Haul, Pengingat, dan Pengikat

Januari 13, 2024



Ngainun Naim

 

Tanggal 29 November 2023 KH. Sholahuddin Fathurrahman (Gus Amang) menelepon. Inti teleponnya adalah beliau menyampaikan hasil rapat Yayasan bahwa saat Haul KH.M. Bisri Syansuri yang jatuh pada 1 Rajab 1445 H atau 12 Januari 2024 M, saya diminta menjadi wakil alumni yang memberikan sambutan.

Sejenak saya terdiam. Tidak bisa berkomentar. Lebih lanjut Pengasuh Pesantren Mamba’ul Ma’arif Asrama Al-Bisri tersebut melanjutkan, ”Ini tidak boleh ditawar, apalagi ditolak”.

Sebagai santri, tidak ada pilihan selain menjawab siap. Tentu, berbagai pertanyaan muncul. Juga berbagai hal mengapa saya yang dipilih. Namun semua segera saya abaikan. Aspek yang lebih penting adalah bagaimana saya mempersiapkan diri saat menjalankan tugas.

 


Jasa Besar KH.M. Bisri Syansuri

Haul KH.M. Bisri Syansuri ke-45, Nyai Hj. Nur Khodijah ke-71, dan HUT PP Mamba’ul Ma’arif yang ke-109 merupakan momentum penting, baik bagi santri, alumni, dan umat Islam. Disebut momentum penting karena haul membuka kesempatan untuk bersilaturrahmi. Silaturrahmi ke kiai, sesama alumni, tokoh masyarakat, dan banyak pihak lain. Hal memungkinkan terjadinya pertemuan demi pertemuan yang acapkali tidak terduga. Jika tidak ada haul, momentum silaturrahmi semacam ini kecil kemungkinan untuk terjadi.

Haul juga menjadi momentum untuk menyambung sanad ilmu. Aspek unik dan menjadi karakteristik khas keilmuan pesantren adalah sanad ilmu. Kita tidak sekadar datang semata-mata tetapi juga berdoa dan ngaji. Kita menyimak ilmu dan hikmah yang disampaikan oleh para kiai. Ini merupakan hal luar biasa yang kita peroleh dengan hadir dalam haul.

Memang, ngaji adalah aktivitas yang harus terus dilakukan santri sepanjang hidup. Meskipun sudah menjadi alumni bukan berarti ngaji berhenti. Kita seharusnya meneladani tindak lampah KH.M. Bisri Syansuri yang—sebagaimana dijelaskan KH. Marzuki Mustamar—yang tetap mengaji, mengaji, dan mengaji. Padahal beliau tokoh besar. Nasabnya juga luar biasa yang tersambung ke tokoh-tokoh besar. Meskipun demikian beliau tetap gigih mengaji.

Kita sebagai santri harus meneladani spirit mengaji beliau. Ngaji yang membuat hidup menjadi aji, berharga. Jika pun karena satu dan lain hal belum berkesempatan hadir secara langsung ke acara haul, menyimaknya secara online sesungguhnya juga merupakan aktualisasi mengaji.

Momentum hal penting artinya untuk mengenang kembali KH. M. Bisri Syansuri dan Nyai Hj. Nur Khodijah. Beliau adalah orang-orang besar. Orang-orang yang luar biasa.

Orang besar itu ditentukan oleh banyak faktor. KH. M. Bisri Syansuri menjadi tokoh besar karena: pertama, memiliki tinggalan yang terus hidup sepeninggal beliau. PP Mamba’ul Ma’arif ini dengan berbagai lembaga pendidikannya dan ribuan santri dan alumni yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan belahan dunia, merupakan bukti kebesaran beliau berdua. 

Kedua, kebesaran seseorang karena menulis atau ditulis. Sudah banyak yang menulis tentang KH.M. Bisri Syansuri. Agenda penting kita adalah menulis hal-ikhwal para masayikh dan Bu Nyai dari PP Denanyar yang sudah berpulang. Ada banyak teladan, tindak lampah beliau-beliau yang perlu diketahui oleh santri, alumni, dan masyarakat luas. Tulisan tentang para masayikh dan Bu Nyai ini penting karena zaman terus berjalan. Generasi terus berganti. Jika tidak ditulis, akan ada hal yang hilang karena tidak diketahui oleh generasi-generasi berikutnya.

 


Pengingat dan Pengikat

Haul merupakan menjadi pengingat dan pengikat bagi siapa saja, baik santri, alumni, maupun masyarakat umum. Pengingat bahwa setiap tanggal 1 Rajab kita diingatkan terhadap agenda haul yang dilaksanakan rutin setiap tahun. Pengikat dalam makna, setiap waktu haul, ada semacam dorongan yang kuat pada kita yang memiliki keterikatan dengan Pondok Denanyar untuk ngalap barakah dengan hadir ke pesantren ini.

Bisa mondok itu anugrah hidup yang luar biasa. Mondok itu ada yang direncanakan. Mondok yang direncanakan itu penting sekali sebagai bagian dari kesadaran untuk memberikan pendidikan yang terbaik. Namun ada juga yang mondok benar-benar karena takdir. Tidak pernah ada rencana. Itu yang saya alami.

Tahun 1991 saya tamat dari MTsN 2 Tulungagung. Saya kemudian mendaftar di MAN 1 Tulungagung. Suatu waktu, seorang kawan sesama alumni MTsN 2 Tulungagung datang ke rumah. Intinya ia mengajak untuk mondok. Saya sendiri baru haru itu mendengar nama pondoknya yaitu Pondok Pesantren Mamba’aul Ma’arif Denanyar Jombang. Singkat cerita, kami berdua pergi ke Denanyar. Mendaftar lalu mengajak dua orang kawan teman MTsN untuk juga mendaftar. Inilah saya sebut takdir mondok. Tanpa rencana saya mondok ke Denanyar.

Saya sangat bersyukur ditakdirkan oleh Allah Swt mendapatkan kesempatan untuk mondok. Ini pengalaman hidup dan perjalanan yang sangat luar biasa. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Intinya mondok itu kelihatannya biasa-biasa saja. Kenapa? Karena kita menjalaninya. Bagi yang tidak menjalani, mungkin luar biasa.

Memang setelah saya renungkan, mondok itu ya seperti itu. Anehnya, sekarang ini setelah lulus banyak alumni yang sukses. Alumni Denanyar banyak yang menjadi birokrat, ada yang menjadi Bupati, ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi politisi, ada yang menjadi kiai, pengacara, dan aneka profesi lainnya.

Kunci pentingnya adalah keikhlasan menjalani proses mondok. Para masayikh tidak sekadar mengajar tetapi juga ikhtiar lahir batin agar para santri dan alumninya sukses. Saya yakin itu.

Banyak juga alumni Denanyar yang menjadi guru besar. Saya kira sebagian besar kampus di Jawa ada dosen yang alumni Denanyar. Beberapa yang saya tahu bahkan sudah mendapatkan gelar guru besar. Tentu ini merupakan hal yang harus disyukuri.

Ada filosofi yang saya kira bagus untuk santri yang mondok, yaitu memposisikan diri sebagai wadah. Sebagai tempat kosong yang akan diisi dengan pengetahuan oleh para kiai dan guru. Filosofi ini penting agar saat mondok kita bisa menyerap ilmu dengan baik. Posisi sebagai orang kritis bisa dilakukan setelah mondok karena kritis itu perlu modal. Tidak asal kritis. Kritis tanpa modal namanya nyinyir.

Kita mondok itu belajar banyak hal. Pertama, belajar ilmu. Saya kebetulan hanya 3 tahun di Denanyar, yaitu saat duduk di bangku MAN. Tentu tiga tahun merupakan waktu yang singkat. Belum banyak yang saya pelajari. Namun saya merasa bahwa modal dari Denanyar sangat besar artinya ketika saya melaksanakan studi lanjut dan menempuh karir di dunia akademik.

Kedua, belajar tentang kehidupan. Belajar dan tinggal di pondok adalah belajar tentang kehidupan. Belajar tentang bagaimana beratnya bangun malam lalu shalat subuh berjamaah. Di sini ada aneka kisah unik. Ada santri yang sampai harus basah kuyub karena sulit dibangunkan. Ada banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan karena bisa mengorek rahasia umum yang telah sama-sama kita ketahui.

Ketiga, belajar saling menghargai. Ada ribuan santri yang tinggal di PP Mambaul Maarif ini. Dulu, zaman saya mondok, para santri berasal dari aneka suku, beragam wilayah, dan latar belakang. Kami hidup bersama. Dengan keunikan masing-masing, kami tinggal bersama. Tentu ada perbedaan. Di sinilah kami belajar saling menghargai.

Keempat, belajar tentang prinsip hidup. Di sinilah kami diajari untuk menjalankan ajaran agama. Di sini kami diajari tentang akhlak. Di sini kami diajari untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tentu bukan hal mudah. Proses menjadikan pembelajaran ini menjadi perilaku itu cukup berliku. Di pondok adalah saat menanam. Ada yang tumbuh subur, biasa, dan ada yang layu lalu mati. Begitu juga dengan prinsip hidup yang kami pelajari. Namun harus jujur diakui bahwa pondok ini telah memberikan banyak hal dalam kehidupan kami yang tidak bisa diungkapkan satu per satu.

Sebagai penutup, sebagai alumni saya ingin menyampaikan bahwa saat meninggalkan pondok pesantren ini, cukup kaki dan jasad kita yang pergi. Namun hati dan rasa kita tetap tersambung di pesantren ini. Semoga kita semua diakui sebagai santrinya Mbah KH. Bisri Syansuri. Aamiinn.

 

Tulungagung, 12 Januari 2024

6 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.