Mengaji untuk Keberkahan Hidup

Maret 17, 2024


Ngainun Naim

 

Sebuah tulisan menarik saya dapatkan secara tidak sengaja di facebook. Tulisan ini mengutip pendapat seorang kiai pengurus PBNU, KH. Abu Yazid Al-Bhustami. Beliau dawuh.

 

Mengajilah tanpa henti karena kebodohan dalam memahami ajaran agama hakikatnya adalah siksaan. Pemahaman kita terhadap nilai-nilai agama merupakan kenikmatan karena ia pasti akan menjadi petunjuk keselamatan.

 

Dawuh ini, bagi saya, sungguh nendang. Ngaji, dalam konteks dawuh tersebut, idealnya dilakukan sepanjang hidup. Tidak ada kata berhenti. Bagaimana pun caranya, ngaji harus terus dilakukan. Bukan musiman tetapi kebiasaan yang dirawat secara istiqomah.

Salah satu keinginan saya yang belum terwujud dalam beberapa tahun terakhir adalah ikut ngaji selama bulan puasa di sebuah pesantren atau majelis ilmu tertentu. Mendengarkan kiai membaca kitab, kita menyimak dan memberikan makna, merupakan bagian dari aktivitas yang—menurut saya—sangat menyenangkan. Aktivitas ini menjadi penanda tentang belajar ilmu agama yang tidak pernah berhenti.

Namun saya sadar diri. Situasi tidak memungkinkan saya untuk melakukannya. Aktivitas sebagai ASN membuat saya harus bekerja lima hari dalam seminggu. Kegiatan di masyarakat juga ada saja. Demikian juga dengan kehidupan keluarga. Jadinya keinginan ngaji dengan tinggal di pesantren tidak terwujudkan.

Beruntung sekarang ini zaman telah canggih. Ngaji bisa dilakukan dari rumah. Tinggal mencari kiai yang ngajinya dilakukan secara online atau ditayangkan di media sosial. Sepanjang ada kemauan yang kuat, tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukannya.

Sebuah buku lama karya Cacuk Sudarijanto yang berjudul Belajar Tiada Henti (Jakarta: Pustaka Keluarga, 2004) menjadi penegas tentang pentingnya belajar secara terus-menerus. Di buku tersebut ditulis bahwa Cacuk Sudarijanto memiliki tradisi membaca yang telah tertanam semenjak kecil. Ayahnya mewajibkan seluruh anggota keluarga untuk membaca setiap hari minimal 30 menit. Tradisi ini mengakar kuat sehingga diterapkan di keluarganya dan di tempat kerja beliau.

Ada satu paragraf yang menarik untuk menjadi bahan renungan. Dikatakan bahwa belajar adalah syarat utama untuk menghadapi era pasar bebas di abad 21. Ketertinggalan kita adalah terutama karena kita kalah dalam determinasi untuk belajar. Kita sudah kalah dalam teknologi karena hanya pengguna. Kalau dalam menggunakan teknologi pun tidak sungguh-sungguh untuk mempelajarinya, kita akan menjadi lebih ketinggalan lagi [228].

Terkait ngaji, kita seharusnya belajar kepada para kiai yang sangat rajin mengaji. Keseriusan para kiai dalam mengaji menjadikan mereka sebagai orang yang alim. Ini sejalan dengan penelitian (Niam, 2017) yang menyebutkan bahwa penguasaan ilmu agama secara mendalam merupakan syarat utama mendapatkan otoritas sebagai kiai. Tentu kita tidak harus menjadi kiai namun spirit mengaji para kiai itu yang seharusnya kita teladani.

Ramadan adalah bulan yang memberikan kesempatan kepada kita untuk ngaji. Kesempatan itu penting untuk dimaanfaatkan agar hidup kita berkah. Semoga.

 

Trenggalek, 17 Maret 2024

 

 

26 komentar:

  1. Terima kasih artikelnya Prof. Sangat bermanfaat.

    BalasHapus
  2. Aamiin terimakasih ilmunya Prof, salam sehat selalu

    BalasHapus
  3. Suwun motivasinya prof

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Prof. Pencerahannya. TABIK

    BalasHapus
  5. Terimakasih, ilmunya prof☺️. Sangat memotivasi 🙏

    BalasHapus
  6. Karya njenengan Selalu mensuport kami para pembaca pak proff... Semoga selalu diberikan kesehatan yg berkah ilaa yaumil kiyaamah... 🙏🤲🙏

    BalasHapus
  7. Subhanallah! Tulisan keren! Terimakasih Pak Prof! InsyaAllah menjadi bahan refleksi diri, dan terus mengaji.

    BalasHapus
  8. Benar Prof., ngaji dalam hal ini mengkaji kitab kuning apa pun bahasannya, baik akhlak, tasawuf, fikih, dll dengan memberi makna dll itu sangat menyenangkan Prof. Itu juga wujud dalam melestarikan tradisi intelektual pesantren yg sudah berlangsung berabad-abad silam.

    BalasHapus
  9. Sopo ngaji bakal aji, begitu dawuh yang lain Prof.....

    BalasHapus
  10. Masha Allah, yang ditulis maupun yang menulis sama-sama role model bagi saya. Alhamdulillah wa tabarakallah

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.