Membaca dan Menulis dalam Perjalanan
Ngainun Naim
Deretan rak
buku di rumah mulai berdebu. Sesungguhnya saya acapkali menata dan
membersihkannya tetapi selalu saja di saat berikutnya debu berdatangan.
Selain debu,
hewan kutu buku juga menjadi musuh yang perlu diwaspadai. Beberapa kali buku
saya hancur di bagian dalamnya. Padahal di luar terlihat utuh. Ternyata dalamnya
sudah digerogoti oleh si hewan penghancur buku.
Merawat buku
merupakan hal penting, namun memiliki dan membaca buku-buku juga tidak kalah
penting. Tidak dirawat, buku akan rusak. Sekadar memiliki tanpa membaca, tentu
akan kurang manfaat fungsionalnya.
Saya
sesungguhnya menyukai aktivitas membaca. Namun demikian persoalan kesempatan
membaca membuat hanya sedikit waktu membaca yang saya miliki. Jadinya tidak
seimbang antara jumlah buku yang dengan kesempatan membacanya.
Aktivitas
harian yang lumayan padat menjadi alasan utama untuk tidak atau belum membaca.
Padahal saya ingin sekali memiliki kesempatan membaca dan menikmati buku sejak
halaman awal hingga akhir. Membaca buku sampai tuntas itu rasanya sangat
menyenangkan. Ada begitu banyak sketsa pengetahuan, kebijaksanaan hidup dan
pembelajaran dalam arti luas yang bisa dipetik usai menelusuri deretan kata
demi kata.
Mungkin ini
sebatas pembenar saja untuk tidak membaca. Memang mencari alasan lebih mudah
dibandingkan mengakui realitas secara objektif. Kecenderungan manusia memang
lebih mudah merasa benar dibandingkan mengakui salah.
Kesempatan
untuk membaca buku sampai tuntas bagi saya sekarang ini merupakan sebuah
kesempatan langka. Pada hari libur biasanya kesempatan itu terbuka lebar.
Tetapi saya tahu diri. Saya punya keluarga yang membutuhkan perhatian.
Aktivitas
membaca dan menulis biasanya saya lakukan pagi hari. Kondisi tubuh pada pagi hari
masih segar. Saat semacam ini cukup produktif untuk membaca dan menulis.
Membaca rasanya begitu mudah diserap dan menulis bisa cukup lancar. Ide-ide
meluncur cepat seolah tanpa dinding penghalang.
Siang hari
saat bekerja, kesempatan untuk membaca dan menulis sangat terbatas. Selain
sibuk mengajar, kesibukan teknis administratif kantor juga menyita waktu
tersendiri. Tidak jarang saat pulang sore hari kondisi fisik sudah. Saat demikian,
istirahat adalah pilihan terbaik.
Kesempatan
bagus yang bisa dimanfaatkan untuk membaca dan menulis adalah saat bepergian.
Saat semacam ini biasanya saya membawa buku. Jika tugasnya agak lama, satu buku
biasanya bisa tuntas dibaca.
Saya biasanya mulai
"mencicipi" isi buku saat di bus. Jika naik kereta
api, saya punya kesempatan yang jauh lebih luas. Kesempatan membaca juga
terbuka luas saat naik pesawat. Apalagi jika perjalanan jauh yang mengharuskan
transit selama beberapa jam.
Perjalanan
juga menandai momentum untuk menulis. Tentu menulisnya di tempat-tempat
istirahat; terminal, stasiun, bandara, hotel atau tempat lain yang
memungkinkan. Sesungguhnya biasanya menulis dengan memakai handphone yang ada aplikasi
ColorNote. Tetapi biasanya mata cepat sakit.
Pilihan lainnya
adalah menulis tangan. Saya berkali-kali menulis di buku tulis untuk kemudian
saya pindahkan ke komputer. Menulis tangan, menurut saya, jauh lebih berkesan.
Saat
menulis dengan pena di buku tulis, saya merasakan adanya keterlibatan
fisik-emosional secara utuh. Karena itu, metode menulis jenis ini masih saya
pertahankan sampai sekarang. Memang tidak semua tulisan karya saya ditulis
tangan terlebih dulu. Sebagian juga saya tulis secara langsung di komputer.
Jika berdasarkan berbagai pertimbangan lebih memungkinkan maka saya menulis
tangan.
Jujur, menulis tangan itu
mudah capek. Satu halaman saja tangan sudah terasa mulai ngilu.
Kondisinya berbeda dengan menulis di komputer yang capeknya tidak seberapa.
Tetapi jika dinikmati, dihayati, dan sering dilakukan maka menulis tangan cukup
mengesankan. Rasanya berat sekali untuk meninggalkan sama sekali kebiasaan ini.
Saat
bepergian, pulpen dan buku tulis saya usahakan untuk tidak ketinggalan.
Fungsinya jelas yaitu untuk menulis. Buku tulis menurut saya cukup praktis. Ia
bisa dibawa ke mana-mana. Ia juga tidak bergantung pada listrik sebagaimana
komputer, laptop, tablet, atau hp. Begitu ada kesempatan, saya bisa langsung
menulis.
Kelemahannya
juga banyak. Selain mudah capek, tulisan di buku tulis masih membutuhkan energi
tambahan saat memindah ke komputer. Selain itu, resiko terbesarnya adalah
hilang sebelum di salin.
Tentu Anda
bisa membayangkan bagaimana rasanya jika tulisan tangan yang kita buat dengan
sepenuh perjuangan hilang entah ke mana. Karena itu cara terbaiknya adalah
segera menyelamatkan manuskrip tulisan tangan tersebut dengan memfoto copy atau
segera menyalin dengan mengetik di komputer.
Tradisi
menulis tangan ternyata juga dilakukan oleh beberapa intelektual terkemuka.
Anda yang menekuni bidang bahasa Indonesia pasti tahu nama Prof. Dr. Henry
Guntur Tarigan. Beliau menulis lebih dari 60 judul buku. Hebatnya, semua buku
yang ditulis tersebut ditulis tangan semua.
Nama lain
yang juga setia menulis tangan adalah Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr. Saya pernah
membaca sebuah disertasi karya Dr. Adnan Aslam yang topiknya adalah pemikiran
Seyyed Hossein Nasr dan John Hick. Pada salah satu bagian yang mengulas riwayat
hidup Nasr ditulis bahwa semua karya Nasr ditulis tangan.
Sesungguhnya
cukup banyak intelektual dunia yang terus berkarya dengan tulisan tangan.
Karena itu selayaknya kita mengambil hikmah dari fenomena ini. Produktivitas
dan kualitas karya tidak semata-mata ditentukan oleh alat untuk menulis. Alat
itu penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah semangat besar untuk terus
berkarya.
Modal pulpen dan buku tulis
sudah cukup. Alat-alat untuk menulis--mulai yang canggih sampai yang
sederhana--berfungsi sebagai sarana. Sebagai sarana, ia bersifat pasif. Jika
yang memiliki alat mendayagunakannya untuk produktif menghasilkan karya maka ia
fungsional. Jika tidak maka alat itu sekadar sebagai alat semata.
Kuncinya
memang pada diri penulis. Seorang penulis akan selalu bisa menghasilkan karya
dengan sarana apa pun. Spirit inilah yang saya kira harus kita rawat. Salam
Tidak ada komentar: