Membaca, Menulis, dan Perjuangan
Ngainun Naim
Menjadi
seorang penulis haruslah memiliki tradisi membaca. Tanpa membaca, menulis tidak
akan menghasilkan tulisan yang bagus. Tulisan mungkin bisa selesai dibuat
tetapi kualitas kurang bagus.
Ada lagi
alasan sederhananya, yaitu tulisan itu dibuat untuk dibaca. Tentu merupakan hal
aneh ketika penulisnya tidak suka membaca. Bagaimana logikanya orang yang tidak
suka membaca mengharapkan orang lain untuk membaca karyanya?
Saya
merasa sangat bersyukur ditakdirkan menjadi orang yang menyukai aktivitas
membaca. Padahal orang tua saya bukan pembaca buku yang tekun. Bapak dan Ibuk adalah
orang sederhana namun memiliki komitmen kuat untuk memberikan pendidikan kepada
kami anak-anaknya.
Sebagai
seorang guru PNS Departemen Agama, Bapak melanggan majalah Mimbar Pembangunan
Agama (MPA). Majalah yang terbit sebulan sekali ini menjadi benih awal kesukaan
saya pada bacaan. Setiap majalah datang,
saya lalu membaca secara cermat. Memang tidak semua saya pahami secara baik,
tetapi kebiasaan membaca ini menjadi jejak awal kesukaan saya pada membaca.
Membaca
inilah yang dalam perkembangannya menjadi pembangun mimpi saya untuk bisa
menjadi seorang penulis. Saya sebut mimpi karena belum tahu jalan untuk
mewujudkannya. Samar dalam bayangan jika suatu saat saya ingin bisa menulis.
Perjuangan
untuk bisa menghasilkan karya itu sungguh panjang dan berliku. Menulis itu
tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Jika ada yang menyatakan bahwa menulis itu
mudah maka itu benar, tetapi harus jelas siapa yang dimaksud dan jenis tulisan
apa yang dihasilkan.
Saya
biasa menulis esai dan catatan di blog. Rata-rata saya merasa mudah untuk
mengerjakannya. Namun kondisinya berbeda saat saya harus menulis artikel
jurnal. Saya merasakan ada saja kesulitan yang harus saya hadapi. Tidak jarang
satu artikel baru tuntas setelah mengendap berbulan-bulan.
Ketika
merintis tradisi menulis, satu artikel tiga halaman baru bisa selesai sekian
minggu. Itu pun kualitasnya juga jauh dari harapan. Wajar jika setiap kali saya
kirim ke redaksi koran tidak ada satu pun yang lolos dan layak muat.
Puluhan
kali artikel saya kirim tanpa hasil. Saya mulai belajar menulis dan mengirimkan
artikel pada tahun 1994. Artikel pertama saya baru dimuat pada 22 Oktober 1996.
Sebuah waktu yang tidak pendek tetapi saya cukup menikmati prosesnya.
Sekali
dimuat bukan berarti berikutnya langsung dimuat. Tetap saja butuh perjuangan
dan usaha keras. Gagal dan gagal masih terus menyapa. Namun, entahlah, saya kok
senang-senang saja menulis. Saya tetiba teringat pernyataan Prof. Dr.
Nurcholish Madjid bahwa harapan adalah energi hidup. Orang yang memiliki
harapan akan selalu memiliki energi untuk mencapai tujuan tertentu. Tanpa
harapan, hidup hakikatnya sudah selesai.
Bagi
saya yang menyukai menulis, harapan itu adalah dimuatnya artikel. Saya selalu
merasakan sensasi yang tidak bisa diungkapkan setiap kali membaca artikel saya
yang terbit di koran, majalah, buletin, atau jurnal. Padahal saya tahu isinya
nyaris sama dengan yang saya tulis.
Tapi ini
memang soal rasa yang tidak bisa dinilai dengan rasio. Rasa itu wilayah berbeda
yang hanya yang mengalami saja yang bisa merasakan. Namun bagaimana rasa itu,
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jika pun diungkapkan, ia tidak bisa
merepresentasikan rasa secara menyeluruh.
Benar sekali Prof., ketika tulisan kita bisa dimuat atau naskah kita lolos seleksi... wah sensasinya itu lhoo... terlampau miskin kata untuk mendeskripsikannya... hehe
BalasHapusSip
HapusInspiratif
BalasHapusTerima kasih
HapusAda lagi alasan sederhananya, yaitu tulisan itu dibuat untuk dibaca. Tentu merupakan hal aneh ketika penulisnya tidak suka membaca. Bagaimana logikanya orang yang tidak suka membaca mengharapkan orang lain untuk membaca karyanya?
BalasHapusKalimat di atas rasanya seperti membuat tamparan kecil di wajah saya. Sebuah tulisan reflektif buat saya sebagai pembaca setia tulisan prof Ngainun. Kereen (Makhrus)
Terima kasih Pak Makhrus
HapusMantab Prof. Naim terima kasih terus menginspirasi
BalasHapusTerima kasih Pak Haji
HapusLuar biasa. Sebuah perjuangan panjang, dan kini saatnya memetik buah dari proses panjang tersebut
BalasHapusTerima kasih Pak Pri
Hapus