Santri, Budaya Literasi, dan Pengembangan Potensi Diri
Ngainun Naim
Literasi itu kunci.
Sepanjang telah terbangun tradisi literasi, pendayagunaan potensi diri terbuka
cukup luas. Khazanah pengetahuan yang telah terbangun akan berkembang pesat
sepanjang menemukan momentum dan daya dukung.
Ini sama artinya sudah
menemukan kunci. Tinggal membuka pintu dan memasuki ruangan potensi yang ada di
dalamnya karena telah menemukan dan memiliki kunci.
Signifikansi literasi
sesungguhnya sudah diketahui oleh banyak orang. Namun pengetahuan saja bukan
sebuah ukuran bagi terbangunnya budaya. Pengetahuan yang dimiliki perlu untuk diterjemahkan
menjadi tindakan. Secara sosial, tindakan itu perlu bermetamorfosis sebagai gerakan.
Dengan demikian literasi bisa menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan.
Potensi untuk membaca
dan menulis—sebagai dasar literasi—terbuka lebar di banyak tempat. Persoalannya,
tidak semua orang mengetahui bahwa mereka memiliki potensi. Akibatnya, banyak
potensi yang tidak teridentifikasi, tergali, dan kemudian tumbuh dan berkembang.
Tentu ini sangat
disayangkan. Jika saja potensi tersebut diketahui dan mampu dikembangkan maka
bisa memberikan perubahan secara nyata dalam kehidupan. Perubahan ini—apa pun
bentuknya—menjadi kebutuhan dan tantangan di era digital ini. Semakin responsif
tentu semakin bagus.
Perubahan merupakan hal
mendasar dalam kehidupan. Semakin hari arus perubahan semakin cepat. Ini perlu
dipahami dan diantisipasi secara baik. Literasi yang telah menjadi budaya
adalah modal penting yang bisa merespon secara aktif dan kreatif terhadap
segala bentuk perubahan yang ada.
Santri dan Literasi
Santri adalah sebutan
kepada siswa yang belajar di pesantren. Ada santri yang menetap dan ada juga
yang tidak menetap di pesantren. Intinya mereka sama-sama belajar di pesantren.
Menjadi santri berarti
menjadi pembelajar. Aktivitas sehari-hari mereka adalah mengaji dan belajar. Ini
berlangsung dari hari ke hari.
Jika melihat pada
rangkaian aktivitas ini maka sesungguhnya santri sangat potensial untuk
memiliki budaya literasi. Budaya itu tidak terbentuk secara mendadak dan
tiba-tiba tetapi melalui proses pembiasaan dalam jangka panjang. Dari pengertian
ini maka budaya membaca melalui aktivitas ngaji dan aktivitas lain yang sejenis
berpotensi untuk terbangun budaya literasi.
Belakangan ini banyak
pesantren yang bisa dijadikan rujukan dalam mengembangkan budaya literasi. Pesantren-pesantren
yang menjadikan rujukan untuk menumbuhkembangkan budaya menulis, baik dilakukan
oleh kiai, ustadz, maupun para santrinya. Selain mengaji, mereka juga menulis
dan menerbitkan karya.
Pesantren Al Anwar 3
yang ada di Gondan Sarang Rembang adalah contoh pesantren yang memiliki budaya
literasi. Di pesantren ini para santri diwajibkan membuat naskah akademik,
makalah, review buku, dan aktivitas literasi lainnya. Ini dilakukan dalam
kerangka memperkuat keilmuan, meningkatkan wawasan, dan membangun budaya baru
inovatif yang sejalan dengan tantangan zaman (Ja’far: 2019).
Pesantren Salafiah Syafi’iyah
Asembagus Situbondo juga memiliki budaya membaca yang dijalankan secara
intensif. Ada tiga tahap yang dilakukan dalam kaitannya dengan membaca, yaitu
pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Ketiga tahapan ini dilakukan secara
intensif sehingga para santri memiliki budaya membaca yang cukup kuat (Manan
dan Bajuri: 2020).
Tentu masih banyak lagi
budaya literasi yang bisa diteladani dari beberapa pesantren yang ada. Kajian terhadap
topik ini juga sudah banyak dan bisa ditelusuri melalui mesin pencari. Aspek yang
penting untuk mendapatkan tekanan adalah bagaimana mengambil inspirasi,
meneladani, dan kemudian menerjemahkan dalam konteks pesantren masing-masing.
Teladan Kiai
Kiai itu kunci
pesantren. Tanpa kiai, tidak ada pesantren. Jalannya pesantren tergantung kepada
kiai.
Sebagai figur sentral,
apapun yang disampaikan dan dilakukan oleh kiai akan menjadi teladan bagi
seluruh komunitas pesantren. Dalam konteks literasi, teladan membaca kiai akan
menjadi energi untuk ditiru oleh para santri.
Saya sangat apresiatif Ketika
KH. Ahmad Jauhari—Ketua Yayasan dan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Jajar Sumbergayam
Durenan Trenggalek—bercerita di hadapan para santri bahwa setiap hari beliau
ngaji kitab. Pada kegiatan yang diikuti oleh guru dan siswa SMK Darussalam, Sabtu
14 Desember 2024, Kiai Jauhari berkisah bahwa beliau membaca kitab, menelaah
isinya, mencari relevansinya, dan kontekstualisasi makna kitab telah menjadi
aktivitas sehari-hari. Beliau mengerjakannya tidak main-main tetapi serius. Sehari
beliau minimal membaca tiga jam.
Tentu ini teladan luar
biasa yang perlu untuk terus disampaikan, khususnya, kepada para santri. Jika kiai
yang sudah luas pengetahuannya, mendalam ilmunya, dan tinggi kesibukannya saja
masih membaca kita sehari minimal tiga jam maka santri seharusnya membaca lebih
lama lagi. Itu penting untuk dipahami dan diteladani agar betul-betul menjadi
santri yang memiliki wawasan ilmu agama mendalam. Kiai telah memberikan teladan
dan tugas santri adalah meneladaninya.
Menulis Itu Praktik
Teori menulis itu sudah
sangat banyak. Jika ingin mengetahui
teori-teori menulis bisa dengan membeli
buku. Bisa juga dengan ikut pelatihan. Ada cara lain yang juga mudah dilakukan
yaitu mencari informasi di media sosial.
Mengetahui teori menulis
itu penting tetapi teori yang diperoleh tidak akan menjadi jaminan seseorang
bisa menulis. Seseorang baru akan disebut sebagai penulis jika memang menulis. Mungkin
awal-awal tulisannya tidak bagus. Seiring perjalanan waktu, tulisannya akan
semakin bagus karena konsisten berlatih menulis.
Saat saya diminta
menyampaikan materi di SMK Darussalam Jajar Karanggayam Durenan Trenggalek,
saya sampaikan kepada para santri bahwa teori menulis itu penting tetapi
praktik menulis jauh lebih penting. Setelah menyampaikan materi saya minta
peserta untuk praktik menulis di kertas secara langsung. Ini adalah upaya untuk
memberikan pengalaman kepada peserta terhadap menulis secara praktik.
Waktu menulis yang saya
berikan hanya 15 menit. Meskipun demikian ada yang mampu menulis dua halaman
penuh. Tidak hanya satu santri tetapi beberapa orang. Tentu ini potensi penting
yang harus diapresiasi.
Saya memilih tiga orang
yang tulisannya bagus untuk maju ke depan. Kepada mereka bertiga saya berikan
buku gratis. Buku yang sengaja saya siapkan sejak dari rumah sebagai hadiah
bagi santri yang menjadi peserta pelatihan.
Saya juga menyediakan
tiga buah buku kepada santri yang berani bertanya. Keberaniaan itu perlu
dipupuk sebagai ikhtiar menumbuhkan kemampuan menelisik sumber-sumber ilmu yang
perlu ditelusuri secara lebih intensif. Ternyata para santri yang juga siswa
SMK Darussalam memiliki kemampuan bertanya secara baik.
Kepada sekolah saya juga
memberikan hadiah buku. Lebih lanjut saya sampaikan agar praktik menulis yang
sudah dihasilkan dilanjutkan. Karya siswa disempurnakan sampai minimal tiga
halaman. Kompilasi tulisan santri ini bisa dioleh sebagai buku. Tentu ini
merupakan prestasi santri yang cukup penting dalam konteks membawa nama baik
sekolah dan pesantren.
Versi singkat di Tiktok bisa mengunjungi akun: https://www.tiktok.com/@ngainun.naim/video/7448248738600062213.
Trenggalek, 15 Desember 2024
Barakallah Pak Kyai.. masya Allah. Bermanfaat ilmunya... Spirit literasi
BalasHapusAmin. Terima kasih Ustadz
HapusMasya Allah Barokah Prof. Naim
BalasHapusBermanfaat
Amin. Terima kasih Pak Haji.
HapusTulisan bergizi maturnuwun Prof
BalasHapusSami-sami Bu
HapusMasyaallah....15 menit menulis 2 halaman? Luar biasa. Sukses untuk para santri. Amin....
BalasHapusAmin. Terima kasih Bu.
HapusKeren Pak, sukses terus membangun literasi ya
BalasHapusTerima kasih.
HapusTerima kasih🙏
BalasHapusSama-sama
HapusSemoga suatu hari juga bisa mengundang panjenengan ke sekolah saya🤲 Sehat selalu Prof
BalasHapusAmin. Terima kasih atas doanya.
Hapus