Bumi Apel, Kenangan, dan Kisah Perjuangan
Ingatan manusia itu terbatas. Tidak semua hal mampu diingat. Justru jika semua hal diingat akan membahayakan kehidupan.
Implikasinya, hanya sebagian kecil saja pengalaman hidup yang mampu dikenang. Selebihnya terkubur bersama perjalanan waktu.
Tentu sayang jika semuanya berlalu begitu saja. Jika jejak hidup itu memiliki makna tertentu maka penting untuk mengawetkannya dalam kenangan.
Persoalannya, bagaimana cara untuk mengawetkannya? Tentu tidak memakai formalin sebagaimana makanan.
Formula yang paling lazim dipakai adalah dengan foto. Fitur kamera di ponsel sekarang ini menjadikan aktivitas mengambil gambar mudah dilakukan semudah menunjuk barang dengan telunjuk jari. Kegiatan demi kegiatan bisa direkam dalam ponsel pintar.
Cukup sering kita menyaksikan bagaimana orang mengambil gambar melalui telepon pintar. Mungkin juga kita melakukannya. Bukan hanya melakukan, tetapi sangat aktif berfoto ria.
Di tempat-tempat tertentu atau di acara-acara tertentu, berfoto adalah agenda wajib. Bahkan ada guyon bahwa inti acara itu ya berfoto. Jika direnungkan, berfoto sesungguhnya merupakan perwujudan dokumentasi yang bagus. Lewat foto demi foto, momen demi momen diabadikan.
Fenomena berfoto, di satu sisi, adalah upaya untuk merekam jejak perjalanan hidup. Sisi lainnya, foto yang melimpah juga menjadi persoalan tersendiri. Tidak semuanya penting. Juga sangat mungkin konteks dan situasi yang melatari telah lupa.
Pada titik inilah kita bisa belajar pada apa yang dilakukan oleh Nabila Dewi Anggraini. Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung ini tidak hanya merekam pengalaman hidupnya lewat gambar tetapi juga lewat narasi. Perpaduan antara gambar dan tulisan sebagaimana terekam dalam buku dengan judul 3.024.000 Detik di Bumi Apel ini memberikan informasi dan teladan bagi kita.
Informasi karena tidak semua orang mengetahui secara mendetail tentang pengalaman penulis buku ini dalam menjalani KKN di Malang. Teladan karena ia mampu merangkai kepingan demi kepingan pengalaman hidupnya lalu menjadikannya sebagai sebuah buku yang utuh.
Menulis buku itu tidak mudah. Jika ada yang menyatakan bahwa menulis itu mudah bisa dipastikan itu orang yang memang sudah menjadi penilis. Jam terbangnya sudah tinggi. Saya yakin ia juga masih mengalami kesulitan pada saat tertentu. Artinya, mudah itu relatif. Tentu ada juga sulitnya.
Penulis buku ini bukan penulis yang sudah malang melintang di dunia perbukuan. Bahkan buku ini adalah buku perdananya. Statusnya sebagai mahasiswa S1 di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung menjadikan buku ini menjadi semakin istimewa. Mahasiswa tetapi sudah mampu menghasilkan buku.
Penulis buku ini adalah peserta KKN Persemakmuran, sebuah jenis KKN kolaborasi kampus-kampus yang dulunya bagian dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tahun 2023 panitia pelaksananya adalah UIN Maliki Malang.
Kota Apel yang menjadi judul buku ini merujuk pada Malang. Apel dan Malang saling menegaskan. Lewat buku semacam ini pengalaman dan kisah perjuaangan tidak sebatas sebagai kenangan tetapi dokumen perjalanan.
Trenggalek, 23 September 2023
Ya Mari kita mengawetkan kenangan dengan menuliskannya
BalasHapusTerima kasih Bu Kanjeng
HapusMantap Prof. Mengabadikan momen melalui tulisan memang perlu dilakukan.
BalasHapusTerima kasih
HapusSemoga terus berkarya
BalasHapusTerima kasih atas doanya
HapusLuar biasa Prof...terimaksih ilmunya, sangat bermanfaat.
BalasHapusTerima kasih berkenan membaca
HapusMantap, bisa menjadi inspirasi mahasiswa lainnya.
BalasHapusAmin. Semoga
HapusWah keren
BalasHapusTerima kasih
HapusMantab. Kisah perjalanan KKN yg diabadikan
BalasHapusTerima kasih Pak Haji
Hapus