Tradisi Mondok

April 11, 2023


 

Ngainun Naim

 

Saya pernah mondok selama tiga tahun di PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Saat itu saya tinggal di Asrama Sunan Ampel yang diasuh oleh KH. Imam Haromain Asy’ary dan Ibu Nyai Hamidah Ahmad. Masa saya mondok yaitu tahun 1991-1994.

 

Cerita mondok saya sesungguhnya sebuah kebetulan. Tidak ada rencana sebelumnya. Keluarga saya sesungguhnya tidak memiliki tradisi mondok. Bapak dan Ibu tidak pernah mondok. Mbah Kakung dan Mbah Putri juga bukan lulusan pondok. Begitu juga dengan adik-adik Bapak dan Ibu.

 

Tradisi mondok itu penting untuk mengondisikan satu generasi ke generasi berikutnya mondok. Ada semacam keterikatan yang sulit dijelaskan. Namun substansinya adalah mondok menjadi tradisi antar generasi.

 

Mondok yang saya jalani membangun tradisi baru. Setelah saya mondok, adik-adik dan keponakan ikut mondok. Tentu tempatnya tidak semua sama. Beberapa cukup kerasan, sementara yang lain hanya dalam hitungan hari sudah pulang karena tidak kerasan.

 

Mondok itu memang dunia yang unik. Dunia yang akan menimbulkan kesan mendalam sepanjang hidup. Padahal jika dicermati ya interaksinya biasa saja. Namun dimensi spiritualitas dan pengalamannya tidak mudah untuk dijelaskan. Mudahnya memang diceritakan, meskipun sesungguhnya sifatnya subjektif dan personal.

 

Pilihan untuk mondok benar-benar bukan berdasarkan pertimbangan yang matang. Sama sekali tidak ada bayangan sebelumnya kalau akhirnya mondok. Juga pilihan di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar juga bukan karena analisis komparatif dengan pesantren-pesantren yang lainnya.

 

Semuanya terjadi begitu saja. Suatu siang seorang kawan datang. Intinya mengajak mondok ke Denanyar karena ada famili jauh yang masih di Denanyar. Itu saja. Tidak ada pertimbangan lain.

 

Saya kira itulah takdir hidup. Saya ikut arus. Mendaftar lalu tinggal di Asrama Sunan Ampel dan bertahan mondok selama tiga tahun.

 

Rentang tiga tahun jelas belum memadai untuk mendalami ilmu agama. Namun demikian saya bersyukur, masa mondok menjadi basis perjalanan hidup saya sampai sekarang.

 

Selama mondok, saya banyak belajar. Tidak hanya belajar ilmu agama tetapi juga belajar tentang hidup dan kehidupan. Konsep-konsep kunci komunitas pesantren seperti khidmah, barakah, dan sejenisnya menancap kuat hingga hari ini.

 

Pondok pesantren mengajarkan pentingnya akhlak yang baik. Juga mengajarkan penghormatan terhadap kiai dan guru. Aspek inilah yang menjadikan santri bisa berkah ilmunya.

 

Kini, 29 tahun setelah lulus dari Pesantren Denanyar, saya masih memiliki relasi kuat. Sepanjang hidup tidak mungkin saya lepas dari Pesantren Denanyar. Ketika haul, saya berusaha untuk datang. Ketika ngaji rutin yang diselenggarakan oleh IKAPPMAM Tulungagung dengan dihadiri para masyayikh Denanyar, saya juga usahakan untuk hadir. Tujuan utamanya adalah ngalap barakah.

 

Saya tidak akan membawa ngalap barakah itu dalam khazanah akademis. Dunia akademis berbeda dengan dunia pesantren. Cara pandang keduanya berbeda. Keduanya sesungguhnya saling melengkapi. Bukan untuk saling dipertentangkan.

 

Buku tentang Bu Nyai

Awalnya adalah pesan WA dari Gus M. Jauharul Afif. Ketika itu saya mengirimkan catatan saya tentang Bu Nyai Hamidah. Tulisan dengan judul Kenangan tentang Bu Nyai Hamidah saya unggah di web https://www.spirit-literasi.id/2022/08/kenangan-tentang-bu-nyai-hamidah.html. Saya kirimkan ke Gus Afif dengan harapan bisa dibaca oleh beliau.

 

Respon beliau sangat menggembirakan. Beliau berharap agar ada semacam buku yang memuat tentang Bu Nyai. Penulisnya bisa dari banyak kalangan, termasuk keluarga, santri, dan alumni.

 

3 Agustus 2022 grup WA saya bentuk. Pengumuman dan undangan menulis disebar luas. Namun sampai bulan Januari 2023 hasilnya masih jauh dari harapan. Tulisannya masih sedikit. Total baru sekitar 20-an halaman.

 

Di tengah-tengah kesibukan yang lumayan, saya berpikir keras untuk kesuksesan program ini. Bagi saya, ini tantangan sekaligus wujud khidmah saya kepada Bu Nyai dan pesantren tempat saya menuntut ilmu.

 

Saya pun berselancar ke FB. Saya temukan beberapa tulisan. Tulisan itu kemudian saya olah dan satukan dengan naskah yang ada.

 

Meskipun belum banyak, saya menyusun strategi. Saya minta staf penerbit untuk merancang cover. Ya rancangan awal. Saya menyiapkan naskah lay out ukuran 12x19 cm. Ini ukuran kecil tetapi enak untuk dilihat. Pertimbangannya adalah jumlah halaman naskah yang saat itu baru 35-an halaman.

 

Saya cek di WA saat mulai saya unggah cover tanggal 8 Maret 2023. Sejak itu grup menjadi cukup dinamis. Beberapa tulisan masuk. Foto demi foto menyusul untuk melengkapi isi buku.

 

Saya harus bekerja keras membaca dan mengedit naskah. Khusus naskah ini proses editing saya tangani sendiri. Saya benar-benar ingin memposisikan diri sebagai santri.

 

Setelah melewati perjuangan yang lumayan melelahkan, naskah akhirnya selesai. Kata pengantar dari Mas Ahmad Athoillah, M.IP menjadi penanda bahwa naskah akan memasuki finishing touch. Saya cetak dummy-nya dan saya bawa keliling ke beberapa tempat karena mobilitas tugas. Saya baca, corat sana-sini, dan kembali baca setelah revisi. Mungkin sampai 7 kali saya membaca naskah demi naskah buku tersebut.

 

Saya sudah berusaha keras melakukan editing. Namun saya yakin kekurangan dan kesalahan masih ada. Memang adagium penerbitan buku menyebutkan bahwa secermat apa pun naskah diperiksa, ketika terbit selalu saja ditemukan kesalahan. Untuk itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang kurang berkenan. Semoga buku ini menjadi wasilah ngalap barakah saya sebagai santri. Amin.

 

Trenggalek, 10-4-2023

 

 

 

8 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.