Digitalisasi, Pendidikan, dan Berpikir Kritis

April 23, 2023


 

Realitas sosial itu merupakan konstruksi. Ia tidak ada secara objektif sepenuhnya. Ada realitas subjektif yang berperan serta. Sudut pandang seseorang memengaruhi terhadap hasil dari cara pandang.

 

Aspek ini penting dipahami karena berkaitan dengan banyak aspek dalam kehidupan. Modal penting untuk memahaminya adalah pengetahuan yang cukup dan pemikiran kritis. Tanpa pengetahuan yang cukup, mustahil bisa memahami realitas kehidupan yang sedemikian kompleks. Namun demikian, pengetahuan yang cukup tanpa pemikiran kritis tidak akan mampu membaca realitas secara objektif.

 

Pengetahuan dan pemikiran merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Keduanya sama-sama penting dan tidak bisa menafikan satu sama lain. Pemikiran kritis tanpa pengetahuan adalah kengawuran. Pengetahuan tanpa pemikiran kritis bisa terjebak pada absolutisme.

 

Aspek semacam ini penting menjadi bahan renungan bersama. Banyak kalangan muda yang berusaha berpikir kritis tetapi tidak memiliki modal pengetahuan yang memadai. Implikasinya, bukan kekritisan yang terlihat melainkan kejulidan. Seolah-olah kritis padahal sesungguhnya tidak ada basis teoretik dan basis pengetahuan yang bisa mengkritik secara substansial argumen yang menjadi penyangga.

 

Kemajuan masyarakat berkaitan dengan aspek pendidikan dan berpikir kritis. Pendidikan merupakan media yang paling efektif dalam membangun kemajuan. Dibandingkan dengan instrumen yang lainnya, pendidikan merupakan instrumen yang paling strategis dan sistematis untuk mencapai tujuan kemajuan (Patil, 2012). Justru karena itulah maka pendidikan semestinya dikelola secara efektif agar kemajuan masyarakat bisa terwujud.

 

Pendidikan dan kemajuan memiliki relasi resiprokal. Jika kondisi masyarakat maju maka dapat dipastikan pendidikannya berkualitas. Jika masyarakatnya belum maju berarti pendidikannya juga belum dikelola secara baik (Rahardjo, 2007).

 

Sikap kritis itu (kembali) menemukan signifikansinya di era digital sekarang ini. Hadirnya era digital berlangsung sedemikian cepat. Banyak orang yang terkejut dan kemudian larut dalam pusaran digitalisasi. Segala sesuatu yang ada di dunia digital dianggap sebagai kebenaran.

 

Padahal, dunia digital tidak hanya menyajikan informasi. Sampah digital bertebaran tanpa henti. Jika kita ikut larut di dalamnya maka kita mengonsumsi sampah demi sampah yang nir-manfaat. Jika menganggap sampah digital sebagai kebenaran maka di sinilah sesungguhnya berpikir kritis itu menemukan titik signifikansinya.

 

Sekarang ini manusia sudah terkonstruksi menjadi makhluk digital. F. Budi Hardiman (2021) menyebutnya sebagai homo digitalis. Sebutan ini secara intrinsik menjadi penjelas bahwa digital telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Digital telah identitas diri yang menjadi penanda eksistensi. Kehidupan manusia kini tidak bisa dipisahkan dari hal-hal yang bersifat digital. Manusia sekarang dianggap eksis jika melakukan aktivitas di dunia digital. Maka eksistensi homo digitalis ditentukan oleh tindakan digital, yaitu uploading, chatting, posting, dan selfie.

 

Tindakan digital, sepanjang dilakukan secara wajar dan terukur, sesungguhnya tidak menjadi persoalan. Justru ia bisa menjadi sarana untuk meraih tujuan tertentu. Ia menjadi persoalan ketika melampaui batas-batas kewajaran. Bisa juga ia menjadi persoalan karena bertentangan dengan logika akal sehat.

 

Era ini juga memunculkan orang yang tetiba menjadi ahli dalam sebuah persoalan. Hanya bermodalkan berita di dunia digital, ia menjadi komentator. Seolah-olah ia ahli yang mengalahkan orang yang mempelajari ilmu secara sistematis dalam bidang tersebut. Inilah yang kemudian menjadikan situasi menjadi kacau. Ada pesan yang penting sebagai bahan renungan, yaitu jangan mengomentari dan menilai sesuatu yang kita tidak memiliki ilmu memadai tentang hal itu (Yakin, 2022).

 

Demi konten, orang rela melakukan tindakan yang bisa membahayakan dirinya. Muara konten adalah uang. Cukup banyak kasus yang menjadi bukti terhadap hal ini.

 

Sekarang ini memang zaman digital namun kita tidak boleh larut di dalamnya. Larut dalam makna ikut semua hal yang ada tanpa panduan pengetahuan dan berpikir kritis. Implikasinya, segala hal yang berkaitan dengan ke-diri-an kita bisa hilang karena terserap arus besar digitalisasi.

 

Ada aspek yang penting menjadi bahan pertimbangan yakni berkaitan dengan posisi agama. Banyak ahli yang meramalkan bahwa agama akan kehilangan peran vitalnya di era digital. Hal ini disebabkan karena kebutuhan hidup manusia bisa dipenuhi nyaris semuanya di dunia digital.

 

Namun asumsi ini tidak terbukti. Manusia itu memiliki dimensi lahir dan batin. Kebutuhan keduanya harus dipenuhi. Agama menjadi aspek yang bisa menjadi pedoman hidup, baik lahir maupun batin. Namun demikian agama itu tergantung kepada penafsirnya. Agama sesungguhnya bisa berwajah liberal, moderat, atau fundamental. Ajaran agama sendiri akan tampak sebagaimana interpretasi umatnya.

 

Digitalisasi yang berlangsung secara intensif sesungguhnya tidak hanya menghadirkan sisi positif semata. Perubahan secara besar-besaran akibat digitalisasi juga menghadirkan sisi negatif. Dalam kerangka sosiologis, perubahan—apa pun sebabnya—selalu membawa konsekuensi positif dan negatif. Konsekuensi negatif yang harus diterima dari perubahan, salah satunya, adalah munculnya fundamentalisme (Mulkhan, 2010).

 

Pada titik inilah penting untuk mengembangkan kemamuan berpikir kritis. Berpikir kritis sesungguhnya berfungsi untuk mendudukkan segala sesuatu secara objektif. Realitas tidak diterima begitu saja tanpa kritik. Di tengah belantara dunia digital dengan sampahnya yang sedemikian banyak, merupakan hal yang berbahaya jika tanpa imbangan berpikir kritis.

 

Berkaitan dengan langkah berpikir kritis, Saifur Rohman (2021) menguraikan langkah-langkahnya. Langkah pertama adalah pahami. Untuk sampai pada langkah ini, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) menyimak pembicaraan; (2) membaca cermat; (3) mendengarkan dengan baik; (4) mencatat dengan teliti. Empat hal ini bisa jadi satu rangkaian, bisa jadi berdiri sendiri. Substansinya, pahami ini adalah upaya untuk memahami realitas secara cermat dan tidak mengambil kesimpulan sebelum memiliki paham yang utuh.

 

Langkah kedua adalah ragukan. Pada langkah ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu; (1) mengingat topik sebelumnya; (2) menyadari adanya perspektif; dan (3) waspadai klaim kebenaran. Sebagai rangkaian dari langkah sebelumnya, Langkah ini mengajak kita untuk tidak menerima mentah-mentah sebuah informasi. Berpikir kritis mengajak kita untuk meragukan sebuah informasi demi objektivitas informasi.

 

Langkah ketiga adalah tes. Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu; (1) pertanyaan; (2) masalah; dan (3) penilaian.

 

Langkah keempat adalah temukan. Pada langkah ini ada lima hal yang harus diperhatikan, yaitu; (1) verifikasi; (2) falsifikasi; (3) trial and error; (4) praktik terbaik; (5) kesepakatan.

 

Langkah kelima adalah bangun. Pada langkah ini ada lima hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu; (1) menentukan perspektif; (2) membuat pernyataan; (3) menyusun premis; (4) menghubungkan premis; dan (5) menyusun struktur argumentasi.

 

Langkah demi langkah ini harus dilakukan secara cermat. Tidak mudah memang tetapi di situlah makna signifikan berpikir kritis. Jika ini mampu dilakukan secara cermat maka implikasinya akan cukup bagus dalam membaca dan memahami realitas.

 

Jika menemukan berita atau video, tentu tidak asal share hanya karena merasa yakin itu adalah benar. Ada pepatah Jawa yang tampaknya penting menjadi bahan renungan, yaitu bener iku durung mesti pener.

 


Tulungagung, 23.4.2023

 

Daftar Pustaka


Hardiman, F. Budi. (2021). Aku Klik Maka Aku Ada, Manusia dalam Revolusi Digital, Yogyakarta: Kanisius.

Mulkhan, Abdul Munir. 2010. Marhaenis Muhammadiyah, Yogyakarta: Galang Press.

Patil, N. P. (2012). Role Of Education In Social Change. International Educational E-Journal, I, (Ii).

Rahardjo, M. (2007). SOSIOLOGI PEDESAAN Studi Perubahan Sosial. Malang: UIN-Malang Press.

Rohman, Saifur. (2021). Berpikir Kritis, Jakarta: Alvabet.

Yakin, Ayang Utriza. (2022). Islam Praksis: Keberislaman yang Aqli, Naqli, dan Tarikhi, Yogyakarta: IRCiSOD.

6 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.