Kebiasaan Menulis

Desember 14, 2023



Ngainun Naim

 

Saya terbiasa berbicara dalam bahasa Indonesia. Kebiasaan ini tidak terbentuk begitu saja. Ada proses panjang dan hal-hal tertentu yang mengondisikan.

 

Bahasa Ibu yang saya gunakan adalah bahasa Jawa. Ketika masuk SD, saya "dipaksa" untuk berbahasa Indonesia. Pelajaran menggunakan bahasa Indonesia, kecuali pelajaran bahasa Jawa. Awalnya tentu kaku dan merasa lucu tetapi lama-lama ya terbiasa. Pelan tapi pasti saya menjadi terbiasa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia.

 

Bahasa Jawa masih tetap saya gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan pergaulan saya didominasi orang-orang Jawa. Ini yang  membuat saya sering berbincang dalam bahasa Jawa. Sayang, kemampuan menulis bahasa Jawa jarang saya asah. Saya merasa lebih nyaman dan lancar menulis dalam bahasa Indonesia dibandingkan dalam bahasa Jawa.

 

Dulu saya pernah mengembangkan keterampilan menulis bahasa Jawa. Meskipun tidak mudah, saya berhasil menulis artikel dan crita cekak dalam bahasa Jawa. Beberapa di antaranya berhasil dimuat di Majalah Jaya Baya. Sesungguhnya antara tulisan yang dimuat dan yang dibuat tidak seimbang. Tentu saja lebih banyak yang dibuat daripada yang dimuat.

 

Sayangnya keterampilan ini tidak saya tekuni. Pelan tapi pasti keterampilan saya menurun. Sekarang ini sulit sekali saat harus menulis dalam bahasa Jawa.

 

Kesukaan membaca dan menulis bahasa Jawa tumbuh tanpa sengaja. Famili yang berlangganan Majalah Jaya Baya menjadi pemicunya. Setiap main ke rumah beliau, saya menemukan majalah itu di beberapa tempat. Jadinya saya pun membacanya.

 

Namun perkembangan keadaan membuat saya jarang lagi membaca dan menulis dalam bahasa Jawa. Sekarang saya merasa lebih nyaman menulis dalam bahasa Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena aktivitas yang menuntut saya untuk menulis dalam bahasa Indonesia. Awalnya tentu sulit. Seiring waktu saya semakin terbiasa.

 

Saya tetiba teringat esai yang ditulis AS Laksana. Esai di Jawa Pos dengan judul ”Menjadi Itik” dimuat pada 8 Desember 2013. Dalam esai tersebut dijelaskan bahwa membaca dan menulis itu bukan kegiatan instan. Ia merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara terus-menerus sampai kemudian menjadi kebiasaan.

 

Membaca dan menulis awalnya kurang menyenangkan. Jika konsisten melakukannya maka ada upaya pembiasaan. Seiring waktu pembiasaan bisa bermetamorfosis menjadi kebiasaan.

 

Kebiasaan, dengan demikian, lahir dari aktivitas terus-menerus. Ia tidak terbangun karena melakukan beberapa kali tetapi tidak tak terhitung kali.

 

Begitu juga dengan menulis. Seseorang dikatakan kompeten dalam menulis bukan karena ikut satu dua kali pelatihan. Kompetensi menulis juga tidak hanya diukur dari selembar sertifikat pasca kegiatan. Substansi kompetensi menulis ya pada menulis itu sendiri.

 

Ikut pelatihan penting. Sertifikat juga penting. Namun substansi kompetensi juga jangan diabaikan. Kompetensi menulis hanya bisa diperoleh melalui aktivitas menulis yang dilakukan secara konsisten. Itulah yang disebut sebagai kebiasaan.

 

Tulungagung—Surabaya, 11-14 Desember 2023

16 komentar:

  1. Betul sekali Prof. Bahwa kompetensi menulis perlu diasah secara konsisten. Ketika mengalami kemandekan dari aktivitas menulis, memulai lagi juga sulitnya luar biasa. Terimakasih atas ilmunya Prof🙏

    BalasHapus
  2. Luar biasa, matur nuwun Prof. Semoga menjadi ladang amal jariyah.

    BalasHapus
  3. awalnya mungkin dipaksakan lama-lama menjadi kebiasaan hehehe

    BalasHapus
  4. Bapak menyinggung majalah berbahasa jawa, saya jadi teringat dulu orang tua sering membeli majalah berbahasa sunda namanya Mangle. Sekarang tidak tahu juga apa majalah Mangle masih terbit.

    Tentang menulis, memang harus dibiasakan. Pengalaman, sekian lama tidak menulis, ketika memulainya lagi duh sering macet... Walau apa yang saya tulis hanya hal keseharian saja tidak seperti Bapak yang menulis sesuai bidang keilmuan.

    Salam,

    BalasHapus
  5. Luar biasa Prof. Rupanya juga punya bakat menulis dalam Basa Jawa

    BalasHapus
  6. Masha Allah. Substansinya akan terus menjadi pengingat. Jika ingin cakap menulis, yaa, seseorang harus terus menulis. Terima kasih, Pak Prof.

    BalasHapus
  7. Memang betul Prof., kebisaan menulis akan musnah secara perlahan atau cepat jika tidak dibarengi dengan pembiasaan menulis. Tulisan Prof.Nangim adalah colekan utk saya dan beberapa yg lain yg belum mampu membiasakan menulis walau sebenarnya bisa menulis. Terimalasih Prof.sudah mengingatkan dan terus berbagi karya yg sangat bermanfaat ini. Sehat selalu ya Prof...

    BalasHapus
  8. Artikel yg menginspirasi dan mengingat kita untuk terus membaca dan menulis. Terima kasih Prof. Naim!

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.