Pendidikan, Tradisi Belajar, dan Dunia Menulis
Ngainun Naim
Salah satu agenda yang
saya rencanakan saat ada kesempatan berkunjung ke Mataram pada 29-30 Mei 2024 adalah
silaturrahim ke Prof. Ir. Suhubdy, Ph.D. Beliau merupakan Guru Besar
Universitas Mataram, Pakar Nutrisi Ruminansia/Herbivora dan Bioekosistem Padang
Penggembalaan.
Kami terhubung melalui
media sosial. Saya tidak ingat persis
mulai kapan terhubung dengan beliau. Data komunikasi di HP merekam ada
komunikasi via WA pada 11 Oktober 2020. Komunikasi ini merupakan tindak lanjut
dari acara Bincang-Bincang Nasional Online tentang Strategi Penyelesaian
Studi Doktor Tepat Waktu yang diselenggarakan oleh Penerbit Dotplus
Publisher Riau. Kebetulan Prof. Suhubdy, Ph.D dan saya diundang untuk
menjadi narasumber.
Kegiatan ini menghasilkan
output berupa buku antologi. Judulnya cukup menarik, yaitu Kuliah
Doktor Siapa Takut? Kumpulan Kisah Menempu Studi Doktoral (Bengkalis:
Dotplus Publisher, 2021). Buku ini, sebagaimana tertera di judul, berisi kisah
penulisnya dalam menempuh studi doktoral.
Setelah momentum
kegiatan tersebut, kami berinteraksi melalui WA. Kami juga tergabung di WA Grup
Penulis Dotplus Publisher. Meskipun belum pernah bertemu secara langsung,
saya merasa dekat dengan beliau.
Tahun 2022 akhir saya
ada tugas untuk mengisi seminar di sebuah hotel di Mataram. Saya menghubungi
Prof. Suhubdy. Sayang, karena satu dan lain hal, kami belum bisa bertemu.
Baru pada kali ini bisa
bertemu. Prof. Suhubdy, Ph.D berkenan menemui saya di hotel tempat saya
menginap. Sungguh ini sebuah keberkahan yang membahagiakan. Walaupun tidak
lama, kami berbincang tentang banyak hal. Agar hasil perbincangan tidak hilang
begitu saja, saya mengikatnya di catatan sederhana ini.
Ada beberapa hal yang
bisa saya rekam. Pertama, disiplin. Salah satu budaya di masyarakat kita
adalah disiplin. Banyak orang yang kurang menghargai waktu. Jika ada undangan,
biasa datang terlambat. Jika pun ada yang tepat waktu, itu belum semua.
Akibatnya, kegiatan mundur dari jadwal yang direncanakan.
Bagi yang terbiasa
disiplin, kondisi ini tentu kurang menggembirakan. Agenda kegiatan yang
dirancang bisa berubah dan tidak sesuai dengan harapan. Disiplin, dalam aspek
apa pun, memberikan banyak manfaat dalam kehidupan.
Kedua, kegelisahan terhadap potret pendidikan kita. Sesungguhnya
ini bagian dari keprihatinan banyak pihak. Dunia pendidikan sekarang ini sedang
tidak baik-baik saja. Ada banyak hal yang kurang sesuai dengan spirit dasar
yang semestinya tumbuh dengan baik di dunia pendidikan kita, khususnya di perguruan
tinggi. Tentu, kita tidak boleh hanya mengeluh. Langkah perbaikan diperlukan
dari hal sederhana yang mampu kita lakukan. Lewat cara semacam ini setidaknya
kita ikut berkontribusi bagi perbaikan dunia pendidikan.
Ketiga, dunia menulis. Sivitas akademik semestinya mampu
memproduksi pengetahuan secara konstruktif. Aktivitas sehari-hari yang
berkaitan secara langsung dengan dunia keilmuan sesungguhnya cukup potensial
bagi tumbuh suburnya budaya menulis. Sayang, kenyataan belum sesuai dengan
harapan.
Tradisi belajar belum
tumbuh subur pada semua mahasiswa kita. Ini menjadi tantangan besar. Kehadiran
Artificial Intellegence (AI) yang sedemikian luar biasa telah menggerus potensi
dasar yang seharusnya ditumbuhkembangkan.
AI semestinya
diposisikan sebagai alat bantu dalam menghasilkan karya. Namun realitasnya
tidak selalu demikian. Banyak persoalan etika yang muncul dengan kehadiran AI.
Bagi dosen, pengetahuan tentang AI menjadi keharusan. Namun konteks etika perlu
dikedepankan agar produk ilmiah yang dihasilkan tidak menabrak batas-batas
normatif yang telah digariskan.
Tradisi belajar yang
kokoh adalah penyangga. Jika tradisi belajar sudah tumbuh secara kokoh, dinamika
dan perkembangan yang datang tidak akan mengoyak tradisi belajar yang telah
mengakar.
AI merupakan realitas
yang tidak mungkin untuk ditolak atau dihindari. Ia telah ada, hadir, dan
banyak dimanfaatkan, termasuk oleh kalangan akademik. Persoalannya, bagi mereka
yang belum memiliki tradisi belajar, AI akan diposisikan sebagai sarana untuk
mempermudah pekerjaan tanpa berpikir proses, penguasaan materi, dan kontribusi
personal. Di sinilah fenomena AI perlu dilihat secara kritis.
Keempat, salah satu ilmu yang harus dipelajari oleh mahasiswa
adalah metodologi penelitian. Ilmu ini sangat penting. Cara berpikir ilmiah,
cara melaksanakan penelitian, dan hal-hal lain yang terkait ada di metodologi
penelitian.
Sayangnya, ilmu ini
sekarang cenderung kurang mendapatkan perhatian. Ironinya, ada kampus yang
menghapus matakuliah metodologi penelitian. Apa pun argumen yang digunakan,
kebijakan penghapusan matakuliah metodologi penelitian disayangkan. Pengetahuan
dan keterampilan mahasiswa dalam melaksanakan penelitian tidak lagi dimiliki
secara baik karena tidak diajarkan. Adanya matakuliah metodologi penelitian
saja banyak yang belum menguasai, apalagi kemudian justru dihapus.
Kelima, buku dan tradisi belajar. Sekarang ini zaman digital. Namun
bagi generasi yang lahir sebelum zaman digital, buku cetak tidak tergantikan.
Kenikmatan membaca terletak pada penelusuran halaman demi halaman buku. Buku
cetak, dalam konteks ini sebagaimana yang dilakukan oleh Prof. Suhubdy, Ph.D.
tetap terus dibeli karena manfaatnya sangat besar.
Buku bukan sekadar
deretan huruf. Di dalamnya ada proses intelektual yang serius. Buku juga
aktualisasi dari eksistensi pembacanya. Jadi pembaca juga memiliki konteks
penting dengan buku yang dimilikinya.
Memiliki banyak buku itu
penting. Ia lambang intelektualitas. Semakin banyak buku yang dimiliki berarti
pemiliknya memiliki potensi untuk membaca lebih banyak dibandingkan mereka yang
tidak memiliki banyak buku.
Memang realitasnya tidak
selalu begitu. Ada juga yang memiliki banyak buku sebatas sebagai kebanggaan.
Meskipun demikian ini tetap perlu diapresiasi sebagai bentuk kecintaan terhadap
buku.
Tulungagung, 1 Juni 2024
Pada jenjang sekolah dasar dan menengah, AI menjadi mesin pencari jawaban. Sehingga, potensi siswa tidak berkembang. Ironisnya setiap menjumpai kesulitan sedikit saja, mereka langsung menggunakan AI. Hal ini menjadikan mereka malas untuk belajar.
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya
HapusSayang menginspirasi Prof.NAIM, MATUR NUWUN
BalasHapusMatur nuwun Pak Haji
HapusSepakat prof dengan pernyataan prof bahwa "Tradisi belajar yang kokoh adalah penyangga. Jika tradisi belajar sudah tumbuh secara kokoh, dinamika dan perkembangan yang datang tidak akan mengoyak tradisi belajar yang telah mengakar.". Kereeen dan mantab.
BalasHapusTerima kasih
HapusTerima kasih prof, tulisannya sangat menginspirasi, saya setuju dengan point pertama tentang disiplin, masih banyak dari kita yang belum bisa disiplin terutama disiplin tentang waktu, yang mana ketika ingin melaksanakan suatu agenda dengan waktu yang sudah ditentukan, akhirnya ngaret dan tidak jarang agenda yang telah dirancang tidak berjalan dengan maksimal, apalagi ketika sedang melaksakan program kerja dalam organisasi, hampir semua peserta datang tidak tepat waktu, saya juga sering tidak tepat waktu ketika harus hadir pada suatu agenda, namun sedikit-sedikit belajar untuk disiplin menghargai waktu. Terima kasih prof atas tulisan yang sangat menginspirasi ini.
BalasHapusAlhamdulillah
HapusTerima kasih banyak Prof, sangat bermanfaat dan inspiratif.....saya jadi berani belajar menulis salah satunya karena motivasi dari Prof. Naim....
BalasHapusAlhamdulillah
HapusLuar biasa Prof, memiliki kolega di berbagai penjuru nusantara
BalasHapusTerima kasih Pak Pri
Hapus