Hidup yang Saling Menghidupkan, Bukan Saling Mematikan
Ngainun Naim
Forum ilmiah seperti AICIS (Annual International
Conference on Islamic Studies) memiliki makna penting bagi persemaian ide,
gagasan, dan pemikiran. Pada forum semacam ini saya bisa menyimak bagaimana
para ahli dan tokoh menyampaikan pemikiran dan hasil penelitian mereka.
Kesempatan semacam ini sangat mahal dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk
menyerap informasi sebanyak mungkin. Hal ini tentu bermanfaat secara personal maupun secara kelembagaan di mana saya bekerja, yaitu UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung atau lebih dikenal sebagai UIN SATU.
Pada hari kedua AICIS ke-23 yang dilaksanakan di Kampus 3
UIN Walisongo Semarang (2 Februari 2024) dilaksanakan sesi yang bertajuk ”Asean
Religious Leaders Summit”. Hadir pada sesi ini para tokoh agama dari
negara-negara ASEAN. Tokoh-tokoh agama yang hadir dalam perhelatan tersebut
yakni Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen (PBNU, Indonesia), Prof. Dr. Hilman Latif (PP
Muhammadiyah, Indonesia), Philip Kuntjoro Widjaja (Indonesia), Wisnu Bawa
Tenaya (Indonesia), Vanh Keobundit (Laos), Yon Seng Yeath (Kamboja), Bounthavy
Phonethasin (Laos), YB Datuk Dr Hasan bin Bahrom (Malaysia), Phra Dr
Anilman Dhammasakiyo (Thailand), Pendeta Gomar Gultom (Indonesia), Romo
Hery Wibowo (Indonesia), Ws Andi Gunawan (Indonesia), A Elga J Sarapung
(Indonesia), dan Bishop Pablo Virgilio Siongco David (Philippines).
Realitas kehidupan sekarang ini memang tengah menghadapi
persoalan yang tidak ringan. Aneka persoalan kemanusiaan terjadi di banyak
tempat, mulai level lokal hingga global. Keprihatinan telah disuarakan oleh
berbagai kalangan. Usaha-usaha untuk menyelesaikan persoalan juga telah
dilakukan. Namun realitas belum banyak berubah. Terus saja berlangsung tragedi
kemanusiaan dalam berbagai bentuk di banyak tempat.
Dalam konteks semacam ini kehadiran para agamawan sangat
penting. Pikiran-pikiran mereka bisa menjadi referensi untuk memberikan
perspektif mencerahkan dalam menghadapi persoalan yang ada.
Salah seorang agamawan yang menjadi narasumber adalah
Elga Sarapung. Aktivis dari DIAN/Interfidei Yogyakarta ini menyampaikan materi
yang sangat substansial. Ia menjelaskan tentang pentingnya membangun jembatan
dari perbedaan yang ada.
Perbedaan itu telah ada dan menjadi bagian dari
kehidupan. Ia tidak mungkin ditolak, apalagi diseragamkan. Elga menegaskan
bahwa aspek yang penting dilakukan adalah menjembatani perbedaan. Namun itu
saja belum cukup. Aspek yang juga cukup substansial adalah kemauan untuk terbuka
terhadap agama dan kepercayaan yang ada. Hal semacam ini menjadi kunci penting
dalam membangun perdamaian dalam makna yang substantif.
Perdamaian memang mudah diucapkan tetapi realitas belum
sejalan dengan idealitas. Konflik dan kekerasan masih terus terjadi, baik pada
level lokal, nasional, hingga global. Banyak negara yang berbicara tentang perdamaan
tapi mereka mencari perdamaian lewat
cara yang merusak kehidupan seperti konflik dan perang. Ini tentu merupakan
sebuah paradoks. Analisis Elga menyebutkan bahwa kondisi ini terjadi
disebabkan—salah satunya—karena pemimpin negara dan agama belum memiliki
integritas yang benar-benar untuk hidup dan kehidupan yang menghidupkan.
Hidup itu untuk saling menghidupkan, bukan saling
mematikan. Ini artinya perlu pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
berlandaskan pada terwujudnya perdamaian. Usaha-usaha menuju terbentuknya perdamaian
harus terus disemai secara konsisten.
Tantangan besar sekarang ini adalah uang. Hasil riset
Elga Sarapung menunjukkan bahwa sekarang ini banyak yang gampang dimainkan
dengan uang. Ia memberikan contoh tentang human trafficking yang kini menjadi
kejahatan kemanusiaan luar biasa di Indonesia. Ini fakta, bukan asumsi.
Data-data tentang human trafficking bisa ditemukan di daerah-daerah yang
warganya banyak bekerja ke luar negeri karena kemiskinan yang mereka alami.
Pada bagian akhir, Elga Sarapung mengajak kalangan PTKIN
melakukan refleksi bersama terkait kontribusi PTKIN terhadap kemanusiaan. Salah
satu yang bisa dilakukan adalah mendesain program KKN yang menyentuh
aspek-aspek kemanusiaan. Langkah-langkah praktis melalui KKN cukup efektif
dalam konteks kemanusiaan jika dilaksanakan secara serius.
Pembicara selanjutnya adalah Sekretaris Eksekutif Bidang
Keadilan dan Perdamaian (KP) PGI, Pdt. Henrek Lokra. Beliau menyerukan tentang
masa depan ideal bagi manusia. Masa depan semacam ini hanya mungkin terbangun
berdasarkan keadilan. Kekuatan militer tidak akan menciptakan kehidupan
harmonis dalam makna yang sesungguhnya.
Hal ini berlaku tidak hanya pada level lokal atau
nasional tetapi juga internasional. Ini merupakan sesuatu yang universal. Inti
dari perdamaian tersebut adalah kesetaraan dan keadilan serta pemenuhan Hak
Asasi Manusia.
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa dari sisi kronologi
waktu, tahun 1970-1980 merupakan masa kesadaran terhadap justice, peace,
dan integration yang terbangun dalam pergumulan gereja-gereja di dunia.
Ini kemudian dibuat dalam general document di Vancouver Canada tahun
1983 yang kemudian menjadi visi gereja-gereja di dunia.
Jumlah penduduk adalah petunjuk demografis yang tidak
boleh dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Sekarang merupakan waktu
konsolidasi bersama untuk terciptanya kehidupan yang berkeadilan. Ini penting
untuk terus diperjuangkan agar kehidupan harmonis terus terjadi di Indonesia
yang multikultural.
Tokoh agama Khonghuchu, Andi Gunawan, menjelaskan bahwa
beragama sekarang ini menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Tantangan
tersebut adalah tantangan dari dunia nyata dan tantangan dari dunia maya.
Karakter kedua tantangan ini tidak sama. Oleh karena itu perlu pemahaman dan
analisis secara kritis agar respon yang diberikan bisa menyelesaikan persoalan
yang ada.
Aspek yang juga disoroti oleh Andi Gunawan adalah
fenomena munculnya rohaniawan dadakan. Mereka menjadi rohaniawan karena
dukungan media sosial, bukan karena proses natural. Implikasinya, peranan
mereka berbeda dengan rohaniawan yang ditempa oleh proses perjuangan.
Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Dr.
KH. Abdul Ghofur Maimoen fokus pada persoalan yang tengah dihadapi oleh
masyarakat. Pada kondisi semacam ini, ulama memainkan peranan yang penting. Tugas
ulama adalah menemani masyarakat untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah
yang mereka hadapi.
Namun realitas menunjukkan bahwa persoalan kadang justru
berasal dari tokoh masyarakat. Bukannya menemani untuk menemukan solusi tetapi
justru menjadi biang masalah. Tentu ini merupakan sebuah hal yang bertentangan
dengan posisi sebagai tokoh masyarakat atau agamawan.
Dalam kehidupan masyarakat yang beragam sekarang ini,
konflik mudah terjadi. Gus Ghofur mengajak forum untuk mengingat bagaimana NU
menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1984. Setelah momentum
tersebut, PBNU melahirkan trilogi ukhuwah yang sangat penting dalam
konteks kehidupan, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah
basyariah.
Tulungagung, 7 Februari 2024
Sangat bermanfaat Prof. Saya ingat :
BalasHapus"rip iku urup"
Terima kasih Pak Haji
HapusLuar biasa! Terimakasih Pak Prof! Sungguh mencerahkan wawasan!
BalasHapusAlhamdulillah
HapusSungguh mencerahkan! Htr nuhun Pak Prof!
BalasHapusAlhamdulillah. Sangat bermanfaat tulisan Prof. Terima kasih. Insya Allah Indonesia akan damai jika warganya saling menghargai perbedaan dan menghidupkan. Bukan saling menjatuhkan. (Abdisita)
BalasHapusTerima kasih Bu atas kunjungannya
Hapus