Santri, Budaya Literasi, dan Pengembangan Potensi Diri

Desember 15, 2024

Ngainun Naim

 

Literasi itu kunci. Sepanjang telah terbangun tradisi literasi, pendayagunaan potensi diri terbuka cukup luas. Khazanah pengetahuan yang telah terbangun akan berkembang pesat sepanjang menemukan momentum dan daya dukung.

Ini sama artinya sudah menemukan kunci. Tinggal membuka pintu dan memasuki ruangan potensi yang ada di dalamnya karena telah menemukan dan memiliki kunci.

Signifikansi literasi sesungguhnya sudah diketahui oleh banyak orang. Namun pengetahuan saja bukan sebuah ukuran bagi terbangunnya budaya. Pengetahuan yang dimiliki perlu untuk diterjemahkan menjadi tindakan. Secara sosial, tindakan itu perlu bermetamorfosis sebagai gerakan. Dengan demikian literasi bisa menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan.

Potensi untuk membaca dan menulis—sebagai dasar literasi—terbuka lebar di banyak tempat. Persoalannya, tidak semua orang mengetahui bahwa mereka memiliki potensi. Akibatnya, banyak potensi yang tidak teridentifikasi, tergali, dan kemudian tumbuh dan berkembang.



Tentu ini sangat disayangkan. Jika saja potensi tersebut diketahui dan mampu dikembangkan maka bisa memberikan perubahan secara nyata dalam kehidupan. Perubahan ini—apa pun bentuknya—menjadi kebutuhan dan tantangan di era digital ini. Semakin responsif tentu semakin bagus.

Perubahan merupakan hal mendasar dalam kehidupan. Semakin hari arus perubahan semakin cepat. Ini perlu dipahami dan diantisipasi secara baik. Literasi yang telah menjadi budaya adalah modal penting yang bisa merespon secara aktif dan kreatif terhadap segala bentuk perubahan yang ada.

 

Santri dan Literasi

Santri adalah sebutan kepada siswa yang belajar di pesantren. Ada santri yang menetap dan ada juga yang tidak menetap di pesantren. Intinya mereka sama-sama belajar di pesantren.

Menjadi santri berarti menjadi pembelajar. Aktivitas sehari-hari mereka adalah mengaji dan belajar. Ini berlangsung dari hari ke hari.

Jika melihat pada rangkaian aktivitas ini maka sesungguhnya santri sangat potensial untuk memiliki budaya literasi. Budaya itu tidak terbentuk secara mendadak dan tiba-tiba tetapi melalui proses pembiasaan dalam jangka panjang. Dari pengertian ini maka budaya membaca melalui aktivitas ngaji dan aktivitas lain yang sejenis berpotensi untuk terbangun budaya literasi.

Belakangan ini banyak pesantren yang bisa dijadikan rujukan dalam mengembangkan budaya literasi. Pesantren-pesantren yang menjadikan rujukan untuk menumbuhkembangkan budaya menulis, baik dilakukan oleh kiai, ustadz, maupun para santrinya. Selain mengaji, mereka juga menulis dan menerbitkan karya.



Pesantren Al Anwar 3 yang ada di Gondan Sarang Rembang adalah contoh pesantren yang memiliki budaya literasi. Di pesantren ini para santri diwajibkan membuat naskah akademik, makalah, review buku, dan aktivitas literasi lainnya. Ini dilakukan dalam kerangka memperkuat keilmuan, meningkatkan wawasan, dan membangun budaya baru inovatif yang sejalan dengan tantangan zaman (Ja’far: 2019).

Pesantren Salafiah Syafi’iyah Asembagus Situbondo juga memiliki budaya membaca yang dijalankan secara intensif. Ada tiga tahap yang dilakukan dalam kaitannya dengan membaca, yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Ketiga tahapan ini dilakukan secara intensif sehingga para santri memiliki budaya membaca yang cukup kuat (Manan dan Bajuri: 2020).

Tentu masih banyak lagi budaya literasi yang bisa diteladani dari beberapa pesantren yang ada. Kajian terhadap topik ini juga sudah banyak dan bisa ditelusuri melalui mesin pencari. Aspek yang penting untuk mendapatkan tekanan adalah bagaimana mengambil inspirasi, meneladani, dan kemudian menerjemahkan dalam konteks pesantren masing-masing.

 

Teladan Kiai

Kiai itu kunci pesantren. Tanpa kiai, tidak ada pesantren. Jalannya pesantren tergantung kepada kiai.

Sebagai figur sentral, apapun yang disampaikan dan dilakukan oleh kiai akan menjadi teladan bagi seluruh komunitas pesantren. Dalam konteks literasi, teladan membaca kiai akan menjadi energi untuk ditiru oleh para santri.



Saya sangat apresiatif Ketika KH. Ahmad Jauhari—Ketua Yayasan dan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Jajar Sumbergayam Durenan Trenggalek—bercerita di hadapan para santri bahwa setiap hari beliau ngaji kitab. Pada kegiatan yang diikuti oleh guru dan siswa SMK Darussalam, Sabtu 14 Desember 2024, Kiai Jauhari berkisah bahwa beliau membaca kitab, menelaah isinya, mencari relevansinya, dan kontekstualisasi makna kitab telah menjadi aktivitas sehari-hari. Beliau mengerjakannya tidak main-main tetapi serius. Sehari beliau minimal membaca tiga jam.

Tentu ini teladan luar biasa yang perlu untuk terus disampaikan, khususnya, kepada para santri. Jika kiai yang sudah luas pengetahuannya, mendalam ilmunya, dan tinggi kesibukannya saja masih membaca kita sehari minimal tiga jam maka santri seharusnya membaca lebih lama lagi. Itu penting untuk dipahami dan diteladani agar betul-betul menjadi santri yang memiliki wawasan ilmu agama mendalam. Kiai telah memberikan teladan dan tugas santri adalah meneladaninya.

Menulis Itu Praktik

Teori menulis itu sudah sangat banyak. Jika ingin mengetahui teori-teori menulis bisa dengan membeli buku. Bisa juga dengan ikut pelatihan. Ada cara lain yang juga mudah dilakukan yaitu mencari informasi di media sosial.

Mengetahui teori menulis itu penting tetapi teori yang diperoleh tidak akan menjadi jaminan seseorang bisa menulis. Seseorang baru akan disebut sebagai penulis jika memang menulis. Mungkin awal-awal tulisannya tidak bagus. Seiring perjalanan waktu, tulisannya akan semakin bagus karena konsisten berlatih menulis.



Saat saya diminta menyampaikan materi di SMK Darussalam Jajar Karanggayam Durenan Trenggalek, saya sampaikan kepada para santri bahwa teori menulis itu penting tetapi praktik menulis jauh lebih penting. Setelah menyampaikan materi saya minta peserta untuk praktik menulis di kertas secara langsung. Ini adalah upaya untuk memberikan pengalaman kepada peserta terhadap menulis secara praktik.

Waktu menulis yang saya berikan hanya 15 menit. Meskipun demikian ada yang mampu menulis dua halaman penuh. Tidak hanya satu santri tetapi beberapa orang. Tentu ini potensi penting yang harus diapresiasi.

Saya memilih tiga orang yang tulisannya bagus untuk maju ke depan. Kepada mereka bertiga saya berikan buku gratis. Buku yang sengaja saya siapkan sejak dari rumah sebagai hadiah bagi santri yang menjadi peserta pelatihan.

Saya juga menyediakan tiga buah buku kepada santri yang berani bertanya. Keberaniaan itu perlu dipupuk sebagai ikhtiar menumbuhkan kemampuan menelisik sumber-sumber ilmu yang perlu ditelusuri secara lebih intensif. Ternyata para santri yang juga siswa SMK Darussalam memiliki kemampuan bertanya secara baik.

Kepada sekolah saya juga memberikan hadiah buku. Lebih lanjut saya sampaikan agar praktik menulis yang sudah dihasilkan dilanjutkan. Karya siswa disempurnakan sampai minimal tiga halaman. Kompilasi tulisan santri ini bisa dioleh sebagai buku. Tentu ini merupakan prestasi santri yang cukup penting dalam konteks membawa nama baik sekolah dan pesantren. 

Versi singkat di Tiktok bisa mengunjungi akun: https://www.tiktok.com/@ngainun.naim/video/7448248738600062213. 

 

Trenggalek, 15 Desember 2024

14 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.