Nisan Makam
Ngainun Naim
Ibuk merupakan andalan kami dalam banyak hal. Salah
satunya adalah dalam hal daya ingat. Sungguh dalam hal ini kami mengaguminya.
Namun kelebihan itu tidak berlaku universal. Saat tertentu,
bisa juga kurang tepat. Namanya manusia, di situlah sisi yang saling
melengkapi.
Hal ini terjadi saat hari Minggu, 10 Maret 2024. Kami berlima—Saya,
Ibuk, Kikin, Istri, dan anak bungsu saya—berziarah ke makam Mbah Uti Hj.
Sringatun. Makam beliau ada di Desa Bendiljati Wetan Sumbergempol Tulungagung.
Kondisi makam di awal beliau wafat pada tahun 2011 belum
banyak. Jadi ada penanda yang membuat kami mudah mengingat. Pertama lokasinya
yang berada di dekat pohon jati. Kedua warna nisan yang ada cat hijau dan ada
tulisan nama beliau.
Zaman berubah. Makam semakin padat. Pohon penanda sudah
ditebang. Warga batu nisan sudah pudar. Di sinilah keunggulan ingatan Ibuk
diuji.
Berkali-kali mencari. Dan kami saling menduga meskipun
salah semua. Pencarian terus dilakukan sampai akhirnya ketemu juga.
Sudah cukup lama saya meminta Kikin—adik bungsu—untuk memesankan
papan nama batu nisan untuk Mbah Sringah. Namun karena satu dan lain hal, baru
di awal Maret 2024 terencana secara pasti. Diskusinya tanggal 3 Maret, eksekusi
tanggal 10 Maret 2024.
Setelah nisan saya ambil, kami pun memasangnya. Ini penting
sebagai ikhtiar penanda makam. Bagaimana pun, penanda semacam ini bisa menjadi
titik lokasi ziarah.
Kasus di awal tulisan ini adalah contoh bagaimana anak
cucu bisa kehilangan jejak leluhur. Jika Ibuk yang hafal lokasi bisa lupa,
bagaimana dengan kami anak-anak dan cucu beliau? Di sinilah nisan yang ada nama
menjadi penting.
Tulungagung, 11 Maret 2024
Tidak ada komentar: