Pertahanan dan Karya
Oleh Ngainun Naim
Mengapa saya
menulis? Apa motivasinya? Apa landasan
filosofisnya?
Pertanyaan demi pertanyaan bisa saja terus ditambahkan. Kelihatannya
sederhana dan mudah. Tapi sungguh tidak mudah bagi saya untuk menjawabnya. Bukan
karena tidak bisa menjawabnya, tetapi jawaban atas pertanyaan ini berkaitan
dengan banyak hal yang saling berkait-kelindan. Karena itu, tulisan ini tidak
akan secara langsung menjawab apa landasan filosofis saya menulis, sebagaimana
tema SPK bulan Oktober 2018 ini. Intinya saya ingin menulis tentang sesuatu
yang berkaitan dengan menulis. Tentang sesuatu yang membuat saya masih terus
menulis sampai sekarang.
Apakah ini bisa masuk kategori landasan filosofis menulis? Entahlah.
Silahkan saja Anda menilainya. Pokoknya saya ingin menulis. Itu saja.
Saya menulis diawali dari mimpi. Ya, mimpi. Saat itu saya masih duduk di
bangku SD. Seorang famili yang memiliki beberapa putera yang kuliah
berlangganan banyak majalah. Saat silaturrahim ke rumah famili tersebut, saya
selalu menyempatkan diri membaca tumpukan majalah yang ada di bawah meja. Entahlah
dari mana rasa tertarik membaca itu muncul. Pokoknya membaca begitu saja.
Hal sederhana yang saya lakukan ternyata membaca efek luar biasa. Pelan
tapi pasti mulai muncul keinginan dalam diri saya untuk bisa menjadi penulis. Saya
ingin memiliki tulisan seperti yang dimuat di majalah-majalah itu. Tentu saja,
keinginan itu baru sebatas keinginan. Lagi pula mana ada di masa itu orang yang
memberi tahu cara menulis lalu mengirimkannya ke redaksi media massa. Tidak ada
sama sekali.
Meskipun demikian saya sangat bersyukur. Masa itu minimal telah menorehkan
jejak awal saya dalam dunia literasi, yaitu mimpi. Saat sekolah di MTsN,
keinginan untuk menulis itu semakin membuncah. Salah satu pemicunya adalah seorang
guru bahasa Inggris. Kok bisa? Ya bisa saja.
Nama guru itu Muhammad Amrullah. Seorang guru muda. Ke mana-mana menenteng
buku. Jika berhenti, misalnya di kelas, pasti membaca. Di sela-sela mengajar,
juga membaca. Belakangan saya tahu beliau seorang penulis. Artikelnya sering
sekali di muat di berbagai majalah. Sosok inilah yang membuat saya bermimpi
lebih lanjut tentang bagaimana menjadi penulis.
Jejak dan perjalanan menulis saya cukup lumayan panjang. Setidaknya sejak
SD sampai sekarang ketika usia sudah kepala empat. Dalam perjalanan panjang
ini, ada dinamika. Itu pasti. Ada masa ketika menulis begitu semangatnya. Ada
juga masa ketika semangat itu hilang sama sekali. Pokoknya tidak ada gairah
menulis sama sekali.
Di sini saya kita peranan motivasi menjadi penting. Motivasi menulis antara
satu orang dengan orang lain bisa sama, bisa juga berbeda. Pada seorang penulis
saja motivasinya bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Suatu waktu motivasinya
untuk kepentingan kenaikan pangkat, di waktu lain motivasi bergeser karena uang,
ketenaran, kepuasan, atau motivasi-motivasi yang lainnya.
Perubahan motivasi sesungguhnya hal wajar. Namanya juga manusia. Banyak hal
yang mempengaruhi hidupnya.
Begitu juga saya. Jika boleh jujur, saya tidak tahu motivasi apa yang
secara filosofis membuat saya terus bertahan menulis sampai hari ini. Jika
karena uang, mungkin sudah lama saya berhenti menulis. Dari kalkulasi
matematis, menulis itu banyak ruginya. Jika karena ketenaran, mungkin juga
tidak. Saya tidak setenar penulis yang hari ini mendapatkan posisi atas jajaran
penulis Indonesia.
Terus apa landasan filosofis saya menulis? Saya kira tidak perlu saya
jawab. Bagi saya, aspek yang jauh lebih penting dibandingkan memperdebatkan
soal motivasi menulis adalah bagaimana menghasilkan karya itu sendiri. Jadi
mari terus berkarya dan berkarya. Terus saja menulis dan menulis. “Jangan kasih
kendor”, kata sahabat muda peneliti LIPI yang sangat produktif menulis, Wahyudi
Akmaliah saat semangat menulis saya menurun.
Saya bukan penulis produktif. Banyak penulis yang jauh lebih produktif
dibandingkan saya. Kualitas tulisan saya juga tidak terlalu bagus. Beberapa
kali tulisan saya diminta untuk dibenahi oleh reviewer. Setelah saya perbaiki,
masih juga harus direvisi.
Begitulah kerja menulis, khususnya menulis ilmiah. Tetapi saya
menikmatinya. Mengapa? Saya tidak tahu. Tiba-tiba saya teringat nasihat Rektor
UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Masdar Hilmy, M.A., Ph.D. Kata beliau, "Karya
kita adalah pertahanan yang penting buat eksistensi kita. Karya juga menjadi
pembeda kita dengan akademisi lain. Jadi bisa kita posisikan sebagai pertahanan
diri".
Mungkin inilah yang disebut landasan filosofis. Ya, menulis adalah bentuk
pertahanan kita. Bentuk eksistensi kita. Menulis yang membuat kita bisa
bertahan dalam kondisi apa pun. Menulis yang membuat kita memiliki nama, uang,
pengaruh, dan banyak manfaat lainnya. Jadi saya akan terus menulis dengan
mengabaikan motivasi, mengabaikan landasan filosofisnya. Pokoknya menulis. Itu.
Tulungagung, 2-10-2018
syaikhuna....
BalasHapusInspiratif
Matur suwun
Hapus