Kuotamu Buat Apa?
Ngainun Naim
Era digital memberikan banyak hal bagi kita. Ada kelebihan, ada juga kekurangan. Banyak positif, juga negatif.
Ini merupakan realitas yang sekarang tengah kita hadapi. Tidak mungkin lagi untuk ditolak. Sikap yang realistis adalah menerima digitalisasi secara kritis.
Memang tidak mudah tetapi harus dilakukan jika tidak ingin memperoleh efek negatif. Efek positif digitalisasi sudah kita rasakan. Tidak perlu disebutkan satu persatu. Catatan yang Anda baca ini merupakan contohnya. Jika belum ada internet, mustahil tulisan receh semacam ini bisa dibaca banyak orang lewat blog.
Namun efek negatifnya juga tidak kalah mengerikan. Cukup banyak. Silahkan Anda identifikasi sendiri. Justru karena itulah kita harus bersikap kritis.
Kunci yang menentukan positif atau negatif itu ya ada pada kita. Jika memiliki pengetahuan, kesadaran, dan kemauan untuk memanfaatkan secara baik dunia digital, kita akan mendapatkan banyak keuntungan. Jika kita menggunakannya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, kita akan rugi.
Sikap kritis itu membutuhkan banyak perangkat. Pengetahuan, kemampuan analisis, dan juga kedewasaan psikologis. Tidak bisa serta merta sikap kritis muncul. Intinya tetap harus belajar sebagai modal untuk menjalani kehidupan yang semakin rumit dan dinamis ini.
Tanpa perangkat pendukung, yang muncul bukan sikap kritis tetapi nyinyir. Motivasinya bisa asal beda atau kebencian. Bukan bertujuan untuk membaca realitas tetapi menyalahkan realitas.
Satu hal yang sekarang ini penting untuk disyukuri adalah terbukanya peluang untuk beribadah dan ngaji secara luas. Dulu, ketika belum era digital, ngaji—dalam maknanya yang luas—sungguh tidak mudah. Butuh perjuangan, waktu, dan biaya. Kini bisa menjadi lebih ringan dengan hadirnya teknologi informasi.
Jika mau ngaji, tinggal masuk ke YouTube. Pilih kiai dan kitab yang sesuai dengan minat. Simak secara tekun. Sepanjang serius, tentu akan banyak manfaat yang diperoleh.
Kunci lainnya ada di kuota. Sepanjang kuotanya tersedia, tinggal kita manfaatkan.
Generasi sekarang ini sulit lepas dari media sosial. Tidak ada hari tanpa hal yang terkait dengan internet. Persoalannya, apa yang mereka akses tidak selalu positif. Banyak juga yang sekadar menghabiskan waktu atau bahkan mengandung nilai negatif.
Di sinilah ngaji online menjadi penting. Evi Fitriana dan Muhammad Khoiri Ridlwan menyebut fenomena ngaji online ini sebagai transformasi. Dalam artikel yang berjudul Ngaji Online: Transformasi Ngaji Kitab di Media Sosial (Jurnal Asanka, Volume 2, Nomor 2, 2021: 203-220) dijelaskan bahwa ngaji online itu bukan sekadar transfer ilmu. Secara teknis, ini juga terkait kontrol konten. Fenomena ngaji online menghasilkan habitus baru sebagai hasil transformasi sosial kemasyarakatan.
Maksud habitus baru adalah kebiasaan baru. Dulu ngaji itu dilakukan secara langsung. Kini pun juga masih dilakukan, namun bagi yang tidak memiliki kesempatan bisa ngaji secara online.
Ngaji online ini merupakan fenomena baru. Kiai yang dulu ngaji di ndalem, madrasah, atau mimbar pengajian, kini ngaji di depan kamera yang disimak secara langsung atau tidak langsung. Beberapa kiai memiliki YouTube yang bisa diputar setiap saat.
Fenomena ngaji online menjadi bahan kajian banyak peneliti di Indonesia. Silahkan masuk ke google scholar atau mesin pencari lainnya. Ketik kata kunci ngaji online. Tersedia cukup banyak riset dalam topik ini.
Hal ini berarti ngaji online telah menjadi wilayah kajian yang menarik. Saya kira ke depan akan semakin banyak riset dengan area ini. Bagi pembaca yang tertarik, silahkan lakukan riset.
Ngaji online membuka peluang bagi santri sekarang untuk ngaji secara lebih terbuka. Kuncinya memang pada diri pribadi santri. Mau atau tidak mau. Kreatif atau tidak dalam memanfaatkan fasilitas yang ada.
Riset tentang santri sudah sangat banyak dilakukan. Cliffortz Gertz adalah nama penting yang mengawali riset tentang trikotomi santri, abangan, dan priyayi. Beberapa peneliti selanjutnya memiliki penelitian dengan makna yang mirip. Mereka, antara lain, Hefner dengan konsep Javanist Islam (kejawen vs. santri), Woodward (kejawan, Islam Jawa, and normative Islam), Beatty (wong Jawa vs. wong Islam), Koentjaraningrat (agami jawi dan agama Islam santri).
Riset Geertz sudah banyak dikritik. Salah satunya dilakukan oleh Ahmad Najib Burhani dalam artikel yang berjudul Geertz’s Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi: Controversy and Continuity (Journal of Indonesian Islam, Volume 11, Nomor 2, Desember 2017).
Santri dalam konteks riset-riset tersebut adalah santri konsep lama yang harus berjuang dengan segenap tenaga dan biaya untuk ngaji kitab kuning di pesantren atau majelis ilmu. Jika santri itu sudah tidak tinggal di pondok, peluang ngaji kitab kuning lebih berat lagi. Bisa-bisa kesempatan itu semakin tipis.
Kini kesempatan itu menjadi terbuka. Internet membuka tabir penghalang itu. Ya, dengan memanfaatkan internet, ngaji kitab kuning menjadi mungkin meskipun sudah tidak tinggal di pondok. Sesungguhnya kesempatan sudah terbuka. Tinggal mau memanfaatkan atau tidak.
Tulungagung, 28.4.2023
Terima kasih ini kali kedua saya mengikuti spirit-literasi.id bacaan segar, renyah enak diikuti semangat literasi
BalasHapusTerima kasih berkenan berkunjung
Hapustulisanya bagusssss
BalasHapusTerima kasih
Hapus