Membaca, Menulis, dan Perjuangan

Maret 20, 2024



Ngainun Naim

 

Menjadi seorang penulis haruslah memiliki tradisi membaca. Tanpa membaca, menulis tidak akan menghasilkan tulisan yang bagus. Tulisan mungkin bisa selesai dibuat tetapi kualitas kurang bagus.

Ada lagi alasan sederhananya, yaitu tulisan itu dibuat untuk dibaca. Tentu merupakan hal aneh ketika penulisnya tidak suka membaca. Bagaimana logikanya orang yang tidak suka membaca mengharapkan orang lain untuk membaca karyanya?

Saya merasa sangat bersyukur ditakdirkan menjadi orang yang menyukai aktivitas membaca. Padahal orang tua saya bukan pembaca buku yang tekun. Bapak dan Ibuk adalah orang sederhana namun memiliki komitmen kuat untuk memberikan pendidikan kepada kami anak-anaknya.

Sebagai seorang guru PNS Departemen Agama, Bapak melanggan majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA). Majalah yang terbit sebulan sekali ini menjadi benih awal kesukaan saya pada bacaan. Setiap majalah datang, saya lalu membaca secara cermat. Memang tidak semua saya pahami secara baik, tetapi kebiasaan membaca ini menjadi jejak awal kesukaan saya pada membaca.

Membaca inilah yang dalam perkembangannya menjadi pembangun mimpi saya untuk bisa menjadi seorang penulis. Saya sebut mimpi karena belum tahu jalan untuk mewujudkannya. Samar dalam bayangan jika suatu saat saya ingin bisa menulis.

Perjuangan untuk bisa menghasilkan karya itu sungguh panjang dan berliku. Menulis itu tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Jika ada yang menyatakan bahwa menulis itu mudah maka itu benar, tetapi harus jelas siapa yang dimaksud dan jenis tulisan apa yang dihasilkan.

Saya biasa menulis esai dan catatan di blog. Rata-rata saya merasa mudah untuk mengerjakannya. Namun kondisinya berbeda saat saya harus menulis artikel jurnal. Saya merasakan ada saja kesulitan yang harus saya hadapi. Tidak jarang satu artikel baru tuntas setelah mengendap berbulan-bulan.

Ketika merintis tradisi menulis, satu artikel tiga halaman baru bisa selesai sekian minggu. Itu pun kualitasnya juga jauh dari harapan. Wajar jika setiap kali saya kirim ke redaksi koran tidak ada satu pun yang lolos dan layak muat.

Puluhan kali artikel saya kirim tanpa hasil. Saya mulai belajar menulis dan mengirimkan artikel pada tahun 1994. Artikel pertama saya baru dimuat pada 22 Oktober 1996. Sebuah waktu yang tidak pendek tetapi saya cukup menikmati prosesnya.

Sekali dimuat bukan berarti berikutnya langsung dimuat. Tetap saja butuh perjuangan dan usaha keras. Gagal dan gagal masih terus menyapa. Namun, entahlah, saya kok senang-senang saja menulis. Saya tetiba teringat pernyataan Prof. Dr. Nurcholish Madjid bahwa harapan adalah energi hidup. Orang yang memiliki harapan akan selalu memiliki energi untuk mencapai tujuan tertentu. Tanpa harapan, hidup hakikatnya sudah selesai.

Bagi saya yang menyukai menulis, harapan itu adalah dimuatnya artikel. Saya selalu merasakan sensasi yang tidak bisa diungkapkan setiap kali membaca artikel saya yang terbit di koran, majalah, buletin, atau jurnal. Padahal saya tahu isinya nyaris sama dengan yang saya tulis.

Tapi ini memang soal rasa yang tidak bisa dinilai dengan rasio. Rasa itu wilayah berbeda yang hanya yang mengalami saja yang bisa merasakan. Namun bagaimana rasa itu, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jika pun diungkapkan, ia tidak bisa merepresentasikan rasa secara menyeluruh.

 

10 komentar:

  1. Benar sekali Prof., ketika tulisan kita bisa dimuat atau naskah kita lolos seleksi... wah sensasinya itu lhoo... terlampau miskin kata untuk mendeskripsikannya... hehe

    BalasHapus
  2. Ada lagi alasan sederhananya, yaitu tulisan itu dibuat untuk dibaca. Tentu merupakan hal aneh ketika penulisnya tidak suka membaca. Bagaimana logikanya orang yang tidak suka membaca mengharapkan orang lain untuk membaca karyanya?

    Kalimat di atas rasanya seperti membuat tamparan kecil di wajah saya. Sebuah tulisan reflektif buat saya sebagai pembaca setia tulisan prof Ngainun. Kereen (Makhrus)

    BalasHapus
  3. Mantab Prof. Naim terima kasih terus menginspirasi

    BalasHapus
  4. Luar biasa. Sebuah perjuangan panjang, dan kini saatnya memetik buah dari proses panjang tersebut

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.