Membaca dan Menulis Tanpa Jeda
Ngainun Naim
Membaca dan menulis itu
dunia sunyi. Hanya orang-orang ‘terpilih’ atau orang-orang yang menyediakan
diri untuk ’dipilih’ saja yang mau tekun di dunia literasi membaca dan menulis.
Selebihnya adalah orang yang tidak menjadi bagian dari
lingkaran literasi.
Dalam perjalanan
sejarahnya, literasi itu dunia naik turun. Ada orang yang konsisten di dunia
ini. Ada yang semangat di awal, lalu redup dan hilang. Ada yang kadang
semangat, kadang redup.
Realitas ini
sesungguhnya menunjukkan betapa tidak mudahnya menekuni dunia literasi. Ada
banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Jika sukses menghadapi,
sukses menekuni dunia literasi. Jika gagal, literasi akan sebatas cerita yang
telah pernah disinggahi.
Salah satu alasan yang banyak
dikemukakan sebagai penghambat menekuni dunia literasi adalah kesibukan.
Aktivitas yang padat membuat tidak ada lagi ruang yang bebas untuk menelusuri
deretan duruf dan memahat huruf demi huruf. Alasan ini, dalam realitasnya,
memang menjadi penghambat untuk menekuni dunia membaca dan menulis.
Namun demikian saya
tetiba teringat apa yang ditulis oleh Richard Carlson (2024: 11) bahwa kesibukan
tiada henti itu bukan untuk dibicarakan dan dikeluhkan. Ini tidak akan mengubah
keadaan. Alih-alih justru membuat antipati, khususnya terkait literasi. Aspek
yang penting dilakukan adalah menerima kesibukan sebagai realitas sembari terus
mencari dimensi-dimensi yang positif dari kesibukan itu sendiri. Selain itu
perlu dibangun pemahaman dan kessadaran untuk berhenti membicarakan pengalaman
buruk dari kesibukan. Justru kesibukan adalah sumber ide yang subur untuk
ditulis.
Intinya jangan terlalu
banyak alasan. Tidak ada orang yang tidak sibuk. Sibuk itu sesungguhnya bukan
hambatan untuk menulis tetapi peluang (Much. Khoiri: 2020). Jika mampu mengatur
waktu secara kreatif, kesibukan akan tetap mampu menghasilkan tulisan secara
baik.
Saya sendiri bukan
penulis yang baik. Tulisan yang saya buat juga begitu-begitu saja. Tidak
istimewa.
Namun demikian saya
selalu berusaha membaca dan menulis. Memang tidak selalu banyak. Soaal jumlah,
bagi saya, itu bukan hal yang penting. Aspek yang justru penting adalah
bagaimana saya terus berproses untuk menekuni dunia literasi.
Judul tulisan ini
sesungguhnya bukan bermakna terus membaca dan menulis. Itu
jelas tidak mungkin. Kita ini manusia. Perlu aneka hal lain agar hidup kita indah.
Maksud dari judul
ini adalah bagaimana menjadikan
membaca dan menulis sebagai bagian dari kegiatan harian. Sesibuk apapun,
berikan kesempatan untuk menelusuri halaman demi halaman buku dan menuangkan
ide demi ide dalam bentuk tulisan.
Saya sering membaca di
sela-sela aktivitas harian. Saat perjalanan di pesawat atau kereta, buku adalah
teman setia. Meskipun demikian tidak banyak yang saya baca. Kadang hanya dapat
satu atau dua halaman.
Demikian juga dengan
menulis. Saya menulis paling-paling satu atau dua paragraf. Tulisan ini,
sebagai contoh, adalah kumpulan dari paragraf demi paragraf yang saya tulis di
berbagai kesempatan.
Aktivitas membaca dan menulis terlihat
sederhana tetapi tidak dalam pelaksanaannya. Banyak yang ingin konsisten
melakukan tetapi jarang yang bisa konsisten bertahan. Hanya mereka yang teguh
dan memiliki komitmen kuat saja yang terus bertahan menekuni dunia literasi di
tengah godaan yang semakin kompleks dari hari ke hari.
Jadi salah satu kunci untuk menekuni dunia
membaca dan menulis adalah komitmen. Tanpa komitmen, membaca menulis akan mudah
ditinggalkan. Implikasinya, membaca dan menulis berhenti sebatas sebagai
keinginan.
Komitmen itu bukan sebatas diucapkan. Hal
yang penting adalah diperjuangkan. Tanpa perjuangan, komitmen mudah diabaikan
dan dilupakan.
Komitmen juga berkorelasi erat dengan
kesuksesan. Tanpa komitmen, tidak akan ada kesuksesan. Adanya adalah keinginan
tanpa tindakan.
Merawat komitmen membaca menulis itu tidak
mudah. Ada kalanya komitmen itu fluktuatif. Kadang bersemangat membaca menulis.
Kadang semangat itu melemah. Pernah juga tidak ada semangat sama sekali.
Berdasarkan perenungan,
ada beberapa kunci yang bisa merawat spirit membaca dan menulis.
Kunci pertama dan utama adalah komitmen pribadi. Ini yang harus terus dirawat
dan dikondisikan.
Kunci lain adalah bergabung ke komunitas yang
kondusif dalam menghasilkan karya. Bisa dalam bentuk komunitas nyata. Bisa
dalam bentuk komunitas maya.
Tentu bukan sekadar bergabung tetapi ikut
berproses. Membaca dan menulis juga harus dilakukan. Menjadi anggota pasif
tidak akan merubah seseorang menjadi penulis.
Jika bergabung dengan
komunitas dan aktif belajar, terbuka peluang untuk transformasi diri. Banyak anggota
komunitas yang awalnya tidak suka menulis menjadi suka. Tidak sedikit anggota
komunitas yang akhirnya bisa menulis dan menerbitkan karya. Namun juga ada
anggota komunitas yang harus tereliminasi karena ketidakaktifannya dalam mengikuti
ajakan untuk berkarya.
Jika kita cermati,
komunitas itu seperti kunci. Di dunia ilmu
pengetahuan,
tumbuh dan berkembangnya ilmu
pengetahuan itu juga
karena ada komunitas ilmu yang secara intensif dan berkesinambungan melakukan
penelitian (Muqowim: 2012, 13). Komunitas keilmuan
bukan sekadar kumpulan orang tetapi media untuk terus berpikir kreatif, menulis,
dan menghasilkan karya secara konsisten.
Tentu masih banyak kunci lain yang bisa
diidentifikasi. Kawan-kawan tentu menemukan dan memiliki kunci sendiri sesuai
konteks pribadi masing-masing.
Tulisan ini merupakan
pengalaman personal penulis. Jika kawan-kawan memiliki minat untuk terus
bertahan dalam dunia membaca dan menulis, kunci yang penting adalah memperkuat
komitmen. Memang tidak mudah, namun bisa diperjuangkan. Sepanjang ada komitmen
dan terus berproses, keberhasilan itu hanya soal waktu.
Bogor, 29 Oktober 2024
Bahan bacaan
Much. Khoiri, Sopo
Ora Sibuk (SOS), (Sidoarjo: Tankali, 2020).
Muqowim, Genealogi Intelektual
Saintis Muslim, Sebuah Kajian tentang Pola Pengembangan Sains dalam Islam
Periode ‘Abbasiyah, (Jakarta:
Kementerian Agama, 2012).
Richard Carlson, Jangan Membuat Masalah Kecil di
Tempat Kerja Jadi Masalah Besar, Cara Mudah Mengurangi Stres dan Konflik Agar
Performa Kerja Meningkat, terj. Alex Tri Kantjono Widodo. Cet. Ke-3. (Jakarta:
Gramedia, 2024).
Betul sekali prof. Salah satu kita bisa bertahan dalam merawat spirit literasi ya komitmen. Kemudian keberadaan komunitas itu sendiri
BalasHapusTulisan ini setidaknya memberi saya semangat untuk tetap menulis, walaupun hanya tulisan sederhana, apa adanya dan jauh sekali dari istilah "tulisan berkualitas". Hanya semacam diary saja yang saya simpan di blog.
BalasHapusTerima kasih Pak atas tulisannya ini.
Salam,