Rumah Adat Banjar

Januari 06, 2024



Ngainun Naim

 

 

Rumah adat itu estetik. Ada nuansa kesederhanaan yang mengandung kesejukan. Menurut saya, rumah adat bukan hanya identitas tetapi penanda peradaban.

 

Di kampung tempat saya tinggal, masih ada rumah adat yang estetis. Namanya joglo, sinom, dan limas. Saya sendiri tidak tahu secara persis perbedaan antara satu dengan lainnya.

 

Saya mengagumi rumah adat semacam itu. Rumahnya besar, halamannya luas, dan rasanya tidak ketinggalan zaman. Meskipun beberapa bagian direnovasi sesuai kebutuhan namun tetap eksotik.

 


Memang kini jumlahnya semakin sedikit. Joglo atau limas itu lazimnya dimiliki oleh orang kaya. Rakyat umumnya tidak bisa memiliki karena biaya yang tidak sedikit dan ketersediaan lahan.

 

Jumlah penduduk semakin bertambah tetapi jumlah lahan tetap. Dampaknya, rumah mengecil. Lahan sempit pun dimanfaatkan untuk perumahan. Rumah adat dengan lahan luas semakin tersisihkan.

 

Jika pun masih ada, ia justru menjadi cagar budaya. Peninggalan bersejarah yang penting untuk dilestarikan. Setidaknya menjadi media penyambung budaya dan juga pengetahuan antar generasi.

 


Saya senang sekali ketika Datuk Rasyid, seorang kolega di Banjarmasin, tetiba mengantarkan kami ke rumah adat Banjar Bubungan Teluk Selong Ulu.

 

Rumah adat ini eksotis dan teduh. Berada di lahan yang cukup luas dengan dua bangunan rumah yang didominasi kayu. Bagian bawah masih rawa. Jadi seperti bangunan di atas air. Saya bayangkan betapa kuatnya kayu penyangga yang digunakan. Kemungkinan besar kayu ulin.

 

Datuk Rasyid memandu kami menelusuri jalanan menuju rumah. Sungguh eksotik. Kekuatan naturalnya sangat kuat. Rasanya seperti berada di sebuah masa lalu.

 


Aksi demi aksi dilakukan. Gambar demi gambar diambil. Bagian demi bagian bangunan dimasuki.

 

Tuan rumah yang dalam kondisi kurang sehat menemani. Namanya Hj. Fauziah. Beliau banyak berbincang dengan Bu Laila, teman satu rombongan kami. Ternyata banyak famili Hj. Fauziah yang tinggal di Kampung Banjar Tulungagung. Profesi mereka adalah pedagang emas. Beberapa nama disebut. Ada yang nama cukup akrab dengan toko emas yang cukup besar.

 

Saya keluar dari rumah. Jalanan di samping rumah saya telusuri. Saya memutar mengelilingi rumah lalu mengambil gambar.

 


Langkah ini saya lakukan agar memiliki dokumentasi. Dalam konteks dokumen, foto dan narasi sama pentingnya. Sama-sama saling menguatkan. Minimal sebagai dokumen personal.

 

Hari semakin sore. Tubuh mulai lelah. Jarum jam menunjukan angka 15.20. Saya lihat kawan-kawan juga sudah keluar rumah. Kami pun segera berjalan menuju mobil. Masih ada agenda yang harus dikerjakan.

 

Bandara Internasional Syamsudin Noor Banjarmasin. 16.12.2023

6 komentar:

  1. Prof..yang sangat luar biasa 👍👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanya catatan sederhana. Terima kasih atas apresiasinya

      Hapus
  2. Mengesankan Rumah Adat sebagai warisan budaya luhur dan estetika
    Matur nuwun Prof. Naim

    BalasHapus
  3. Tulisan rumah adat yang mengesankan. Mantap

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.