Kopi, Rekreasi, dan Literasi
Ngainun Naim
Hujan di luar masih turun dengan deras. Secangkir kopi
panas menemani. Sungguh suatu nikmat yang harus disyukuri.
Saya bukan pecandu kopi. Dulu saya minum kopi hanya kadang-kadang
saja saat bertemu kawan. Namun sejak sering bepergian dan kadang mendapatkan
oleh-oleh kopi, minum kopi menjadi kebiasaan. Bukan menjadi pecandu. Sekadar
minum pada saat tertentu saja, namun intensitasnya lebih sering dibandingkan
dulu.
Kopi yang sore ini saya seduh bermerk Babah Kacamata dari
Salatiga. Ketika pamit pulang usai mengisi acara yang diselenggarakan LP2M UIN
Salatiga di Hotel Laras Asri Salatiga, panitia memberikan oleh-oleh—di antaranya—kopi.
Menyeduhnya di sore ini merupakan wujud terima kasih dan syukur saya.
Saya baru saja sampai di rumah setelah sejak pagi pergi
ke Pantai Midodaren Tulungagung. Istri ikut acara Dharma Wanita. Saya dan dua
anak bermain di pantai.
Pagi hingga sekitar jam 13.00 suasana pantai cukup panas.
Setelah itu turun hujan sampai maghrib. Cukup deras dan hujannya merata sampai
saya sampai di rumah.
Ada beberapa catatan saya terkait pantai yang kini cukup
dipadati oleh pengunjung ini. Pertama, sarana kamar mandi perlu dikelola
secara baik. Pengunjung butuh kenyamanan. Berbayar pun asal wajar saya kira
tidak masalah sebagai konsekuensi fasilitas yang diberikan. Jumlahnya kurang
memadai. Dari jumlah yang ada, banyak yang kurang berfungsi secara baik.
Kedua, kebersihan perlu menjadi prioritas. Sampah bertebaran di mana-mana. Di pinggir pantai, di tempat parkir, dan nyaris di hampir semua tempat. Selain itu, rumput kurang terawat tumbuh di banyak tempat. Fasilitas untuk membuang sampah perlu diperbanyak. Pengunjung perlu dibiasakan untuk tidak asal buang sampah.
Kita memang belum memiliki tradisi disiplin dan
bertanggungjawab terhadap sampah. Cara yang paling strategis adalah menciptakan
mekanisme agar tidak membuang sampah seenaknya. Bisa penyediaan banyak tempat
sampah, flyer tentang membawa bungkus untuk sampah, atau banyak cara lain yang
perlu dipikirkan agar pantai tetap bersih dan menarik.
Rintik hujan masih terdengar. Adik Leiz sedang saya
biasakan menulis satu dua kalimat dari perjalanan siang ini. Sekadar
membiasakan. Siapa tahu suatu saat semakin akrab dengan dunia literasi. Semoga.
Trenggalek, 7-1-2024
Catatan yang menarik, termasuk tentang membiasakan Adik Leiz menulis.
BalasHapusTerima kasih Abah Emcho
HapusTerima kasih wisata dengan tips menanggulangi sampah yang sampai sekarang kurang perhatian individu-individu dan pengelola wisata. Dan.yang menarik membiasakan sejak.dini Adik Leiz untuk menulis sebagai bekal LITERASI.
BalasHapusTerima kasih Pak Haji
HapusAdik Leiz sedang serius belajar menulis, keren....
BalasHapusMatur nuwun Pak
Hapussangat kontributif, sering tulisan ringan seperti ini lebih mudah diterima oleh masyarakat. sukses dan sehat selalu prof.
BalasHapusAamiinnnn. Terima kasih.
HapusMinggu lalu waktu saya berkunjung ke rumah besan di Ponorogo hampir saya berkunjung ke pantai ini, Mas.
BalasHapusKarena sesuatu hal akhirnya tidak jadi, dan ubah haluan menunjungi telaga Sarangan dan esoknya ke telaga Ngebel.
Saya penyuka kopi. Jadi penasaran dengan kopi Babah Kaca Mata ini...
Salam,
Salam. Oh rumah besan di Ponorogo ya Pak. Jika suatu saat berkunjung lagi, mohon kontak. Siapa tahu bisa bersua.
HapusRupanya masalah sampah tdk hanya di pantai Gemah. Pantai Widodaren juga, ya Pak.
BalasHapusBetul
Hapus