PMII dan Dunia Intelektual
Ngainun Naim
Saya sedang menikmati
sebuah artikel yang terbit beberapa tahun lalu di Journal of Indonesian
Islam Volume 11, Nomor 2, Desember 2017. Artikel dengan judul ”Nahdlatul
Ulama and the Production of Muslim Intellectuals in the Beginning of 21st
Century Indonesia” ini karya Khoirun Niam, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pembaca yang ingin membaca artikel ini bisa mendownload di: http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/555.
Saya tidak akan
mereview atau membahas isi artikel penelitian bergizi ini. Silahkan dibaca dan
disimpulkan sendiri. Saya hanya akan fokus pada bagian tertentu di artikel ini
dalam kaitannya dengan PMII.
Akhir dasawarsa
1990-an menjadi penanda penting transformasi pendidikan bagi warga nahdliyin.
Jika sebelumnya warga nahdliyin banyak yang menempuh pendidikan di pondok
pesantren, pada tahun 1990-an semakin banyak kader nahdliyin yang menjadi
sarjana. Prof. Dr. Nurcholish Madjid bahkan menyebutnya sebagai ”masa panen
sarjana”.
Tentu ini fenomena
yang menggembirakan. Bagaimana pun kehadiran sarjana memiliki makna penting dalam
konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Sarjana jelas memiliki kemampuan
intelektual yang lebih bagus dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenyam
bangku pendidikan.
Selain mengenyam pendidikan
di bangku kuliah, mereka juga berorganisasi. PMII merupakan pilihan bagi mayoritas
generasi muda nahdliyin, meskipun ada juga yang memilih GMNI atau HMI. Tentu pilihan
organisasi ini tidak bisa disederhana karena berkaitan dengan banyak aspek yang
saling berkait-kelindan satu sama lain.
Era 1990-an PMII
menjadi salah satu organisasi yang cukup akrab dengan dunia intelektual. Dikatakan di artikel bahwa, ”PMII members usually
have a strong root in traditional Islamic books. Their reading consists of not
only traditional books but also contemporary Islamic books” [h. 361].
Pernyataan ini saya
kira penting menjadi bahan renungan bagi para aktivis PMII. Di zaman itu,
aktivis PMII cukup kuat tradisi intelektualnya. Mereka mampu membaca kitab
kuning dan buku-buku kontemporer. Jadi basis ilmu agamanya cukup kuat baru
kemudian mengembangkan sumber bacaan kontemporer.
Membaca buku dan mendiskusikan
isi buku merupakan fenomena yang tumbuh subur. Meskipun, tentu saja, tidak
semua aktivis PMII melakukannya. Hanya sebagian saja. Namun demikian, capaian
intelektual ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan. Bahkan sejarah mencatat bahwa aktivis PMII era itu sebagian menjadi
intelektual yang hari-hari ini cukup mewarnai berbagai bidang kehidupan.
Anggota PMII sekarang
ini penting untuk merenungkan jejak sejarah ini. Harus ada kader-kader yang
memiliki minat khusus untuk menekuni dunia intelektual. Aktivitasnya adalah
membaca, diskusi, menulis, dan meneliti. Jika ada beberapa yang menekuni bidang
ini secara konsisten, akan banyak pengaruhnya bagi dinamika PMII.
Akses bacaan sekarang
ini terbuka lebar. Internet menyediakan banyak bahan dan media untuk
aktualisasi diri. Tinggal kemauan untuk terus belajar dan mengembangkan potensi
intelektual.
Tulungagung, 18 Maret 2024
Tidak ada komentar: