsa ini tampaknya akan gelap.
Saya menemukan pemikiran Tatang Muttaqin dalam buku Mengelola Harapan (2021: 98) yang bisa kita jadikan sebagai bahan renungan bersama. Pemikiran ini memang tidak berkaitan secara langsung dengan fenomena bisnis ini, namun memiliki relevansi dalam konteks kemajuan ilmu pengetahuan.
Beberapa pesan penting Tatang Muttaqin untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Pertama, capaian yang mengagumkan lahir dari konsistensi, konsentrasi, dan ketekunan ilmuwan dalam melaksanakan penelitian. Kedua, di era keterkaitan, ilmuwan perlu bekerja sama lintas ilmu dan bidang sehingga mampu memotret realitas secara lebih utuh dan komprehensif. Ketiga, interaksi lintas disiplin terbukti banyak menginspirasi para ilmuwan dalam menemukan capaian yang tidak biasa.
Bagaimana mungkin akan ada kemajuan jika praktik semacam itu dibiarkan? Bagaimana bisa ada barakah jika cara-cara tidak benar dijalankan? Langkah kecil namun konsisten akan memberikan implikasi positif bagi terbangunnya tradisi baru yang konstruktif. Kata James Clear dalam Atomic Habit (2019: 18), perbaikan demi perbaikan kecil yang diakumulasi akan memberikan hasil yang luar biasa.
Trenggalek, 13-4-2023
Betul banget Prof sebuah pembiasaan selain membuat seseorang bisa karena terbiasa juga bisa akan membentuk pribadi yang luar biasa
BalasHapusTerima kasih Pak Samsudin
HapusSangat bernas sekali prof.perubahan besar dimulai dari perubahan yang kecil..
BalasHapusTerima kasih Mas
Hapus