Orang Tua, Anak-anak, dan Komunikasi

Juli 12, 2023

Sumber: blog Adrinal Tanjung
 

Ngainun Naim

 

Penulis terhubung dengan sesama penulis. Ada konteks yang mempertemukan, yaitu tulisan. Ini sesungguhnya fenomena biasa dan wajar dalam kehidupan.

Bidang lain juga sama. Pedagang terhubung dengan sesama pedagang. Lewat keterhubungan itulah terjadi relasi dalam aneka ekspresi.

Sebagai orang yang menekuni dunia menulis, saya juga memiliki banyak kawan yang menekuni dunia menulis. Ada yang sebatas hubungan lewat media sosial, namun ada juga yang terhubung secara langsung.

Salah seorang penulis yang cukup intensif berkomunikasi adalah Bapak Adrinal Tanjung. Selain lewat media sosial, saya pernah bertemu dua kali dengan beliau. Saya menyebut relasi dengan beliau sebagai interkoneksi. https://www.spirit-literasi.id/2018/11/literasi-dan-interkoneksi.html.

Beberapa waktu lalu beliau menghubungi saya untuk memberikan kata pengantar pada buku terbaru beliau. Tentu ini sebuah kebahagiaan. Saya pun membuatkan kata pengantar. Sebagian isinya saya sajikan dalam catatan sederhana di bawah ini.

---O---

Relasi orang tua dan anak tidak selalu lancar. Salah satu akar masalahnya adalah komunikasi. Ada idealitas, mimpi, dan harapan dari orang tua yang tidak selalu dipahami oleh anak-anaknya karena tidak tersampaikan secara baik.

Sebaliknya, orang tua tidak selalu mengetahui secara substantif apa yang ada dalam diri anak-anaknya. Ada ketakutan atau mungkin keengganan untuk menyampaikannya. Implikasinya, orang tua dan anak-anak kurang tuntas dalam menjalin relasi karena ada hal yang tidak tersampaikan.

Media yang umum digunakan dalam komunikasi adalah lisan. Bagi keluarga yang memiliki tradisi komunikasi baik, tentu tidak ada masalah. Mereka bisa menyampaikan hal apa pun dalam momentum kebersamaan. Namun bagi keluarga yang tidak memiliki tradisi komunikasi baik, tentu ini menjadi masalah yang tidak jelas kapan akan terselesaikan.

Tulisan adalah media yang cukup efektif dalam konteks komunikasi orang tua dan anak. Ini berlaku bagi keluarga yang komunikasi lisannya berjalan baik atau tidak. Lisan dan tulisan itu saling melengkapi, bukan saling menafikan.

Aspek-aspek yang tidak tersampaikan secara lisan, bisa dilengkapi lewat tulisan.  Tulisan demi tulisan sesungguhnya memiliki banyak manfaat. Tulisan seorang ayah, misalnya, bisa menggambarkan tentang kecintaannya terhadap anak-anaknya. Juga menggambarkan harapan bagi perjalanan kehidupan anak-anaknya. Banyak juga hal lain yang bisa disampaikan lewat tulisan.

Berkaitan dengan tulisan, ada pendapat menarik dari Antoni Ludfi Arifin (2003: 38). Ia menyatakan bahwa menulis itu memiliki banyak manfaat. Menulis, karenanya, bukan untuk diperdebatkan tetapi dijalankan. Daripada sibuk diskusi tentang apa, mengapa, dan bagaimana menulis, lebih baik jika menulis dilakukan sebagai tindakan.

Salah satu manfaat menulis adalah pesan yang abadi. Antoni Ludfi Arifin menyebutkan sebagai menyejarah. Tulisan yang kita buat, membuat orang mengetahui apa, mengapa, dan bagaimana diri kita. Tulisan yang kita buat membuat orang ingat tentang diri kita. Tidak hanya saat kita masih hidup. Jauh setelah fisik meninggalkan dunia ini pun orang masih akan tetap mengingatnya karena tulisan yang kita buat.

Senada dengan Antoni Ludfi Arifin, Agung Nugroho Catur Saputro (2018) menyebutkan beberapa manfaat menulis. pertama, menulis, selain sebagai bentuk penyebaran ilmu pengetahuan, juga bisa meningkatkan kualitas diri. Seorang penulis harus terus membaca dan menambah pengetahuannya agar tulisannya semakin baik. Hal itu berarti ada upaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kualitas diri.

Kedua, tulisan sesungguhnya bukan sekadar deretan kata dan kalimat. Tulisan merupakan upaya yang dilakukan oleh seorang penulis agar pikiran-pikiran yang dikonversi menjadi tulisan menjadi bermakna (meaningfull). Hal ini merupakan substansi dari menulis itu sendiri, yaitu mengikat makna dari pemikiran kita.

Ketiga, menulis itu merupakan aktualisasi dari ibadah. Perintah pertama dari wahyu yang turun adalah iqra’ yang membutuhkan sarana tulisan. Membaca dan menulis merupakan rangkaian yang saling berkaitan. Tulisan itu ada untuk dibaca. Membaca membutuhkan tulisan. Tulisan yang baik mensyaratkan penulisnya untuk rajin membaca.

Keempat, menulis itu menebarkan manfaat. Penulis yang baik menata niat secara baik dan menulis hal-hal yang baik. Lewat cara demikian maka tulisan akan memberikan manfaat. Tulisan yang baik akan bernilai sebagai amal ibadah karena bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

Kelima, menulis itu memiliki akar intelektual yang kuat dalam Islam. Ulama-ulama besar mewariskan karya tulis dalam jumlah besar. Karya ratusan tahun lalu masih terus dikaji sampai sekarang. Sesungguhnya ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa tulisan itu melintasi usia fisik penulisnya. Sesuai kemampuan, selayaknya kita meniru para ulama terdahulu dalam menghasilkan karya. Bayangkan, dulu belum ada alat-alat canggih pendukung menulis. Belum ada komputer atau laptop. Namun demikian para ulama dulu bisa menghasilkan karya dalam jumlah yang tidak terhitung. Spirit berkarya itu selayaknya menjadi pemantik bagi kita sekarang ini.

Perspektif yang lebih kaya diberikan oleh Arvan Pradiansyah (2012). Ia menulis bahwa sebuah perbuatan itu membutuhkan motivasi. Tanpa motivasi, tidak ada perbuatan. Namun demikian tidak semua motivasi menghasilkan perbuatan yang baik. Kunci penting yang melandasi motivasi adalah kebutuhan.

Jika ini ditarik ke konteks menulis maka tulisan itu akan ada jika kita memiliki motivasi dalam menghasilkan karya. Tanpa motivasi, mustahil lahir tulisan. Motivasi mampu menerabas tembok penghalang. Kesibukan, fasilitas terbatas, dan aneka penghalang lainnya untuk menulis mampu ditundukkan oleh motivasi yang besar.

Lebih jauh Arvan Pradiansyah membagi manusia dalam relasinya dengan motivasi. Pertama, manusia perut dan manusia bawah perut. Manusia jenis ini, perbuatannya bermuara pada pencapaian kepuasan ragawi. Kedua, manusia hati, yaitu manusia yang tindakannya mendasarkan diri pada hati. Ketiga, manusia otak, yaitu manusia yang tindakannya berdasarkan kepada pertimbangan yang rasio yang matang. Keempat, manusia spiritual, yaitu manusia yang menjadi spiritualitas sebagai basis motivasi tindakannya.

Pembagian yang dilakukan oleh Arvan Pradiansyah ini menarik untuk membaca fenomena sosial yang ada di sekeliling, bahkan untuk membaca diri kita. Dimensi refleksi memiliki peranan yang penting dalam kehidupan. Bagi manusia modern, dimensi ini semakin terpinggirkan. Segala sesuatu diukur secara praktis-pragmatis. Padahal kehidupan tidak hanya semata-mata berkaitan dengan aspek praktis-pragmatis. Ada aspek hati, otak, dan spiritual.

Menulis yang kita lakukan bisa saja diteropong dengan keempat perspektif yang ditawarkan oleh Arvan Pradiansyah. Mungkin saja ada yang kategori perut-bawah perut, hati, otak, dan spiritual. Mungkin perpaduan dua atau tiga kategori. Mungkin juga perpaduan semuanya yang saling berkait-kelindan satu sama lain.

Apa pun posisi kepenulisan kita, itu sebuah pilihan. Meskipun demikian saya meyakini bahwa sepanjang tulisan itu mengandung nilai kebajikan, ia tetap bermanfaat. Justru yang penting untuk dibudayakan adalah menulis, menulis, dan terus menulis. Tema apa pun bisa ditulis, diolah menjadi buku, dan diterbitkan. Lewat cara semacam inilah kemajuan hidup bisa diraih.

---O---

Saya sampaikan selamat kepada Bapak Adrinal Tanjung yang terus berkarya tanpa jeda. Buku demi buku beliau terbit. Ini, bagi saya, cukup menarik dan bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.

Banyak orang yang ingin bisa menulis. Namun keinginan itu sebatas sebagai keinginan . Jarang yang mau berinvestasi waktu, tenaga, dan biaya untuk mewujudkan keinginan tersebut menjadi karya. Lewat buku-buku yang dihasilkan Bapak Adrinal Tanjung, kita bisa belajar bahwa menulis itu bukan sebatas keinginan tetapi yang lebih penting adalah Tindakan.

 

Parepare, 12 Juli 2023

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.