Tempat Berproses, Tempat Memberdayakan Potensi Diri
Saling gojlok. Itu yang biasanya kami lakukan kalau
bertemu teman-teman seangkatan. Rasanya kurang lengkap jika tidak saling
menggojlok. Tentu, gojlokan dalam kerangka berbagi kebahagiaan dan menertawakan
diri sendiri. Bukan untuk saling menjatuhkan.
Ketika usai Wisuda ke-38 UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung pada 9 Maret 2024, saya bersua dengan banyak orang. Teman yang
pernah KKN bersama dan aktif di PMII, Dr. Diyanus Abdul Baqi bersua di depan
Gedung KH. Arif Mustaqim.
”Saya tadi dari kejauhan sudah melihat Sampean tidak
betah untuk ikut berjoged ketika Prof. Patoni menyanyi”, kata saya.
Sontak tertawanya pecah. Kami pun lalu berbincang tentang
banyak hal, termasuk nggojloki Dr. Muhammad Zaini, M.A. yang kini menjadi Wakil
Dekan 3 FTIK.
”Lha Sampean pakai dasi rapi, ini Zaini malah pakai dasi
kupu-kupu minimalis”, kata Diyanus. Kembali tertawa kami pecah.
Diyanus Abdul Baqi kali ini hadir sebagai seorang wali
mahasiswa yang wisuda. Putra beliau hari ini ikut diwisuda. ”Lha jenggotku saja
sudah putih”, katanya.
Berproses
Diyanus Abdul Baqi ini merupakan putra seorang kiai. Dulu,
saya satu tim dengan beliau saat KKN pada tahun 1997 di Kecamatan Pagerwojo. Kebetulan
kami sama-sama menjadi pengurus Koordinator Kecamatan.
Posisi Diyanus sangat penting karena, selain putra kiai,
beliau juga Ketua Senat Mahasiswa STAIN Tulungagung. Terkait posisi ini, ada
kisah yang cukup unik. Kisah yang menandai bagaimana beliau akhirnya menjadi
Ketua Senat.
Suatu malam, saya bersama Ndan Syafi’i—saat itu Sekretaris
PMII Cabang Tulungagung—bertolak menuju rumah Diyanus Abdul Baqi. Kendaraan andalannya
adalah Honda Astrea 800 milik saya. Sepeda motor yang untuk operasional beli
bensin mengandalkan honor dari koran atau majalah yang memuat tulisan saya.
Kami berangkat modalnya keyakinan saja. Padahal kami berdua
belum tahu persis rumah Diyanus. Pokoknya berangkat saja.
Kami menempuh jalur dari Kantor PMII Cabang Tulungagung
ke utara. Sampai di Nyawangan Kras, kami belok ke arah timur. Nah, di sini
terjadi tragedi. Tengah malam, ban bocor. Sungguh menarik dan tidak akan
terlupa.
Beruntung ada tukang tambal ban yang mau membantu. Rumahnya
tidak terlalu jauh dari tempat ban mulai bocor. Tetap harus disyukuri walaupun
ongkos tambal ban nyaris empat kali lipat dari harga siang hari.
Usai ban ditambal, kami kembali melanjutkan perjalanan. Hanya
arah-arah saja. Nama desa kami tahu, tapi alamat pastinya hanya perkiraan. Pokoknya
Desa Tunjung Udanawu, belakang Mushola.
Sampai di tempat yang kami perkirakan, kami belok ke
sebuah mushola utara jalan. Tidak tahu harus bertanya pada siapa. Sudah menjelang
subuh. Pilihan terbaik adalah mengunci motor lalu merebahkan badan beberapa
saat.
Adzan subuh terdengar. Kami pun segera bangun, berwudhu,
shalat jamaah, dan setelah itu bertanya rumah Diyanus kepada seorang jamaah. Ternyata
tempatnya masih agak jauh, namun sudah ada petunjuk. Lumayan.
Kami sampai di rumah Diyanus usai subuh. Berbincang tentang
banyak hal terkait kemahasiswaan, PMII, dan hal-hal tidak jelas lainnya. Kopi pahit
dan gorengan menjadi teman perbincangan di pagi itu.
Perbincangan sederhana kala itu cukup bermakna,
setidaknya bagi saya. Melalui perbincangan itulah proses belajar dalam maknanya
yang luas tengah kami lakukan. Tugas kami adalah belajar dan berproses tanpa
batas. Saya percaya, hasil tidak akan mengkhianati proses.
Ber-PMII
Saat awal tahun 1996, komisariat hanya satu yaitu STAIN
Tulungagung. Seingat saya, Komisariat UNITA dan Diponegoro masih dalam proses
pembentukan. Maafkan jika saya salah.
Dr. Muhammad Zaini, M.A. adalah Ketua Komisariat
legendaris. Lokasi komisariat sekarang menjadi gudang rokok timur SDN
Plosokandang, utara jalan.
Di tempat inilah setiap malam jumat kami berdiskusi. Temanya
bergantian. Kami masing-masing mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk tampil
sebagai komentator ganas, walaupun sering juga ngawur dan tanpa data. Pokoknya berargumen.
Saya bersyukur di zaman itu andalan informasi hanyalah
koran, majalah, dan buku. Belum ada internet. Jadi jika memiliki koleksi bacaan
banyak, bisa jadi ajang pamer ke para kader.
Saya ingat persis, beberapa aktivis setiap malam jumat
menenteng puluhan buku ke komisariat. Saat diskusi, buku yang mendukung argumen
ditunjukkan. Rasanya gagah sekali, walaupun mungkin juga bukunya tidak
berbicara tentang isi yang sama persis dengan yang dimaksudkan.
Jika saya boleh bilang, ber-PMII itu mbarokahi. Ber-PMII
bukan sekadar menjadi anggota. Menjadi PMII berarti menemukan tempat yang
kondusif untuk berproses. Juga tempat untuk memberdayakan potensi diri.
Oh ya, PMII juga tempat menemukan jodoh. Ketua Komisariat
kala itu menemukan jodoh kadernya sendiri. Begitu.
Tulungagung, 9 Maret 2024
Tidak ada komentar: