Makna di Balik Fenomena
Ngainun Naim
Manusia itu makhluk pencari makna. Fenomena dan realitas
yang ada bukan sekadar dilihat dari penampilan fisik material semata. Ada
dimensi makna yang bisa diidentifikasi, digali, dan kemudian direkonstruksi
sebagai bahan untuk memperkaya makna kehidupan.
Hidup ini semakin kaya ketika kita menyediakan diri untuk
merefleksikan aneka fenomena. Ini yang membuat fenomena tidak berlalu begitu
saja.
Saya belajar tentang hal semacam ini dari bacaan dan juga
interaksi dengan banyak orang. Tentu belum banyak yang bisa saya lakukan.
Sepanjang ada kesempatan saya berusaha melakukannya.
Pada 22 November 2023 saya bersua dengan Ibu Dr. Daswatia
di Makassar. Setiap pertemuan, bagi saya, bukan sebatas pertemuan. Pertemuan juga
menjadi media untuk mendapatkan ilmu. Saya menyimak setiap poin penting,
mengingatnya, mencatatnya, dan menjadikan sebagai bahan untuk muhasabah.
Ada satu kata yang disebut dalam pertemuan ini, yaitu "memantaskan
diri". Kata ini terdengar sederhana namun memiliki makna mendalam buat
saya.
Beberapa kali saya mendengarkan kata ini. Namun konteks
maknanya terasa berbeda saat berbincang dengan Bu Dr. Daswatia.
Kata ini, sejauh yang saya pahami, mengandung makna yang
saling berkaitan. Misalnya, jika kita memiliki mobil maka harus dirawat secara
baik. Mencuci mobil saat kotor, misalnya, merupakan aktualisasi dari rasa
syukur karena telah memiliki mobil.
Merawat mobil itu aktualisasi dari "memantaskan
diri". Jika diberi rezeki berupa mobil tapi tidak mau merawatnya maka itu
bukan hal yang baik. Jika kita merawatnya secara baik maka Allah akan
memberinya yang lebih baik. Itu bagian dari konsekuensi dari ikhtiar
"memantaskan diri".
Kata dan makna "memantaskan diri" ini, saya
kira, sangat luas. Anugrah hidup harus kita syukuri, apa pun bentuknya.
Kata ”memantaskan diri” ini menjelma menjadi semesta
hikmah. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Nadirsyah Hosen dalam buku Mari
Bicara Iman (Jakarta: Zaman, 2011), hikmah itu di zaman sekarang tidak
tersembunyi d dalam gunung. Ia ada dan hadir dalam kehidupan kita. Ia ada di sekeliling
kita, hadir pada tangan yang menengadah, hadir dalam fenomena yang kita temui
dalam kehidupan. Kuncinya adalah kemauan untuk membuka pikiran dan hati.
Tulungagung, 17 Februari 2024
Terima kasih Prof. Naim. Kata memantaskan diri menurut saya sangat penting. Krn merupakan optimisme, bahwa kita yakin bisa dengan berkeyakinan bahwa Allah itu Maha kaya, Maha pemberi bagi hamba-Nya yang sungguh-sungguh berihtiyar untyk mencapainya.
BalasHapusTerima kasih Pak Haji
Hapus