Inspirasi Menulis dari Tiga Sastrawan Jawa
Ngainun Naim
Menjadi penulis
seharusnya menjadi pembelajar. Hadir dalam pertemuan kepenulisan, membaca buku,
menonton YouTube, dan banyak cara belajar lain harus terus dilakukan secara
konsisten agar kemampuan menulis terus terjaga.
Penulis yang tidak mau belajar
akan ketinggalan zaman. Dunia menulis berkembang secara pesat. Belajar dan
terus belajar adalah cara agar tetap mampu eksis dalam menekuni dunia menulis.
Saya bersemangat belajar
tentang menulis saat ada acara Temu Sastrawan Jawa Nusantara 2024 (TETRAWARA
2024) yang diselenggarakan Yayasan Triwida di Pendapa Ageng Hand Asta Sih
Rest Area Blitar pada 28-29 September 2024. Saya sendiri bukan sastrawan atau
penulis Jawa. Hanya saja saya cukup sering membaca majalah berbahasa Jawa Jaya
Baya dan Panjebar Semangat. Dulu, di awal tahun 2000-an, pernah juga
belajar menulis Jawa. Sayang, karena satu dan lain hal, saya tidak meneruskan
minat menulis dalam bahasa Jawa.
Merupakan sebuah
kehormatan ketika Bapak Narko Sodrun Budiman mengirimkan undangan untuk
mengikuti kegiatan TETRAWARA 2024. Sayang saya tidak bisa total mengikuti
kegiatan karena baru saja datang dari negeri tetangga untuk keperluan riset. Hari
minggu tanggal 29 September yang seharusnya mengikuti acara juga tidak bisa
datang karena ada acara keluarga.
Sabtu malam tanggal 28
September saya duduk menyimak paparan tiga sastrawan yang berkisah tentang
proses menulis. Saya menyimak tuntas sampai selesai dari kursi paling depan
sebelah timur. Ada beberapa poin penting yang saya catat.
Pertama, Bu Ardini Pangastuti yang membawakan materi ”Nulis Crita
Cekak (Ora) Gampang”. Bu Ardini berkisah tentang banyak hal terkait nulis crita
cekak. Satu yang saya tangkap bahwa ide itu harus dicari secara kreatif.
Menurut beliau, ide itu tidak ujug-ujug tetapi harus dipanggil. Karena
itu perlu dipikirkan, diolah, dan ditulis dengan penuh penjiwaan.
Ide, dalam paparan Bu
Ardini, bisa diibaratkan sebagai bahan baku yang masih mentah. Agar bisa
menjadi menjadi masakan yang lezat, perlu diolah secara baik. Di sini perlu
adanya bumbu spesial. Bumbu spesial dalam konteks ini tidak bisa dipisahkan
dari budaya Jawa.
Kedua, Pak Sri Wintala Achmad yang membawakan materi “Nulis
Crita Rakyat (Ora) Gampang”. Saya menemukan kunci penting dari paparan beliau,
yakni kunci utama menulis adalah menanamkan sugesti kalau saya bisa menulis. Ini
penting sekali karena tanpa sugesti yang kuat, tulisan tidak akan selesai.
Ada juga pendapat beliau
yang menarik terkait peran bakat. Umumnya kita mendengar bahwa bakat itu
memiliki peranan 1% dan 99% itu faktor usaha. Namun demikian 1% itu sangat
penting. Mereka yang memiliki bakat akan mampu menghasilkan karya yang bagus.
Namun perlu kerja keras untuk identifikasi tentang bakat.
Pak Sri Wintala Achmad
memiliki ritual menarik saat hendak menulis. Beliau berkisah tentang aktivitas kungkum
atau berendam di sendang. Aktivitas ini dilakukan untuk membangkitkan
energi yang berseliweran.
Ketiga, Bu Margaretha Widhi Pratiwi yang membawakan materi ”Nulis
Crita Sambung (Ora) Gampang”. Ada beberapa hal penting yang beliau sampaikan,
yakni jangan menulis dengan serampangan. Menulis itu proses belajar yang
terus-menerus. Tiga hal yang saya ingat dari apa yang beliau sampaikan dalam
menulis, yakni 3N: Niteni, Nerokke, Nambahi.
Meskipun saya belum
pernah menulis satu pun jenis tulisan sebagaimana yang disampaikan oleh
narasumber, saya mendapatkan banyak ilmu. Pengetahuan semacam ini penting
sekali untuk menjaga spirit berkarya. Sayang
saya tidak sempat berinteraksi dengan para sastrawan yang hadir, kecuali
beberapa orang yang telah akrab sebelumnya.
Meskipun demikian saya
cukup bahagia. Nama-nama besar yang dulu saya baca tulisannya di Jaya Baya dan
Panjebar Semangat bisa bertemu, meskipun tidak sempat berinteraksi. Satu
lagi yang membahagiakan, yaitu bisa berfoto dan mendapatkan tanda tangan Prof.
Dr. George Quinn. Buku beliau, Wali Berandal Tanah Jawa, merupakan buku
yang sangat mengesankan, informatif, dan mencerahkan.
Tulungagung, 1 Oktober 2024
Tidak ada komentar: