Pandemi, Literasi, dan Dokumentasi Memori

November 19, 2023



Ngainun Naim

Pandemi Covid-19 telah berlalu. Kenangan kehidupan mencekam selama sekitar dua tahun perlahan mulai (di/ter)lupa(kan). Kini yang tersisa adalah kenangan yang mulai hilang perlahan-lahan.

Kedahsyatan Covid-19 tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Belum pernah manusia mengalami pandemi yang sedemikian luar biasa. Catatan sejarah menyebutkan pandemi pernah melanda pada tahun 1918-1920, yaitu Flu Spanyol (M. Khodafi, Wildayati Septiani, & Endi, 2020). Tapi Sebagian besar orang yang tidak mengalami. Hanya membaca sejarahnya saja.

Flu Spanyol berlangsung lebih seabad lalu. Ditinjau dari usia biologis, kecil kemungkinannya ada orang yang masih mengingatnya. Jika ada yang pernah mengalami, kecil juga kemungkinan mengingatnya karena usia 100 tahun lebih lazimnya ingatan semakin melemah.

Berbeda dengan Covid-19 yang kita alami selama dua tahun. Penanda paling kentara adalah berpulangnya banyak orang. Tidak sedikit orang-orang yang dekat dengan kehidupan kita harus berpulang. Kerabat, kolega, dan banyak lagi yang harus kehilangan. Semuanya telah menjadi bagian tidak terpisah dari sejarah kehidupan.

Pandemi Covid-19 tidak hanya menandai banyaknya korban tetapi juga menanda budaya baru. Agama ternyata memiliki peranan signifikan dalam membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Ajaran agama memberikan basis pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup yang tetap bertahan di tengah gempuran penderitaan (Widiyanto, 2020).

Diskursus agama secara teoretik dan praktis menjadi bahan perdebatan yang cukup produktif di masa pandemi. Ada berbagai pendapat yang berkembang. Masing-masing memiliki basis argumentasi. Namun demikian, meskipun berbeda-beda, mereka dipertemukan oleh pengakuan bersama bahwa agama itu memiliki peranan penting dalam kehidupan (Wildman, Bulbulia, Sosis, & Schjoedt, 2020).

Pandemi juga memunculkan tradisi baru dalam pembelajaran. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika akan ada tradisi semacam ini. Berabad-abad lamanya pembelajaran dilakukan secara tatap muka. Memang ada upaya-upaya untuk melaksanakan pembelajaran secara daring, namun hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda akan digunakan secara besar-besaran. Pandemi merevolusi pembelajaran dari luring menjadi daring.

Teknologi memungkinkan pembelajaran bisa dilaksanakan di tengah keterbatasan untuk melaksanakan pertemuan secara langsung. Inilah yang kemudian memunculkan “new normal” di dunia pendidikan. Semua pihak, mau tidak mau, harus beradaptasi dengan perubahan yang ada (Pacheco, 2021).

Tradisi baru selalu memunculkan beragam pendapat. Demikian juga dengan pembelajaran secara daring. Ada banyak kritik terkait efektivitas pelaksanaannya (Darmalaksana, Hambali, Masrur, & Muhlas, 2020). Namun di tengah realitas keterbatasan dan keadaan, pembelajaran daring merupakan pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.

Kini pandemi telah berlalu. Satu hal yang menarik dari masyarakat kita adalah mudahnya melupakan peristiwa, bahkan peristiwa besar yang melibatkan sangat banyak orang. Satu sisi ini bagus karena kita tidak larut dalam kesedihan. Tentu sangat berbahaya, khususnya dari tinjauan psikologi, jika kesedihan dan trauma akibat pandemi terus diingat (Choi et al., 2023). Secara psikologis, trauma itu membahayakan bagi kesehatan mental. Kasus trauma ini cukup banyak namun lebih banyak lagi yang telah melupakannya dan kembali menjalani kehidupan ini secara normal.

Di sisi lain, melupakan bgitu saja juga bukan hal bijak. Pengalaman kelam era pandemi memberikan banyak pelajaran dalam konteks dan makna kehidupan. Kita terlupa untuk merenungkan dan menggali nilai-nilai penting dari sebuah pengalaman. Padahal ini merupakan salah satu sarana penting untuk memperkaya kehidupan.

Benedict Anderson dalam bukunya yang monumental, Imagined  Communities (2001) menggunakan kata “amnesia nasionalisme”. Kata “amnesia” menarik ketika dipilih. Amnesia, menurut KBBI, bermakna, “kehilangan daya ingat, terutama tentang masa lalu atau tentang apa yang terjadi sebelumnya karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak”. Penggunaan kata amnesia yang digunakan Anderson bisa jadi merupakan kritik tajam terhadap realitas mudahnya masyarakat Indonesia untuk melupakan hal-hal penting dalam perjalanan sejarah.

Mengutip Saleem Sinai, I Gusti Agung Ayu Ratih (1995) menyebut bangsa ini adalah bangsa pelupa. Peristiwa demi peristiwa terus saja berjalan lalu dilupakan. Sebesar apa pun sebuah peristiwa, ia begitu cepat berlalu. Bukan berarti semuanya melupakan, namun mayoritas yang begitu mudahnya melupakan. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki kepedulian untuk mengingat, mendokumentasikannya, dan merekonstruksinya sebagai sarana belajar untuk perbaikan dalam kehidupan ke depan.

Pandemi Covid-19 adalah bagian penting dari sejarah. Tidak hanya sejarah bagi Indonesia, tetapi sejarah bagi dunia. Tidak ada satu pun negara yang tidak merasakan dampaknya. Bedanya adalah besar atau kecilnya pandemi.

Sungguh tidak mudah untuk mengurai dan membayangkan bagaimana pandemic akan berlalu ketika itu. Semuanya gelap. Ketakutan demi ketakutan terus menghantui. Masa depan seolah suram dan berakhirnya pandemi seolah hanya sebatas mimpi.

Kini semua sudah berlalu. Kehidupan telah kembali normal. Bukannya gagal move on jika merekam ingatan terhadap pandemi dalam bentuk tulisan sebagaimana yang dilakukan oleh Roni Ramlan dalam buku ini. Justru buku ini mengajarkan pentingnya merekam peristiwa lewat deretan kata. Buku ini bisa menjadi media untuk mendokumentasikan peristiwa yang sedemian berharga. Sebagaimana ditegaskan oleh Pakpahan (2017), mengingat peristiwa masa lalu itu jauh lebih penting dibandingkan dengan melupakannya.

Kebiasaan untuk mudah melupakan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahasa, penerimaan terhadap peristiwa yang dialami, dan pelarian dari masalah yang dianggap tidak bisa diselesaikan. Mengingat memiliki makna signifikan—di antaranya—untuk lepas dari pengalaman traumatis. Mengingat sesungguhnya juga sejalan dengan watak teknologi informasi berkaitan dengan jejak digital.

Upaya mengingat juga sejalan dengan makna sejarah. Sejarah bukan hanya berkisah tentang peristiwa di masa lalu. Himpunan peristiwa yang dinarasikan secara tertulis dengan mengikuti kaidah yang telah ditentukan sesungguhnya memiliki banyak makna. Jadi sejarah bukan semata-mata tentang masa lalu tetapi juga tentang cermin masa depan (Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (1985: 27).

Menulis tentang pandemi bukan sekadar mengumpulkan kepingan kenangan. Ada banyak nilai dan manfaat yang terkandung dalam upaya ini. Pada titik yang signifikan, tujuan penulisan peristiwa penting bertujuan agar memiliki apa yang disebut oleh Soedjatmoko (1992: 56) sebagai rasa hayat historis. Pada titik inilah buku karya Roni Ramlan ini menemukan titik signifikansinya.

Saya mengenal baik penulis buku ini, yaitu Roni Ramlan. Pemuda Sunda ini menyelesaikan jenjang S1 dan S2 di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Ia juga aktif dalam kegiatan literasi di sela-sela tugas pokoknya sebagai Kepala SDIT Baitul Quran Tulungagung. selain itu ia juga menjadi Ketua SPK Tulungagung, sebuah komunitas menulis. Roni Ramlan juga sudah menerbitkan beberapa buku. Jadi buku ini merupakan karyanya yang entah ke berapa.

Saya sangat senang dengan hadirnya buku ini. Bagi saya, buku merupakan barang mahal yang harus diapresiasi. Semakin banyak buku ditulis semakin bagus bagi kemajuan peradaban. Salam.

 

Trenggalek, 18-11-2023


 

Daftar Bacaan

Abdullah, Taufik dan Surjomihardjo, Abdurrahman. 1985. “Arah Gejala dan Perspektif Studi Sejarah Indonesia”, dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi, Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.

Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Choi, K. W., Nishimi, K., Jha, S. C., Sampson, L., Hahn, J., Kang, J. H., … Kubzansky, L. D. (2023). Pre-pandemic resilience to trauma and mental health outcomes during COVID-19. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 58(3). https://doi.org/10.1007/s00127-022-02367-y

Darmalaksana, W., Hambali, R. Y. A., Masrur, A., & Muhlas. (2020). Analisis Pembelajaran Online Masa WFH Pandemic Covid-19 sebagai Tantangan Pemimpin Digital Abad 21. Karya Tulis Ilmiah (KTI) Masa Work From Home (WFH) Covid-19 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1 (1).

M. Khodafi, Wildayati Septiani, & Endi, R. (2020). Kilas-balik wabah di Indonesia: mengurai kembali pandemi covid-19 melalui peristiwa flu spanyol 1918-1920. SULUK:Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Budaya, 2(2).

Pacheco, J. A. (2021). The “new normal” in education. Prospects, 51(1–3). https://doi.org/10.1007/s11125-020-09521-x.

Soedjatmoko. 1992. "Antara Filsafat dan Kesadaran Sejarah", dalam Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.

Widiyanto, A. (2020). Religion and covid-19 in the era of post-truth: The case of Indonesia. International Journal of Islamic Thought, 18. https://doi.org/10.24035/IJIT.18.2020.176

Wildman, W. J., Bulbulia, J., Sosis, R., & Schjoedt, U. (2020). Religion and the COVID-19 pandemic. Religion, Brain and Behavior. https://doi.org/10.1080/2153599X.2020.1749339

 

4 komentar:

  1. Semoga pandemi tidak akan terulang lagi.
    Keren mas Roni, sangat produktif menulis

    BalasHapus
  2. Saya juga banyak 1 buku Solo tema pandemi. Kata Pengantar dari Prof Naim

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.