Pandemi, Literasi, dan Dokumentasi Memori
Ngainun Naim
Pandemi Covid-19 telah berlalu. Kenangan kehidupan
mencekam selama sekitar dua tahun perlahan mulai (di/ter)lupa(kan). Kini yang
tersisa adalah kenangan yang mulai hilang perlahan-lahan.
Kedahsyatan Covid-19 tidak pernah terbayangkan
sebelumnya. Belum pernah manusia mengalami pandemi yang sedemikian luar biasa. Catatan
sejarah menyebutkan pandemi pernah melanda pada tahun 1918-1920, yaitu Flu
Spanyol (M. Khodafi, Wildayati Septiani, & Endi,
2020). Tapi Sebagian besar orang yang tidak mengalami. Hanya membaca sejarahnya
saja.
Flu Spanyol berlangsung lebih seabad lalu. Ditinjau dari
usia biologis, kecil kemungkinannya ada orang yang masih mengingatnya. Jika ada
yang pernah mengalami, kecil juga kemungkinan mengingatnya karena usia 100
tahun lebih lazimnya ingatan semakin melemah.
Berbeda dengan Covid-19 yang kita alami selama dua tahun.
Penanda paling kentara adalah berpulangnya banyak orang. Tidak sedikit orang-orang yang dekat dengan
kehidupan kita harus berpulang. Kerabat,
kolega, dan banyak lagi yang harus kehilangan. Semuanya telah menjadi bagian
tidak terpisah dari sejarah kehidupan.
Pandemi Covid-19 tidak hanya menandai banyaknya korban
tetapi juga menanda budaya baru. Agama ternyata memiliki peranan signifikan
dalam membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Ajaran agama memberikan basis pengetahuan, sikap, dan
perilaku hidup yang tetap bertahan di tengah gempuran penderitaan (Widiyanto, 2020).
Diskursus agama secara teoretik dan praktis menjadi bahan
perdebatan yang cukup produktif di masa pandemi. Ada berbagai pendapat yang
berkembang. Masing-masing memiliki basis argumentasi. Namun demikian, meskipun
berbeda-beda, mereka dipertemukan oleh pengakuan bersama bahwa agama itu memiliki peranan penting dalam
kehidupan (Wildman, Bulbulia, Sosis, & Schjoedt,
2020).
Pandemi juga memunculkan tradisi baru dalam pembelajaran.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika akan ada tradisi semacam ini. Berabad-abad lamanya pembelajaran dilakukan secara tatap muka. Memang ada upaya-upaya untuk melaksanakan
pembelajaran secara daring, namun hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda akan digunakan secara
besar-besaran. Pandemi merevolusi
pembelajaran dari luring menjadi daring.
Teknologi memungkinkan pembelajaran bisa dilaksanakan di
tengah keterbatasan untuk melaksanakan pertemuan secara langsung. Inilah yang
kemudian memunculkan “new normal” di dunia pendidikan. Semua pihak, mau tidak
mau, harus beradaptasi dengan perubahan yang ada (Pacheco, 2021).
Tradisi baru selalu memunculkan beragam pendapat.
Demikian juga dengan pembelajaran secara daring. Ada banyak kritik terkait
efektivitas pelaksanaannya (Darmalaksana, Hambali, Masrur, &
Muhlas, 2020). Namun di tengah realitas keterbatasan dan keadaan,
pembelajaran daring merupakan pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.
Kini pandemi telah berlalu. Satu hal yang menarik dari
masyarakat kita adalah mudahnya melupakan peristiwa, bahkan peristiwa besar
yang melibatkan sangat banyak orang. Satu sisi ini bagus karena kita tidak
larut dalam kesedihan. Tentu sangat berbahaya, khususnya
dari tinjauan psikologi, jika kesedihan dan
trauma akibat pandemi terus diingat (Choi et al., 2023). Secara psikologis, trauma itu
membahayakan bagi kesehatan
mental. Kasus trauma ini cukup banyak namun lebih banyak lagi yang telah
melupakannya dan kembali
menjalani kehidupan ini secara normal.
Di sisi lain, melupakan bgitu saja juga bukan hal bijak. Pengalaman
kelam era pandemi memberikan banyak pelajaran dalam konteks dan makna kehidupan. Kita terlupa untuk merenungkan dan menggali nilai-nilai
penting dari sebuah pengalaman. Padahal ini merupakan salah satu sarana penting
untuk memperkaya kehidupan.
Benedict Anderson dalam bukunya yang monumental, Imagined Communities (2001) menggunakan kata
“amnesia nasionalisme”. Kata “amnesia” menarik ketika dipilih. Amnesia, menurut
KBBI, bermakna, “kehilangan daya ingat, terutama tentang masa lalu atau tentang
apa yang terjadi sebelumnya karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak”.
Penggunaan kata amnesia yang digunakan Anderson bisa jadi merupakan kritik
tajam terhadap realitas mudahnya masyarakat Indonesia untuk melupakan hal-hal
penting dalam perjalanan sejarah.
Mengutip Saleem Sinai, I Gusti Agung Ayu Ratih (1995)
menyebut bangsa ini adalah bangsa pelupa. Peristiwa demi peristiwa terus saja
berjalan lalu dilupakan. Sebesar apa pun sebuah peristiwa, ia begitu cepat
berlalu. Bukan berarti semuanya
melupakan, namun mayoritas yang begitu mudahnya melupakan. Hanya sebagian kecil
saja yang memiliki kepedulian untuk mengingat, mendokumentasikannya, dan
merekonstruksinya sebagai sarana belajar untuk perbaikan dalam kehidupan ke
depan.
Pandemi Covid-19 adalah bagian penting dari sejarah.
Tidak hanya sejarah bagi Indonesia, tetapi sejarah bagi dunia. Tidak ada satu
pun negara yang tidak merasakan dampaknya. Bedanya adalah besar atau kecilnya
pandemi.
Sungguh tidak mudah untuk mengurai dan membayangkan
bagaimana pandemic akan berlalu ketika itu. Semuanya gelap. Ketakutan demi
ketakutan terus menghantui. Masa depan seolah suram dan berakhirnya pandemi
seolah hanya sebatas mimpi.
Kini semua sudah berlalu. Kehidupan telah kembali normal.
Bukannya gagal move on jika merekam ingatan terhadap pandemi dalam
bentuk tulisan sebagaimana yang dilakukan oleh Roni Ramlan dalam buku ini.
Justru buku ini mengajarkan pentingnya merekam peristiwa lewat deretan kata. Buku
ini bisa menjadi media untuk mendokumentasikan peristiwa yang sedemian
berharga. Sebagaimana ditegaskan oleh Pakpahan (2017), mengingat peristiwa masa
lalu itu jauh lebih penting dibandingkan dengan melupakannya.
Kebiasaan untuk mudah melupakan itu dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu bahasa, penerimaan terhadap peristiwa yang dialami, dan
pelarian dari masalah yang dianggap tidak bisa diselesaikan. Mengingat memiliki
makna signifikan—di antaranya—untuk lepas dari pengalaman traumatis. Mengingat
sesungguhnya juga sejalan dengan watak teknologi informasi berkaitan dengan
jejak digital.
Upaya mengingat juga sejalan dengan makna sejarah. Sejarah
bukan hanya berkisah tentang peristiwa di masa lalu. Himpunan peristiwa yang
dinarasikan secara tertulis dengan mengikuti kaidah yang telah ditentukan
sesungguhnya memiliki banyak makna. Jadi sejarah bukan semata-mata tentang masa
lalu tetapi juga tentang cermin masa depan (Taufik Abdullah dan Abdurrahman
Surjomihardjo (1985: 27).
Menulis tentang pandemi bukan sekadar mengumpulkan
kepingan kenangan. Ada banyak nilai dan manfaat yang terkandung dalam upaya
ini. Pada titik yang signifikan, tujuan penulisan peristiwa penting bertujuan
agar memiliki apa yang disebut oleh Soedjatmoko (1992: 56) sebagai rasa
hayat historis. Pada titik inilah buku karya Roni Ramlan ini menemukan
titik signifikansinya.
Saya mengenal baik penulis buku ini, yaitu Roni Ramlan.
Pemuda Sunda ini menyelesaikan jenjang S1 dan S2 di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Ia juga aktif dalam kegiatan literasi di sela-sela tugas
pokoknya sebagai Kepala SDIT Baitul Quran Tulungagung. selain
itu ia juga menjadi Ketua SPK Tulungagung,
sebuah komunitas menulis. Roni Ramlan juga sudah menerbitkan beberapa buku. Jadi buku ini merupakan
karyanya yang entah ke berapa.
Saya sangat senang dengan hadirnya buku ini. Bagi saya, buku merupakan barang mahal yang harus diapresiasi. Semakin banyak buku
ditulis semakin bagus bagi kemajuan peradaban. Salam.
Trenggalek, 18-11-2023
Daftar Bacaan
Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo,
Abdurrahman. 1985. “Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia”, dalam Ilmu
Sejarah dan Historiografi, Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.
Anderson, Benedict. 2001. Imagined
Communities. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choi, K. W., Nishimi, K., Jha, S. C.,
Sampson, L., Hahn, J., Kang, J. H., … Kubzansky, L. D. (2023). Pre-pandemic
resilience to trauma and mental health outcomes during COVID-19. Social
Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 58(3).
https://doi.org/10.1007/s00127-022-02367-y
Darmalaksana, W., Hambali, R. Y. A.,
Masrur, A., & Muhlas. (2020). Analisis Pembelajaran Online Masa WFH
Pandemic Covid-19 sebagai Tantangan Pemimpin Digital Abad 21. Karya Tulis
Ilmiah (KTI) Masa Work From Home (WFH) Covid-19 UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
1 (1).
M. Khodafi, Wildayati Septiani, & Endi,
R. (2020). Kilas-balik wabah di Indonesia: mengurai kembali pandemi covid-19
melalui peristiwa flu spanyol 1918-1920. SULUK:Jurnal Bahasa, Sastra, Dan
Budaya, 2(2).
Pacheco, J. A. (2021). The “new normal” in
education. Prospects, 51(1–3).
https://doi.org/10.1007/s11125-020-09521-x.
Soedjatmoko. 1992. "Antara Filsafat
dan Kesadaran Sejarah", dalam Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Widiyanto, A. (2020). Religion and covid-19
in the era of post-truth: The case of Indonesia. International Journal of
Islamic Thought, 18. https://doi.org/10.24035/IJIT.18.2020.176
Wildman, W. J., Bulbulia, J., Sosis, R.,
& Schjoedt, U. (2020). Religion and the COVID-19 pandemic. Religion,
Brain and Behavior. https://doi.org/10.1080/2153599X.2020.1749339
Semoga pandemi tidak akan terulang lagi.
BalasHapusKeren mas Roni, sangat produktif menulis
Amin. Ditunggu juga buku Pak Prianto
HapusSaya juga banyak 1 buku Solo tema pandemi. Kata Pengantar dari Prof Naim
BalasHapusAlhamdulillah
Hapus