Hidup yang Saling Menghidupkan, Bukan Saling Mematikan

Februari 16, 2024


Ngainun Naim

 

Forum ilmiah seperti AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies) memiliki makna penting bagi persemaian ide, gagasan, dan pemikiran. Pada forum semacam ini saya bisa menyimak bagaimana para ahli dan tokoh menyampaikan pemikiran dan hasil penelitian mereka. Kesempatan semacam ini sangat mahal dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menyerap informasi sebanyak mungkin. Hal ini tentu bermanfaat secara personal maupun secara kelembagaan di mana saya bekerja, yaitu UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung atau lebih dikenal sebagai UIN SATU.

Pada hari kedua AICIS ke-23 yang dilaksanakan di Kampus 3 UIN Walisongo Semarang (2 Februari 2024) dilaksanakan sesi yang bertajuk ”Asean Religious Leaders Summit”. Hadir pada sesi ini para tokoh agama dari negara-negara ASEAN. Tokoh-tokoh agama yang hadir dalam perhelatan tersebut yakni Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen (PBNU, Indonesia), Prof. Dr. Hilman Latif (PP Muhammadiyah, Indonesia), Philip Kuntjoro Widjaja (Indonesia), Wisnu Bawa Tenaya (Indonesia), Vanh Keobundit (Laos), Yon Seng Yeath (Kamboja), Bounthavy Phonethasin (Laos), YB Datuk Dr Hasan bin Bahrom (Malaysia), Phra Dr Anilman Dhammasakiyo (Thailand), Pendeta Gomar Gultom (Indonesia), Romo Hery Wibowo (Indonesia), Ws Andi Gunawan (Indonesia), A Elga J Sarapung (Indonesia), dan Bishop Pablo Virgilio Siongco David (Philippines).

Realitas kehidupan sekarang ini memang tengah menghadapi persoalan yang tidak ringan. Aneka persoalan kemanusiaan terjadi di banyak tempat, mulai level lokal hingga global. Keprihatinan telah disuarakan oleh berbagai kalangan. Usaha-usaha untuk menyelesaikan persoalan juga telah dilakukan. Namun realitas belum banyak berubah. Terus saja berlangsung tragedi kemanusiaan dalam berbagai bentuk di banyak tempat.

Dalam konteks semacam ini kehadiran para agamawan sangat penting. Pikiran-pikiran mereka bisa menjadi referensi untuk memberikan perspektif mencerahkan dalam menghadapi persoalan yang ada.

Salah seorang agamawan yang menjadi narasumber adalah Elga Sarapung. Aktivis dari DIAN/Interfidei Yogyakarta ini menyampaikan materi yang sangat substansial. Ia menjelaskan tentang pentingnya membangun jembatan dari perbedaan yang ada.

Perbedaan itu telah ada dan menjadi bagian dari kehidupan. Ia tidak mungkin ditolak, apalagi diseragamkan. Elga menegaskan bahwa aspek yang penting dilakukan adalah menjembatani perbedaan. Namun itu saja belum cukup. Aspek yang juga cukup substansial adalah kemauan untuk terbuka terhadap agama dan kepercayaan yang ada. Hal semacam ini menjadi kunci penting dalam membangun perdamaian dalam makna yang substantif.

Perdamaian memang mudah diucapkan tetapi realitas belum sejalan dengan idealitas. Konflik dan kekerasan masih terus terjadi, baik pada level lokal, nasional, hingga global. Banyak negara yang berbicara tentang perdamaan tapi  mereka mencari perdamaian lewat cara yang merusak kehidupan seperti konflik dan perang. Ini tentu merupakan sebuah paradoks. Analisis Elga menyebutkan bahwa kondisi ini terjadi disebabkan—salah satunya—karena pemimpin negara dan agama belum memiliki integritas yang benar-benar untuk hidup dan kehidupan yang menghidupkan.

Hidup itu untuk saling menghidupkan, bukan saling mematikan. Ini artinya perlu pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang berlandaskan pada terwujudnya perdamaian. Usaha-usaha menuju terbentuknya perdamaian harus terus disemai secara konsisten.

Tantangan besar sekarang ini adalah uang. Hasil riset Elga Sarapung menunjukkan bahwa sekarang ini banyak yang gampang dimainkan dengan uang. Ia memberikan contoh tentang human trafficking yang kini menjadi kejahatan kemanusiaan luar biasa di Indonesia. Ini fakta, bukan asumsi. Data-data tentang human trafficking bisa ditemukan di daerah-daerah yang warganya banyak bekerja ke luar negeri karena kemiskinan yang mereka alami.

Pada bagian akhir, Elga Sarapung mengajak kalangan PTKIN melakukan refleksi bersama terkait kontribusi PTKIN terhadap kemanusiaan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mendesain program KKN yang menyentuh aspek-aspek kemanusiaan. Langkah-langkah praktis melalui KKN cukup efektif dalam konteks kemanusiaan jika dilaksanakan secara serius.

Pembicara selanjutnya adalah Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) PGI, Pdt. Henrek Lokra. Beliau menyerukan tentang masa depan ideal bagi manusia. Masa depan semacam ini hanya mungkin terbangun berdasarkan keadilan. Kekuatan militer tidak akan menciptakan kehidupan harmonis dalam makna yang sesungguhnya.

Hal ini berlaku tidak hanya pada level lokal atau nasional tetapi juga internasional. Ini merupakan sesuatu yang universal. Inti dari perdamaian tersebut adalah kesetaraan dan keadilan serta pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa dari sisi kronologi waktu, tahun 1970-1980 merupakan masa kesadaran terhadap justice, peace, dan integration yang terbangun dalam pergumulan gereja-gereja di dunia. Ini kemudian dibuat dalam general document di Vancouver Canada tahun 1983 yang kemudian menjadi visi gereja-gereja di dunia.

Jumlah penduduk adalah petunjuk demografis yang tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Sekarang merupakan waktu konsolidasi bersama untuk terciptanya kehidupan yang berkeadilan. Ini penting untuk terus diperjuangkan agar kehidupan harmonis terus terjadi di Indonesia yang multikultural.

Tokoh agama Khonghuchu, Andi Gunawan, menjelaskan bahwa beragama sekarang ini menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Tantangan tersebut adalah tantangan dari dunia nyata dan tantangan dari dunia maya. Karakter kedua tantangan ini tidak sama. Oleh karena itu perlu pemahaman dan analisis secara kritis agar respon yang diberikan bisa menyelesaikan persoalan yang ada.

Aspek yang juga disoroti oleh Andi Gunawan adalah fenomena munculnya rohaniawan dadakan. Mereka menjadi rohaniawan karena dukungan media sosial, bukan karena proses natural. Implikasinya, peranan mereka berbeda dengan rohaniawan yang ditempa oleh proses perjuangan.

Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen fokus pada persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Pada kondisi semacam ini, ulama memainkan peranan yang penting. Tugas ulama adalah menemani masyarakat untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Namun realitas menunjukkan bahwa persoalan kadang justru berasal dari tokoh masyarakat. Bukannya menemani untuk menemukan solusi tetapi justru menjadi biang masalah. Tentu ini merupakan sebuah hal yang bertentangan dengan posisi sebagai tokoh masyarakat atau agamawan.

Dalam kehidupan masyarakat yang beragam sekarang ini, konflik mudah terjadi. Gus Ghofur mengajak forum untuk mengingat bagaimana NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1984. Setelah momentum tersebut, PBNU melahirkan trilogi ukhuwah yang sangat penting dalam konteks kehidupan, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariah.

 

Tulungagung, 7 Februari 2024

7 komentar:

  1. Sangat bermanfaat Prof. Saya ingat :

    "rip iku urup"

    BalasHapus
  2. Luar biasa! Terimakasih Pak Prof! Sungguh mencerahkan wawasan!

    BalasHapus
  3. Sungguh mencerahkan! Htr nuhun Pak Prof!

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah. Sangat bermanfaat tulisan Prof. Terima kasih. Insya Allah Indonesia akan damai jika warganya saling menghargai perbedaan dan menghidupkan. Bukan saling menjatuhkan. (Abdisita)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.