Warisan Intelektual Cak Anam
Ngainun Naim
Zaman memang telah berubah. Anda dan saya benar-benar dikepung teks dan hanya keandalan literasi yang dapat membuat Anda dan saya menjadi penyintas (survivor) pada zaman tidak menentu ini—Bambang Trim (2018).
Saya mengagumi Cak Anam—sapaan akrab Drs. H. Choirul Anam—sejak masih menjadi santri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang pada awal tahun 199o-an. Salah satu koleksi perpustakaan pondok ketika itu adalah Majalah AULA yang diterbitkan oleh PWNU Jawa Timur. Di majalah itu saya menemukan nama Cak Anam.
Sebagai santri yang menikmati tulisan-tulisan bergizi di Majalah AULA, saya menemukan banyak informasi berharga tentang ke-NU-an dan keislaman. Di majalah itu saya membaca tulisan para intelektual dan ulama NU. Saya juga mendapatkan banyak perspektif mencerahkan di majalah yang rutin terbit sampai sekarang tersebut.
Suatu ketika saya melihat Cak Anam pada sebuah acara pondok. Melihat beliau saja rasanya sudah sangat senang. Saya merasa bahagia melihat orang yang mengelola majalah yang cukup sering saya baca. Tidak ada keberanian lebih, misalnya mendekat dan mengajak berbincang. Maklum, santri yang masih sekolah di bangku MAN.
Seiring perjalanan waktu, saya mulai belajar menulis artikel untuk dikirim ke majalah dan koran. Tulisan saya pernah satu kali dimuat di AULA. Saya sendiri sudah lupa tahunnya. Tulisan resensi buku karya Dr. Syamsun Ni’am tentang KH. Achmad Shiddiq.
Saya juga menulis untuk koran Duta Masyarakat yang dikelola oleh Cak Anam. Artikel dan resensi buku yang sudah dimuat jumlahnya lumayan. Dulu saya data hampir mendekati angka 90 buah.
Di awal tahun 2000-an saya cukup rutin menulis artikel dan resensi buku di Duta Masyarakat. Bahkan salah satu resensi buku di Duta Masyarakat mendapatkan hadiah yang cukup lumayan dari Penerbit Erlangga Jakarta. Sebuah rezeki yang sangat saya syukuri.
Secara fisik saya baru beberapa kali bertemu Cak Anam. Itu pun tidak terlibat dalam perbincangan. Bagi saya itu sudah cukup.
Salah satu buku karya Cak Anam
Saya justru menikmati beberapa buku karya tulis beliau. Salah satunya adalah buku fenomenal dengan judul Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Surabaya: Bisma Satu, 1999). Buku ini dirujuk oleh Andree Feillard (NU vis-Ã -vis Negara: 1999), Martin van Bruinessen (NU, Tradisi, dan Relasi Kuasa: 1994), Greg Fealy (Ijtihad Politik Ulama: 2009), dan banyak peneliti NU lainnya. Ini menunjukkan bahwa buku karya Cak Anam menjadi referensi penting dalam riset tentang NU.
Buku Cak Anam kaya data. Wajar jika menjadi rujukan para peneliti NU. Selain itu bisa dikatakan buku tersebut adalah buku awal yang berbicara NU secara sistematis. Konon, KH. Yusuf Hasyim menyebut buku Cak Anam sebagai buku babon tentang Nahdlatul Ulama.
Sepanjang hidup beliau menulis banyak buku. Ini merupakan salah satu warisan yang luar biasa. Jarang ada tokoh yang menulis sedemikian banyak buku.
Buku-buku lain karya beliau, antara lain, Membanding Ulah GPK Abu Hasan (Surabaya: Aula, 1996), KH. Abdul Wahab Chasbullah, Hidup dan Perjuangannya (Surabaya: PT Duta Aksara, 2017), Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar (Jakarta: Sinar Harapan, t.t.), Gerak Langkah Pemuda Ansor Sebuah Percikan Sejarah (Surabaya: Aula, 1990), NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan, Siapa Bertanggungjawab? (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2019), Skandal Imam Bonjol KPU alat Rezim dan Parpol Senayan (Surabaya: Duta, 2013), dan Pemikiran KH. Achmad Shiddiq (Jakarta: Duta Aksara Mulia, 1992).
Sebagaimana kutipan di awal catatan ini, buku-buku karya Cak Anam merupakan modal penting bagi kita, khususnya warga NU, untuk menjadi penyintas di tengah kepungan teks yang sangat deras. Cak Anam telah mewariskan banyak tulisan yang sangat berharga. Semoga karya-karya beliau menjadi amal jariyah yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga beliau husnul khatimah. Aamiinnn.
Tulungagung, 9-10 September 2023.
Luar biasa Cak Anam. Smg bukunya jadi ladang amal jariyah
BalasHapusAamiinnnn
Hapus