Mengaji untuk Keberkahan Hidup
Ngainun Naim
Sebuah tulisan
menarik saya dapatkan secara tidak sengaja di facebook. Tulisan ini mengutip
pendapat seorang kiai pengurus PBNU, KH. Abu Yazid Al-Bhustami. Beliau dawuh.
Mengajilah tanpa henti karena kebodohan dalam memahami
ajaran agama hakikatnya adalah siksaan. Pemahaman kita terhadap nilai-nilai
agama merupakan kenikmatan karena ia pasti akan menjadi petunjuk keselamatan.
Dawuh ini, bagi saya, sungguh nendang. Ngaji, dalam
konteks dawuh tersebut, idealnya dilakukan sepanjang hidup. Tidak ada
kata berhenti. Bagaimana pun caranya, ngaji harus terus dilakukan. Bukan
musiman tetapi kebiasaan yang dirawat secara istiqomah.
Salah satu keinginan
saya yang belum terwujud dalam beberapa tahun terakhir adalah ikut ngaji selama
bulan puasa di sebuah pesantren atau majelis ilmu tertentu. Mendengarkan kiai
membaca kitab, kita menyimak dan memberikan makna, merupakan bagian dari
aktivitas yang—menurut saya—sangat menyenangkan. Aktivitas ini menjadi penanda
tentang belajar ilmu agama yang tidak pernah berhenti.
Namun saya sadar
diri. Situasi tidak memungkinkan saya untuk melakukannya. Aktivitas sebagai ASN
membuat saya harus bekerja lima hari dalam seminggu. Kegiatan di masyarakat
juga ada saja. Demikian juga dengan kehidupan keluarga. Jadinya keinginan ngaji
dengan tinggal di pesantren tidak terwujudkan.
Beruntung sekarang
ini zaman telah canggih. Ngaji bisa dilakukan dari rumah. Tinggal mencari kiai
yang ngajinya dilakukan secara online atau ditayangkan di media sosial. Sepanjang
ada kemauan yang kuat, tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukannya.
Sebuah buku lama
karya Cacuk Sudarijanto yang berjudul Belajar Tiada Henti (Jakarta:
Pustaka Keluarga, 2004) menjadi penegas tentang pentingnya belajar secara terus-menerus.
Di buku tersebut ditulis bahwa Cacuk Sudarijanto memiliki tradisi membaca yang
telah tertanam semenjak kecil. Ayahnya mewajibkan seluruh anggota keluarga
untuk membaca setiap hari minimal 30 menit. Tradisi ini mengakar kuat sehingga
diterapkan di keluarganya dan di tempat kerja beliau.
Ada satu paragraf
yang menarik untuk menjadi bahan renungan. Dikatakan bahwa belajar adalah
syarat utama untuk menghadapi era pasar bebas di abad 21. Ketertinggalan kita
adalah terutama karena kita kalah dalam determinasi untuk belajar. Kita sudah
kalah dalam teknologi karena hanya pengguna. Kalau dalam menggunakan teknologi
pun tidak sungguh-sungguh untuk mempelajarinya, kita akan menjadi lebih
ketinggalan lagi [228].
Terkait ngaji, kita
seharusnya belajar kepada para kiai yang sangat rajin mengaji. Keseriusan para
kiai dalam mengaji menjadikan mereka sebagai orang yang alim. Ini sejalan
dengan penelitian (Niam, 2017) yang menyebutkan bahwa penguasaan ilmu agama secara
mendalam merupakan syarat utama mendapatkan otoritas sebagai kiai. Tentu kita
tidak harus menjadi kiai namun spirit mengaji para kiai itu yang seharusnya
kita teladani.
Ramadan adalah bulan
yang memberikan kesempatan kepada kita untuk ngaji. Kesempatan itu penting
untuk dimaanfaatkan agar hidup kita berkah. Semoga.
Trenggalek, 17 Maret 2024
Terima kasih artikelnya Prof. Sangat bermanfaat.
BalasHapusAlhamdulillah
HapusAamiin terimakasih ilmunya Prof, salam sehat selalu
BalasHapusAlhamdulillah
HapusSuwun motivasinya prof
BalasHapusSami-sami
HapusMatur nuwun Prof. Pencerahannya. TABIK
BalasHapusMatur nuwun Pak Kaji
Hapusmantapp proff😍
BalasHapusTerima kasih
HapusTerimakasih, ilmunya prof☺️. Sangat memotivasi 🙏
BalasHapusAlhamdulillah
HapusKarya njenengan Selalu mensuport kami para pembaca pak proff... Semoga selalu diberikan kesehatan yg berkah ilaa yaumil kiyaamah... 🙏🤲🙏
BalasHapusAmin. Alhamdulillah
HapusSubhanallah! Tulisan keren! Terimakasih Pak Prof! InsyaAllah menjadi bahan refleksi diri, dan terus mengaji.
BalasHapusAlhamdulillah
HapusAamiin. Terimakasih prof 🙏
BalasHapusSama-sama
HapusBenar Prof., ngaji dalam hal ini mengkaji kitab kuning apa pun bahasannya, baik akhlak, tasawuf, fikih, dll dengan memberi makna dll itu sangat menyenangkan Prof. Itu juga wujud dalam melestarikan tradisi intelektual pesantren yg sudah berlangsung berabad-abad silam.
BalasHapusTerima kasih Mas
HapusTeeima kasih Prof
BalasHapusSama-sama
HapusSopo ngaji bakal aji, begitu dawuh yang lain Prof.....
BalasHapusTerima kasih sudah melengkapi
HapusMasha Allah, yang ditulis maupun yang menulis sama-sama role model bagi saya. Alhamdulillah wa tabarakallah
BalasHapusAaamiinnnn
Hapus