Pertahanan dan Karya

Oktober 16, 2018

Oleh Ngainun Naim

Mengapa saya menulis? Apa motivasinya?  Apa landasan filosofisnya?
Pertanyaan demi pertanyaan bisa saja terus ditambahkan. Kelihatannya sederhana dan mudah. Tapi sungguh tidak mudah bagi saya untuk menjawabnya. Bukan karena tidak bisa menjawabnya, tetapi jawaban atas pertanyaan ini berkaitan dengan banyak hal yang saling berkait-kelindan. Karena itu, tulisan ini tidak akan secara langsung menjawab apa landasan filosofis saya menulis, sebagaimana tema SPK bulan Oktober 2018 ini. Intinya saya ingin menulis tentang sesuatu yang berkaitan dengan menulis. Tentang sesuatu yang membuat saya masih terus menulis sampai sekarang.
Apakah ini bisa masuk kategori landasan filosofis menulis? Entahlah. Silahkan saja Anda menilainya. Pokoknya saya ingin menulis. Itu saja.
Saya menulis diawali dari mimpi. Ya, mimpi. Saat itu saya masih duduk di bangku SD. Seorang famili yang memiliki beberapa putera yang kuliah berlangganan banyak majalah. Saat silaturrahim ke rumah famili tersebut, saya selalu menyempatkan diri membaca tumpukan majalah yang ada di bawah meja. Entahlah dari mana rasa tertarik membaca itu muncul. Pokoknya membaca begitu saja.
Hal sederhana yang saya lakukan ternyata membaca efek luar biasa. Pelan tapi pasti mulai muncul keinginan dalam diri saya untuk bisa menjadi penulis. Saya ingin memiliki tulisan seperti yang dimuat di majalah-majalah itu. Tentu saja, keinginan itu baru sebatas keinginan. Lagi pula mana ada di masa itu orang yang memberi tahu cara menulis lalu mengirimkannya ke redaksi media massa. Tidak ada sama sekali.
Meskipun demikian saya sangat bersyukur. Masa itu minimal telah menorehkan jejak awal saya dalam dunia literasi, yaitu mimpi. Saat sekolah di MTsN, keinginan untuk menulis itu semakin membuncah. Salah satu pemicunya adalah seorang guru bahasa Inggris. Kok bisa? Ya bisa saja.
Nama guru itu Muhammad Amrullah. Seorang guru muda. Ke mana-mana menenteng buku. Jika berhenti, misalnya di kelas, pasti membaca. Di sela-sela mengajar, juga membaca. Belakangan saya tahu beliau seorang penulis. Artikelnya sering sekali di muat di berbagai majalah. Sosok inilah yang membuat saya bermimpi lebih lanjut tentang bagaimana menjadi penulis.
Jejak dan perjalanan menulis saya cukup lumayan panjang. Setidaknya sejak SD sampai sekarang ketika usia sudah kepala empat. Dalam perjalanan panjang ini, ada dinamika. Itu pasti. Ada masa ketika menulis begitu semangatnya. Ada juga masa ketika semangat itu hilang sama sekali. Pokoknya tidak ada gairah menulis sama sekali.
Di sini saya kita peranan motivasi menjadi penting. Motivasi menulis antara satu orang dengan orang lain bisa sama, bisa juga berbeda. Pada seorang penulis saja motivasinya bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Suatu waktu motivasinya untuk kepentingan kenaikan pangkat, di waktu lain motivasi bergeser karena uang, ketenaran, kepuasan, atau motivasi-motivasi yang lainnya.
Perubahan motivasi sesungguhnya hal wajar. Namanya juga manusia. Banyak hal yang mempengaruhi hidupnya.
Begitu juga saya. Jika boleh jujur, saya tidak tahu motivasi apa yang secara filosofis membuat saya terus bertahan menulis sampai hari ini. Jika karena uang, mungkin sudah lama saya berhenti menulis. Dari kalkulasi matematis, menulis itu banyak ruginya. Jika karena ketenaran, mungkin juga tidak. Saya tidak setenar penulis yang hari ini mendapatkan posisi atas jajaran penulis Indonesia.
Terus apa landasan filosofis saya menulis? Saya kira tidak perlu saya jawab. Bagi saya, aspek yang jauh lebih penting dibandingkan memperdebatkan soal motivasi menulis adalah bagaimana menghasilkan karya itu sendiri. Jadi mari terus berkarya dan berkarya. Terus saja menulis dan menulis. “Jangan kasih kendor”, kata sahabat muda peneliti LIPI yang sangat produktif menulis, Wahyudi Akmaliah saat semangat menulis saya menurun.
Saya bukan penulis produktif. Banyak penulis yang jauh lebih produktif dibandingkan saya. Kualitas tulisan saya juga tidak terlalu bagus. Beberapa kali tulisan saya diminta untuk dibenahi oleh reviewer. Setelah saya perbaiki, masih juga harus direvisi.
Begitulah kerja menulis, khususnya menulis ilmiah. Tetapi saya menikmatinya. Mengapa? Saya tidak tahu. Tiba-tiba saya teringat nasihat Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Masdar Hilmy, M.A., Ph.D. Kata beliau, "Karya kita adalah pertahanan yang penting buat eksistensi kita. Karya juga menjadi pembeda kita dengan akademisi lain. Jadi bisa kita posisikan sebagai pertahanan diri".
Mungkin inilah yang disebut landasan filosofis. Ya, menulis adalah bentuk pertahanan kita. Bentuk eksistensi kita. Menulis yang membuat kita bisa bertahan dalam kondisi apa pun. Menulis yang membuat kita memiliki nama, uang, pengaruh, dan banyak manfaat lainnya. Jadi saya akan terus menulis dengan mengabaikan motivasi, mengabaikan landasan filosofisnya. Pokoknya menulis. Itu.

Tulungagung, 2-10-2018

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.