Makna di Balik Fenomena

Februari 17, 2024



Ngainun Naim

 

Manusia itu makhluk pencari makna. Fenomena dan realitas yang ada bukan sekadar dilihat dari penampilan fisik material semata. Ada dimensi makna yang bisa diidentifikasi, digali, dan kemudian direkonstruksi sebagai bahan untuk memperkaya makna kehidupan.

 

Hidup ini semakin kaya ketika kita menyediakan diri untuk merefleksikan aneka fenomena. Ini yang membuat fenomena tidak berlalu begitu saja.

 

Saya belajar tentang hal semacam ini dari bacaan dan juga interaksi dengan banyak orang. Tentu belum banyak yang bisa saya lakukan. Sepanjang ada kesempatan saya berusaha melakukannya.

 

Pada 22 November 2023 saya bersua dengan Ibu Dr. Daswatia di Makassar. Setiap pertemuan, bagi saya, bukan sebatas pertemuan. Pertemuan juga menjadi media untuk mendapatkan ilmu. Saya menyimak setiap poin penting, mengingatnya, mencatatnya, dan menjadikan sebagai bahan untuk muhasabah.


Ada satu kata yang disebut dalam pertemuan ini, yaitu "memantaskan diri". Kata ini terdengar sederhana namun memiliki makna mendalam buat saya.


Beberapa kali saya mendengarkan kata ini. Namun konteks maknanya terasa berbeda saat berbincang dengan Bu Dr. Daswatia.


Kata ini, sejauh yang saya pahami, mengandung makna yang saling berkaitan. Misalnya, jika kita memiliki mobil maka harus dirawat secara baik. Mencuci mobil saat kotor, misalnya, merupakan aktualisasi dari rasa syukur karena telah memiliki mobil.

 

Merawat mobil itu aktualisasi dari "memantaskan diri". Jika diberi rezeki berupa mobil tapi tidak mau merawatnya maka itu bukan hal yang baik. Jika kita merawatnya secara baik maka Allah akan memberinya yang lebih baik. Itu bagian dari konsekuensi dari ikhtiar "memantaskan diri".

 

Kata dan makna "memantaskan diri" ini, saya kira, sangat luas. Anugrah hidup harus kita syukuri, apa pun bentuknya.


Kata ”memantaskan diri” ini menjelma menjadi semesta hikmah. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Nadirsyah Hosen dalam buku Mari Bicara Iman (Jakarta: Zaman, 2011), hikmah itu di zaman sekarang tidak tersembunyi d dalam gunung. Ia ada dan hadir dalam kehidupan kita. Ia ada di sekeliling kita, hadir pada tangan yang menengadah, hadir dalam fenomena yang kita temui dalam kehidupan. Kuncinya adalah kemauan untuk membuka pikiran dan hati.

 

Tulungagung, 17 Februari 2024

 

2 komentar:

  1. Terima kasih Prof. Naim. Kata memantaskan diri menurut saya sangat penting. Krn merupakan optimisme, bahwa kita yakin bisa dengan berkeyakinan bahwa Allah itu Maha kaya, Maha pemberi bagi hamba-Nya yang sungguh-sungguh berihtiyar untyk mencapainya.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.