Kebiasaan Menulis
Ngainun Naim
Saya terbiasa berbicara dalam bahasa Indonesia. Kebiasaan
ini tidak terbentuk begitu saja. Ada proses panjang dan hal-hal tertentu yang
mengondisikan.
Bahasa Ibu yang saya gunakan adalah bahasa Jawa. Ketika
masuk SD, saya "dipaksa" untuk berbahasa Indonesia. Pelajaran menggunakan
bahasa Indonesia, kecuali pelajaran bahasa Jawa. Awalnya tentu kaku dan merasa
lucu tetapi lama-lama ya terbiasa. Pelan tapi pasti saya menjadi terbiasa
membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Jawa masih tetap saya gunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Lingkungan pergaulan saya didominasi orang-orang Jawa. Ini
yang membuat saya sering berbincang
dalam bahasa Jawa. Sayang, kemampuan menulis bahasa Jawa jarang saya asah. Saya
merasa lebih nyaman dan lancar menulis dalam bahasa Indonesia dibandingkan dalam
bahasa Jawa.
Dulu saya pernah mengembangkan keterampilan menulis
bahasa Jawa. Meskipun tidak mudah, saya berhasil menulis artikel dan crita
cekak dalam bahasa Jawa. Beberapa di antaranya berhasil dimuat di Majalah Jaya
Baya. Sesungguhnya antara tulisan yang dimuat dan yang dibuat tidak
seimbang. Tentu saja lebih banyak yang dibuat daripada yang dimuat.
Sayangnya keterampilan ini tidak saya tekuni. Pelan tapi
pasti keterampilan saya menurun. Sekarang ini sulit sekali saat harus menulis
dalam bahasa Jawa.
Kesukaan membaca dan menulis bahasa Jawa tumbuh tanpa
sengaja. Famili yang berlangganan Majalah Jaya Baya menjadi pemicunya. Setiap
main ke rumah beliau, saya menemukan majalah itu di beberapa tempat. Jadinya saya
pun membacanya.
Namun perkembangan keadaan membuat saya jarang lagi
membaca dan menulis dalam bahasa Jawa. Sekarang saya merasa lebih nyaman
menulis dalam bahasa Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena aktivitas yang
menuntut saya untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Awalnya tentu sulit.
Seiring waktu saya semakin terbiasa.
Saya tetiba teringat esai yang ditulis AS Laksana. Esai di
Jawa Pos dengan judul ”Menjadi Itik” dimuat pada 8 Desember 2013.
Dalam esai tersebut dijelaskan bahwa membaca dan menulis itu bukan kegiatan
instan. Ia merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara terus-menerus sampai
kemudian menjadi kebiasaan.
Membaca dan menulis awalnya kurang menyenangkan. Jika
konsisten melakukannya maka ada upaya pembiasaan. Seiring waktu pembiasaan bisa
bermetamorfosis menjadi kebiasaan.
Kebiasaan, dengan demikian, lahir dari aktivitas
terus-menerus. Ia tidak terbangun karena melakukan beberapa kali tetapi tidak tak
terhitung kali.
Begitu juga dengan menulis. Seseorang dikatakan kompeten
dalam menulis bukan karena ikut satu dua kali pelatihan. Kompetensi menulis
juga tidak hanya diukur dari selembar sertifikat pasca kegiatan. Substansi
kompetensi menulis ya pada menulis itu sendiri.
Ikut pelatihan penting. Sertifikat juga penting. Namun
substansi kompetensi juga jangan diabaikan. Kompetensi menulis hanya bisa
diperoleh melalui aktivitas menulis yang dilakukan secara konsisten. Itulah
yang disebut sebagai kebiasaan.
Tulungagung—Surabaya, 11-14 Desember 2023
Betul sekali Prof. Bahwa kompetensi menulis perlu diasah secara konsisten. Ketika mengalami kemandekan dari aktivitas menulis, memulai lagi juga sulitnya luar biasa. Terimakasih atas ilmunya Prof🙏
BalasHapusSama-sama
HapusLuar biasa, matur nuwun Prof. Semoga menjadi ladang amal jariyah.
BalasHapusAAmiinnn. Matur nuwun atas doanya.
Hapusawalnya mungkin dipaksakan lama-lama menjadi kebiasaan hehehe
BalasHapusBetul
HapusBapak menyinggung majalah berbahasa jawa, saya jadi teringat dulu orang tua sering membeli majalah berbahasa sunda namanya Mangle. Sekarang tidak tahu juga apa majalah Mangle masih terbit.
BalasHapusTentang menulis, memang harus dibiasakan. Pengalaman, sekian lama tidak menulis, ketika memulainya lagi duh sering macet... Walau apa yang saya tulis hanya hal keseharian saja tidak seperti Bapak yang menulis sesuai bidang keilmuan.
Salam,
Terima kasih atas sharingnya Pak
HapusLuar biasa Prof. Rupanya juga punya bakat menulis dalam Basa Jawa
BalasHapusBakat yang kurang dirawat
HapusMasha Allah. Substansinya akan terus menjadi pengingat. Jika ingin cakap menulis, yaa, seseorang harus terus menulis. Terima kasih, Pak Prof.
BalasHapusBetul. Menulis, menulis, dan terus menulis
HapusMemang betul Prof., kebisaan menulis akan musnah secara perlahan atau cepat jika tidak dibarengi dengan pembiasaan menulis. Tulisan Prof.Nangim adalah colekan utk saya dan beberapa yg lain yg belum mampu membiasakan menulis walau sebenarnya bisa menulis. Terimalasih Prof.sudah mengingatkan dan terus berbagi karya yg sangat bermanfaat ini. Sehat selalu ya Prof...
BalasHapusMari terus merawat spirit menulis
HapusArtikel yg menginspirasi dan mengingat kita untuk terus membaca dan menulis. Terima kasih Prof. Naim!
BalasHapusSama-sama
Hapus