Membangun Kultur Riset

Oktober 06, 2016


Oleh Ngainun Naim

Lokasi kegiatan di Hotel Lor In Surakarta

Tradisi riset belum tumbuh secara ideal sebagaimana yang diharapkan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia. Riset masih menjadi aktivitas yang seolah hanya sebagai pelengkap kegiatan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Padahal, riset itu sangat penting artinya dalam konteks pengembangan keilmuan, institusi, dan masyarakat secara luas.
Kegelisahan tentang fenomena semacam ini muncul dalam acara “Konferensi Ilmiah LP2M/P3M Se-Indonesia” yang diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Surakarta pada 4-5 Oktober 2016. Acara yang berlangsung di Lor In Hotel Surakarta tersebut dihadiri oleh utusan dari berbagai perguruan tinggi keagamaan Islam. Secara keseluruhan, acara berlangsung kondusif dan penuh dengan partisipasi dan diskusi dari para peserta.
Acara pembukaan dilaksanakan pada hari selasa malam tanggal 4 Oktober 2016. Sebagai keynote speaker adalah Dr. Mamad S. Burhanuddin dari Kementerian Agama Pusat. Pada sambutannya, Dr. Mamad menekankan tentang pentingnya penelitian. Penelitian seharusnya tidak hanya dilakukan dalam kerangka memenuhi tugas administrasi dosen semata, melainkan juga dalam perspektif yang lebih luas, seperti perspektif pengembangan keilmuan.
Hari rabo tanggal 5 Oktober, acara adalah pemaparan dari Ketua LP2M Universitas Brawijaya Malang, Prof. Dr. Ir. Woro Busono dan Ketua LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. M. Arskal Salim GP, M.A., Ph.D. Prof. Woro Busono dalam pemaparannya menjelaskan tentang pentingnya riset bagi sebuah negara. Beliau membandingkan tentang jumlah saintis di berbagai negara di dunia. Hasilnya sebagaimana diduga, saintis di Indonesia masih jauh dari harapan. Kondisinya lebih mengenaskan lagi jika berbicara tentang dana riset yang juga belum sesuai dengan harapan.
Berkaitan dengan riset, Prof. Woro Busono mengajak seluruh peserta untuk mengubah mindset tentang penelitian. “Penelitian”, demikian Prof. Woro, “seharusnya menjadi aktivitas yang tidak terpisah dari seorang dosen”. Penekanan tentang penelitian ini juga seyogyanya diikuti oleh publikasi hasil penelitian. Hal ini penting dilakukan agar hasil penelitian tidak hanya berhenti sebatas dokumen yang tidak bisa diakses oleh banyak orang. Publikasi memiliki banyak fungsi, di antaranya: (1) sebagai sarana penyebarluasan hasil penelitian; (2) sebagai syarat untuk kenaikan pangkat; (3) sebagai syarat pencairan dana penelitian; dan (4) sebagai syarat kelulusan.
Sementara Prof. M. Arskal Salim GP, M.A., Ph.D menjelaskan bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang kuat untuk maju dan mengejar ketinggalannya dengan negara-negara lain yang telah maju. Kemajuan akan bisa diwujudkan jika ada komitmen yang sangat kuat dari pemerintah dan sivitas akademika. Kesatupaduan pihak-pihak yang terkait menjadi kunci penting untuk membangun kemajuan bangsa ini.
Berkaitan dengan strategi membangun kultur meneliti, Prof. Arskal menyarankan agar kita melakukan pemaksaan diri. “Saya memaksakan diri untuk tetap menulis dan meneliti agar energi saya tidak habis hanya untuk melayani tugas-tugas teknis administratif di kantor”, tegas Prof. Arskal. Pemaksaan diri ini penting agar kita tetap berkarya di tengah tumpukan tugas teknis administratif yang seolah tidak ada habisnya. Secara praktis, Prof. Arskal memiliki apa yang disebut sebagai “riset day”. Pada hari ini, ia menghabiskan energi untuk membaca, menulis, dan meneliti. Berbagai aktivitas jejaring sosial ia matikan. Pokoknya pada hari itu ia memanfaatkannya khusus untuk aktivitas riset. Strategi semacam inilah yang memungkinkannya untuk tetap produktif.
Budaya riset tidak bisa terbangun dengan sendirinya. Budaya ini harus didesain dan diupayakan secara terus-menerus sehingga membutuhkan proses yang panjang. Tidak mungkin membangun budaya riset secara instan karena budaya itu sendiri mensyaratkan proses yang panjang.
Aspek penting lain yang dijelaskan oleh Prof. Arskal Salim adalah tentang pentingnya proposal penelitian yang bagus. “Menulis proposal pun masih menghadapi persoalan yang luar biasa. Karena kultur meneliti dibangun dari proposal. Kasus yang ditulis boleh kasus lokal, tetapi bagaimana kasus lokal tersebut dihubungkan dengan kerangka teori yang lebih luas agar bisa dipahami oleh pembaca luas itu bukan persoalan yang mudah”, tegas Arskal.
Pada bagian lain Prof. Arskal juga menjelaskan tentang tantangan besar yang kini harus dihadapi oleh para akademisi. Tantangan tersebut—antara lain—berupa keharusan akademisi dan kalangan kampus untuk mengikuti perkembangan terkini dalam dunia keilmuan. Salah satunya adalah tantangan berupa indeks untuk akademisi dan juga kalangan kampus yang menentukan posisi. Beberapa indeks yang kini harus dicermati adalah; webometric, google scholar citations, scopus index, QS world university ranking.
Ada banyak hal lain yang juga penting untuk diperhatikan, yaitu bagaimana membawa nama besar kampus masing-masing. Salah satunya adalah bagaimana email addres masing-masing dosen berbasis kampus. Ini penting sebagai bagian dari upaya membesarkan kampus masing-masing. “Dosen kalau bisa memakai email kampus, bukan gmail atau yahoo”, terang Prof. Arskal.

Tulungagung, 6 Oktober 2016

2 komentar:

  1. Tradisi Riset yang sudah kita bangun semoga berlanjut dengan tradisi menulis yg terpublikasi secara luas.

    BalasHapus
  2. Betul sekali Bu. Menulis hasil penelitian harus ditindaklanjuti dengan mempublikasikannya agar manfaatnya semakin luas.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.